00


Bandung, 2014

Pagi itu, adalah pagi dimana aku kembali bersekolah sebagai anak kelas 8 SMP, setelah hampir satu bulan lamanya libur.

Di sekolahku dulu, setiap kenaikan kelas, murid-murid yang awalnya berada di kelas 7 akan diacak, dan dipencarkan, hal itu bertujuan agar semua siswa mengenal teman-temannya yang lain, jadi tidak hanya kenal dengan itu itu saja.

Saat itu, aku merasa sedih, karena aku harus terpisah dengan Keisha, Ghisell, Shara, dan Ita, teman-teman baikku di kelas 7. Aku sempat ingin mengadu kepada guru BK untuk menggantikan aku agar masuk ke kelas teman-temanku, namun sayangnya, guru BK tidak mengidahkan permintaanku karena tidak ada dari murid di kelas 8 D (kelas teman-temanku dulu) yang mau pindah.

Dengan berat hati, aku harus ikhlas terpisah dengan mereka.

Awalnya, aku pikir, di kelas 8 ini, aku akan bernasib sama dengan salah satu temanku, yang sekarang sudah menjadi almarhumah. Menjadi korban bully karena tidak memiliki teman sama sekali. Tapi nyatanya, pikiranku salah, aku tidak benar-benar sendiri disana, ada temanku juga, Alsa namanya, dia sempat satu kelas denganku saat kelas 7. Selain dengan Alsa aku juga pada akhirnya berteman dengan Salma.

Sehari sebelum aku masuk sekolah, aku sempat mengunggah video menyanyiku di laman instagram. Dan tentunya, video itu dilihat oleh beberapa followersku. Video itu, sampai lah ke beberapa temanku di SMP, saat itu, aku menjadi perbincangan hangat, banyak yang membicarakanku, mentertawakanku.

Sampai di hari itu, saat pertama kalinya aku masuk ke dalam kelas baruku. Aku masuk dengan perasaan gugup, wajahku benar-benar tegang seperti hendak memasuki ruang sidang. Namun, perlahan-lahan, rasa takut dan tegang itu perlahan-lahan hilang karena aku melihat Alsa yang duduk di meja paling belakang baris ke tiga.

Aku segera berlari, berjalan menghampirinya, dan duduk disana. Awalnya, aku hanya mengenal Alsa, lalu Alsa mengenalkanku kepada Salma. Dan hari itu, aku menjadi sangat akrab dengan Salma, kalau dengan Alsa jangan ditanya lagi. Di hari itu saja, kamu sudah memutuskan untuk duduk berdua bersama.

Namun, ada hal lain di hari itu yang sedikit menganggu diriku.

Yaitu, ada seorang anak laki-laki, yang berdiri di belakang pintu, sambil menyender dan menghadap ke arahku. Matanya terus memperhatikan aku, senyum terpatri di wajahnya. Senyuman ambigu yang bahkan aku tidak tahu apa arti senyuman itu. Bahkan sampai sekarang pun aku masih selalu memikirkan senyuman itu.

Namun, karena aku masih berumur 13 tahun pada saat itu, dan aku juga di umur segitu sudah mulai tersinggung. Pada saat itu, aku berpikir, kalau dia melihatku itu karena diam-diam dia sedang meledekku.

Dan, saat itu juga aku memutuskan untuk tidak akan pernah mau berteman dengannya.


Bandung, 2022

Di dalam bilik kamarku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis.

Menangisi kenanganku yang indah bersama lelaki yang sudah hampir 6 tahun lebih mengisi seluruh ruang di hatiku.

Tangisan benar-benar tidak terbendung lagi. Bantal ku sudah benar-benar basah, membentuk sebuah bulatan yang menjadi tanda kalau aku menangis disini. Kepalaku terasa berat, mataku pun terasa sangat bengkak. Badanku sakit semua, namun, aku masih terus menangis.

Menyalurkan semua rasa rindu yang memenuhi seluruh tubuhku.

Reigan namanya.

Laki-laki tampan dengan rambut hitam agak sedikit kemerah-merahannya yang begitu amat sangat rapih, kacamata yang selalu bertengger di matanya, tulisan tangannya yang indah, dan proporsi tubuhnya yang kurus serta tinggi, juga suaranya yang lemah lembut.

Dari sejak lulus SMP, sampai sekarang aku sudah berada di semestar 6 pun, kami tidak pernah bertemu. Entah apa yang sebenarnya direncanakan oleh Tuhan kepadaku, sehingga memberikanku banyak begitu cobaan atas kisah cintaku.

Tapi aku percaya, kalau suatu saat, Tuhan akan memberikan arah kepada Reigan untuk kembali kepadaku. Aku yakin dan percaya.

Sampai saat itu tiba, aku akan terus mencintainya, sampai nanti aku dan dia di pertemukan, dan Tuhan pun menyatukan kita dalam ikatan suci pernikahan.

Aamiin.