— 00
Pagi ini, Danita dan kedua orang tuanya sedang sarapan bersama di meja makan kayu jati berbentuk oval yang letaknya berada di tengah-tengah kitchen counter di dapur kering yang ada di rumah sederhana tipe 120 ini.
Tidak ada percakapan yang terjadi di meja makan tersebut. Yang ada hanyalah suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Memang sudah menjadi adab bagi keluarga Danita—dan mungkin keluarga lain di luar sana—untuk tidak makan sambil bercengkrama ketika di meja makan.
Danita yang terlebih dahulu menghabiskan nasi goreng seafood buatan ibunya tersebut, lalu yang kedua ayahnya, dan yang terakhir ibunya. Meskipun sudah selesai dengan sarapan masing-masing, ketiganya masih tidak beranjak dari meja makan dan memilih untuk bercengkrama terlebih dahulu. Hal tersebut juga merupakan adab (bagi keluarga Danita).
Biasanya banyak hal yang akan menjadi perbincangan diantara keluarga kecil nan harmonis ini. Yang paling sering sih masalah perkuliahan Danita. Kedua orang tua Danita memang selalu ingin tahu perihal segala kegiatan Danita selama di kampus, itu tidak membuat Danita merasa risih atau bagaimana, gadis itu justru merasa senang karena setidaknya orang tuanya masih perihal soal pendidikan gadis itu.
Namun, topik pagi ini agaknya sensitif bagu Danita. Gadis itu menjadi sedikit kehilangan mood untuk melakukan harinya yang masih panjang ini,
“Kakak tingkat kamu yang waktu itu kemana? Kok sudah jarang datang ke rumah?” tanya ayah Danita sambil melirik anak gadisnya penasaran.
Danita memasang ekspresi datarnya. Gadis itu hanya mengangkat kedua bahunya sebagai sebuah jawaban,
“Lagi slek ya kamu sama dia?” sang ibunda ikut bertanya.
“Gak sih biasa aja.” jawab Danita dari nada suaranya terdengar sekali kalau gadis itu memendam rasa kesal yang mendalam.
Kedua orang tua Danita mengulum senyum, tat kala melihat gerak-gerik Danita. Mereka bukanlah manusia yang baru hidup setahun atau dua tahun yang lalu, mereka sudah hampir empat puluh tahun hidup di dunia, mengalami banyak hal apalagi perihal percintaan. Dan, melihat respon juga ekspresi Danita saat ini, membuat keduanya tahu apa yang sudah terjadi diantara Danita dan laki-laki itu tanpa Danita harus menjelaskannya secara detail dan terperinci,
“Kalau ada masalah jangan dipendem, nanti kamu jadi stress sendiri.” nasihat ibu.
“Ih siapa juga yang punya masalah? Aku sih santai-santai aja, di kampus juga aku gak pernah punya musuh.” bantah Danita.
Sang ayah terkikik geli mendengar jawaban nyolot khas Danita, sementara sang ibu hanya mampu menahan tawanya—beliau tidak ingin membuat Danita menjadi semakin kesal,
“Iya iya, ayah sama ibu percaya kalau kamu itu enggak pernah punya masalah sama siapapun di kampus. Percaya kok kami.”
Seharusnya, Danita senang tat kala sang ayah berujar seperti barusan, tapi ini malah kebalikannya. Danita malah merasa kesal, mungkin karena ia merasa kalau kedua orang tuanya itu tahu bahwasanya Danita tidak benar-benar jujur ketika berucap dia tidak memiliki musuh di kampus.
Padahal, faktanya, Danita memiliki satu musuh di kampus yang membuatnya setiap datang ke kampus merasa seperti ia sedang datang ke neraka. Alaric, musuh abadi Danita, sampai kapanpun, Danita akan terus membenci Alaric,
“Terserah ayah sama ibu aja ah.” kesal Danita, gadis itu langsung berdiri dari duduknya, “Danita mau ngampus aja.”
Ia menyalami sang ibu, lalu memutari meja makan untuk menyalami sang ayah. Setelah mengucapkan salam, Danita keluar dari rumahnya itu dengan perasaan kesal. Bayang-bayang Alaric menghampiri otaknya yang semakin membuat Danita muak akan lelaki brengsek itu.