01


Sinar matahari masuk melalui sela sela pintu balkon kamar apartement Janu. Hal itu cukup berhasil mengusik tidur nyenyak Janu. Lelaki itu dengan begitu terpaksa membuka matanya yang masih terasa lelah dan berat. Ditambah lagi kepalanya yang terasa pusing akibat mabuknya semalam bersama Jaffin dan juga Yazid.

Setelah Janu sepenuhnya sadar, matanya yang berwarna merah itu menangkap sosok kekasihnya, Shezan yang tengah berdiri di hadapan lelaki itu, menatapnya tanpa ekspresi. Janu tersenyum menyambut kekasih tercintanya itu,

“Kamu kok bisa disini sih sayang?” tanya Janu dengan suaranya yang serak khas orang bangun tidur.

Shezan menghela nafasnya kasar, “kamu mabuk, ada masalah apa kamu sampai mabuk begini?”

Janu terdiam.

Meskipun dia kemarin mabuk berat, dan sekarang pusing dan mualnya masih bersisa, tapi otaknya masih berjalan dengan sangat lancar, dan dia juga mengingat alasan yang membuatnya sampai harus berakhir di club malam bersama kedua temannya.

Namun, Janu tidak mungkin menceritakan itu semua kepada Shezan. Dia akan menyembunyikannya, tidak ingin Janu menyakiti hati kekasihnya itu,

“Cuma masalah kantor aja sih.” alibi Janu, “kamu udah makan?”

Janu mencoba setengah mati untuk mengganti topik pembicaraan, namun, sepertinya untuk kali ini Shezan tidak tertarik dengan pertanyaan “kamu udah makan?” yang dilontarkan oleh Janu,

“Are you sure ini cuman masalah kantor aja?” Shezan bertanya dengan tatapan mata penuh selidik, “bukan, karena kamu mau dijodohin sama ibu kamu itu kan?”

Pupil mata Janu membesar ketika mendengar pertanyaan akhir Shezan. Satu yang terbesit di otaknya ialah, darimana Shezan tau masalah ini?

Panik melanda Janu. Namun, lelaki itu mencoba untuk bersikap biasa saja, seolah-olah tidak ada kebohongan kali ini,

“Beneran kok—”

Suara decakan dari mulut Shezan membuat Janu mematung,

“Kamu selalu bilang kalau suatu hubungan itu bakal berjalan lancar kalau gak ada kebohongan diantara kita, tapi buktinya? You lie to me.”

“Im sorry.” lirih Janu, “aku gak mau ngasih tau karena aku gak mau kamu sakit hati.”

“You already hurt me, Janu.” Shezan berkata dengan suara lirih.

Janu bangkit dari tidurnya, dan langsung mencoba untuk meraih tangan Shezan dengan begitu panik dan rasa bersalah yang menguasai hatinya. Shezan menolak tangan Janu untuk menyentuh dirinya,

“Kamu iyain perjodohan itu?” tanya Shezan menatap Janu.

“I have no choice.” jawab Janu dengan begitu penuh rasa penyesalan di dalam dirinya, “aku nurut dan nerima perjodohan itu, karena aku gak mau semua aset aku diambil, dan jabatan aku sebagai direktur utama di perusahaan papaku, dicabut dan digantiin sama Marlo. Aku gak mau.”

Shezan terdiam.

Perasaan sedih, marah, kecewa, dan kesal yang dari kemarin hinggap di dalam dirinya setelah mengetahui bahwa Janu, kekasihnya itu akan dijodohkan oleh ibu lelaki itu. Mendadak hilang begitu saja, digantikan dengan perasaan ikhlas.

Raut mukanya yang terlihat murung dan datar juga kini sudah berubah menjadi lebih ekspresif,

“Aku belum ketemu sama ceweknya, tapi ya, setelah ketemu pun, aku bakal jelasin ke dia kalau aku punya kamu, dan aku udah ada rencana, kalau misalkan kita bakal nikah setahun doang, setelah itu aku bakal ceraiin dia, dan aku nikah sama kamu.” Janu berbicara dengan begitu meyakinkan Shezan, “1 tahun aja aku mohon.”.

“Tapi kamu bakal sering nemuin aku kan? Dan kita bakal ngejalanin hubungan kita kaya sebelum kamu dijodohin sama perempuan itu?”

Janu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum,

“Of course dong sayang, aku gak bakal jatuh cinta sama perempuan lain selain kamu. Aku sayang kamu pake banget.”

“Really?”

Janu tertawa pelan, “ada dari sudut muka aku yang nipu kamu?”

Shezan terdiam sambil seolah-olah dia sedang berpikir. Matanya menelisik wajah tampan Janu,

“Gak ada sih, yang ada di muka kamu cuma kegantengan kamu doang.”

Janu tertawa lumayan keras, begitu pula dengan Shezan. Lalu, pria itu menarik Shezan ke dalam dekapannya, dan mendekap tubuh kekasihnya itu dengan begitu erat, begitu pula dengan Shezan.

Seolah-olah tidak ada hari esok untuk keduanya.