02


“Jadi, nama kamu siapa?” tanya wanita berumur sekitar empat puluh tahunan yang duduk dihadapan Kaluna bersama suaminya disamping. Wanita itu bertanya sambil menatap Kaluna dengan tatapan lembutnya.

Kaluna sempat ketakutan ketika dalam perjalanan menuju rumah makan tempatnya bekerja. Gadis itu takut kalau diam-diam, neneknya meminjam uang ke seseorang namun belum sempat melunasi hutang tersebut.

Namun ternyata ketakutan itu menghilang ketika gadis itu mengetahui bahwa yang datang menemuinya adalah Ibu Tiffany, wanita yang kemarin ia tolong dari insiden kecelakaan maut yang hampir merenggut nyawa beliau. Ibu Tiffany tidak datang sendirian. Dia datang bersama suaminya, Pak Darmawan.

Pakaian mereka berdua benar-benar sangat mewah. Cukup sukses menyita perhatian beberapa pengunjung rumah makan ini,

“Nama saya Kaluna, bu, pak.” jawab Kaluna dengan sangat sopan.

Ibu Tiffany tersenyum mendengar suara lembut Kaluna. Ibu Tiffany melirik sang suami yang duduk disampingnya, Pak Darmawan juga melirik sang istri dengan senyuman hangatnya. Keduanya merasa senang ketika melihat sosok Kaluna,

“Nama yang cantik.” puji Pak Darmawan, Kaluna tersipu malu ketika dirinya dipuji seperti barusan, “Kaluna, kedatangan saya dan istri saya kesini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk berterima kasih sama kamu. Terima kasih karena kamu sudah menyelematkan istri saya. Saya gak bisa bayangkan kalau sore itu kamu enggak ada, mungkin saya sudah kehilangan dunia saya.”

“Makasih, ya, Kaluna?” tambah Ibu Tiffany dengang sangat bersungguh-sungguh.

Kaluna menganggukkan kepalanya. Baginya, menolong seseorang itu sudah menjadi hal yang wajib dilakukan oleh seorang manusia. Jadi, tidak perlu berterima kasih pun, Kaluna tidak masalah,

“Sama-sama, bu, pak. Tapi lain kali, kalau ibu jalan atau mau nyebrang, ibu harus hati-hati, ya? Pengguna motor sama mobil jaman sekarang pada enggak tahu aturan semua.”

Ibu Tiffany dan Pak Darmawan tertawa bersama,

“Iya, saya akan ingat nasihat kamu ya anak manis.” ucap Ibu Tiffany.

Pipi Kaluna bersemu merah ketika dirinya disebut anak manis oleh Ibu Tiffany,

“Oh iya, kamu tinggal dimana? Kami ingin ketemu sama ayah dan ibu kamu.” tanya Pak Darmawan.

Senyum manis Kaluna seketika pudar ketika Pak Darmawan menyinggung soal orang tua,

“Saya gak tau orang tua saya dimana pak.” ucap Kaluna.

“Astaga.” Ibu Tiffany terkejut, wajahnya terlihat seperti dia merasa bersalah kepada Kaluna, begitu pula dengan Pak Darmawan, “sudah meninggal kedua orang tua kamu, nak?”

Kaluna menggelengkan kepalanya, “saya gak tahu pasti, tapi saya rasa, mereka masih hidup. Saya di buang ke panti asuhan, karena waktu itu, ibu panti bilang, kalau ayah dan ibu saya gak punya biaya untuk urus saya, jadi saya di titip di panti.” jawab Kaluna.

Ibu Tiffany dan Pak Darmawan langsung merasa prihatin dengan keadaan Kaluna, yang bisa dibilang menyedihkan dan tidak seberuntung anak-anak diluaran sana,

“Lalu sekarang kamu tinggal sama siapa? Wali kamu siapa?” tanya Ibu Tiffany.

“Saya tinggal sendirian bu, pak. Nenek angkat saya sudah meninggal.” jawab Kaluna.

“Ya Tuhan.” Ibu Tiffany melirih. Tangannya yang putih dan cantik itu meraih tangan Kaluna, menggenggamnya dengan begitu kuat. Matanya yang berkaca-kaca, menatap wajah Kaluna yang kusam karena terlalu sibuk mencari uang sampai lupa untuk merawat dirinya sendiri, “kamu kuat sekali nak, kamu masih muda tapi dunia sudah sekejam ini sama kamu.”

Kaluna tersenyum tipis. Hatinya ingin menangis, namun, Kaluna menahannya. Dia rasa, kalau dia menangis, dia mungkin akan dianggap sedang menjual rasa sedihnya kepada dua konglomerat dihadapannya ini,

“Enggak apa-apa bu, dijalanin aja, entah sampai kapan, yang terpenting, saya masih bisa makan, minum, mandi, sama tidur itu udah cukup buat saya, walaupun saya harus sendirian.”

Ibu Tiffany semakin dibuat tidak tega dengan Kaluna. Wanita itu melepaskan tautan tangannya dengan tangan Kaluna. Bangkit dari duduknya, lalu berjalan duduk disamping Kaluna, dan mendekap tubuh gadis cantik itu dari samping. Kaluna terkejut, dia tidak bisa apa-apa selain diam. Sementara Pak Darmawan yang melihat itu hanya bisa menyunggingkan senyumannya.

Tidak lama, Ibu Tiffany melepaskan dekapannya. Wanita itu menatap Pak Darmawan dengan sungguh-sungguh,

“Yah, ayo kita rawat Kaluna ya? Biarin dia tinggal di rumah kita. Bunda gak sanggup kalau harus biarin Kaluna hidup sendirian. Ya, ayah?” pinta Ibu Tiffany.

Kaluna yang terkejut, seketika menggeserkan badannya sedikit. Ia menatap Ibu Tiffany dan Pak Darmawan secara bergantian dengan penuh keterkejutan,

“Kaluna, kamu mau kan? Kamu mau hidup sama kami dan anak laki-laki kami kan?” pinta Pak Darmawan.

Ibu Tiffany mengangguk, “iya nak, ayo tinggal sama kami ya? Ibu gak bisa biarin kamu hidup sendirian. Mau ya, nak?”

Kaluna tidak tahu harus menjawab apa. Kebingungan melanda gadis itu sekarang.