01
Setelah membalas pesan dari sang ibunda. Jordan langsung melempar ponselnya begitu saja ke meja kecil yang berada di hadapan kursi yang kini sedang ia duduki. Wajah pria itu terlihat seperti kelelahan, dan ada rasa menyesal di wajah Jordan. Jordan lantas menghembuskan nafasnya kasar, sambil menyenderkan beban tubuhnya ke senderan kursi tersebut.
Dilan—teman baik Jordan yang melihat itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil menenggak cola yang kini ada di dalam genggamannya. Dilan mendekat ke arah Jordan, lalu duduk disamping ranjang hotel milik Jordan,
“Kenapa lagi lu?” tanya Dilan menatap sang sahabat dengan tatapan serius, meskipun nada suara pertanyaannya terkesan bercanda.
Lagi, Jordan menghembuskan nafasnya, sebelum mulutnya terbuka dan menceritakan apa yang membuat dirinya gundah,
“Nyokap gue hampir ke tabrak.” jawab Jordan satu menit kemudian.
Dilan terkejut. Matanya sukses terbuka dan membola,
“Kok bisa!?” kagetnya.
Jordan meraih kaleng beer yang ada di meja kecil tersebut. Meminumnya dengan sekali tenggukan. Lalu menjawab pertanyaan retoris Dilan,
“Kurang hati-hati.” jawab Jordan.
Dilan menaruh kaleng colanya di meja kecil berbahan kayu tersebut. Pria itu bangkit dari duduknya, lalu berjalan mondar mandir bak setrikaan. Wajahnya terlihat begitu gusar. Jordan yang sedang tipsy hanya bisa melihat tingkah laku sahabatnya itu dengan penuh perasaan bingung,
“Ini gak bisa dibiarin, kita harus balik ke Indo besok. Lo kalau kelamaan diem di Paris, nyampe Indo lo udah jadi anak yatim piatu anjir.”
“Anjing lo!” kutuk Jordan, “lo gak tau aja seberapa muak gue liat bokap gue.”
Dilan berhenti berjalan mondar-mandir. Pria itu menarik kursi yang ada di dekat pintu kamar mandi kamar hotel milik Jordan. Dia mendudukkan dirinya disana dengan perasaan kesal kepada teman didepannya ini,
“Lo gak pernah sadar bokap lo bersikap kayak gitu gara gara siapa? Ya gara-gara lo! Diem! Lu jangan nyela gue dulu anjing. Gini, orang tua gak mungkin ngarahin anaknya ke hal yang buruk-buruk—”
“Dia minta gue buat jadi penerus perusahaan dia. Apa lo gak kesel jadi gue? Sementara passion gue aja di balapan.”
Dilan mendecak sebal,
“Coba lo ambil sisi positifnya deh. Dari keputusan bokap lo untuk menunjuk lo menjadi penerus perusahaan dia, itu tuh udah ngasih tanda, kalau bokap lo tuh percaya Jod seratus persen sama lo.”
“Tapi gue tetep gak mau!” keukeuh Jordan.
Dilan memang harus banyak-banyak sabar, mengingat sang sahabat memiliki sifat buruk, yaitu, keras kepala. Yang mana sifatnya itu cukup sukses membuat darah Dilan, atau siapapun orang yang berhadapan dengan Jordan mendidih,
“Lo gak cape ribut sama bokap lo mulu?” tanya Dilan kesal.
“Dia yang duluan.”
Dilan memutar bola matanya malas,
“Okay, lets say bokap lo yang memulai semua messed up ini. Tapi, pernah gak sih lo mikir kalau deep down bokap lo itu bener-bener capek ribut sama lo dan pingin akur lagi sama lo?”
Jordan terdiam.
Dilan menghembuskan nafasnya. Mungkin, sudah cukup sampai disini dia memberika live advice kepada Jordan. Ia bangkit dari duduknya, tapi sebelum itu, dia menepuk terlebih dahulu bahu kanan Jordan lalu berkata,
“Jangan nunggu kehilangan dulu bro baru lo mau berubah.”
Setelah mengucapkan itu, Dilan bangkit dari duduknya dan pergi menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar milik Jordan.