02
Danita tidak tahu dosa apa yang sudah ia lakukan di masa lalu, sampai-sampai, sekarang mobilnya harus berhadap-hadapan dengan mobil milik Alaric. Gadis itu sekuat tenaga menghindari Alaric, tapi takdir seperti membuat hidupnya harus selalu terlibat dengan laki-laki gila itu,
“Sumpah ya? Gue harus sembunyi ke Antartika dulu apa biar enggak ketemu dia mulu?” monolog Danita sambil matanya terus memperhatikan mobil Alaric dengan jengah.
Tiba-tiba Danita terkejut ketika melihat seorang wanita bertubuh (maaf) sexy keluar dari dalam mobil tersebut. Diikuti dengan Alaric. Pupil mata gadis itu membulat besar, wajahnya memerah merasakan amarah yang perlahan-lahan naik ke permukaan perasaannya. Tanpa sadar, Danita mengepalkan kedua tangannya, gigi atas dan bawahnya saling bergesekan.
Kesal dan marah bercampur aduk di dalam sana.
Alaric memang definisi laki-laki paling brengsek di dunia ini. Padahal baru beberapa jam yang lalu, Alaric menawarkan tumpangan kepada Danita—yang memang gadis itu tolak, tapi apakah pantas, setelah Danita menolak tumpangan lelaki itu, dia malah memberikan tumpangan ke perempuan lain?
Danita buru-buru keluar dari dalam mobilnya. Keluarnya Danita dari dalam mobil, cukup berhasil membuat seorang Alaric terkejut. Namun sayangnya, lelaki itu terlalu pandai menyembunyikan rasa keterkejutannya,
“Eh ada adik tingkat kesayangan gua.” daripada sapaan ucapan Alaric barusan seperti sebuah ejekan yang cukup membuat Danita ingin melemparkan pot bunga di ujung sana ke muka lelaki itu.
Danita tidak memberi respon, ia hanya melihat kedua manusia itu dari atas sampai bawah, dengan tatapan datar namun cukup menusuk. Tatapan itu sebenarnya membuat Alaric gugup, tapi, sekali lagi, Alaric adalah orang yang paling ahli dalam menyembunyikan apa yang sedang dirasakannya,
“Cewe baru lo?” tanya Danita sambil melirik gadis yang berdiri disamping Alaric.
Gadis itu hanya tersenyum, terlihat tersipu malu. Ia menundukkan pandangannya, sambil tangannya menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Argh! Danita kesal dengan sikap sok imut perempuan itu,
“Kalau cewe baru gue emangnya lo mau ngapain? Mau cemburu?”
Danita mendecakkan lidahnya,
“Cemburu?” tawa ejekkan Danita menggelegar di seluruh sudut basement, lalu seketika tawa itu berhenti dan wajah Danita berubah menjadi sangat datar, dengan tatapan matanya yang menusuk, membuat bulu kuduk berdiri untuk siapapun yang melihatnya.
Danita berjalan beberapa langkah untuk mendekati Alaric. Lalu tangannya ia gunakan untuk menepuk-nepuk pipi pria itu dengan pelan. Dari jarak sedekat ini, Danita sebenarnya bisa mendengar suara degup jantung Alaric, namun gadis itu tidak memperdulikannya,
“In your dream, honey.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Danita memberikan senyuman miringnya yang bisa saja menantang maut siapapun yang melihatnya. Lalu, dia berlalu menjauh meninggalkan Alaric dan wanita yang tidak Danita ketahui namanya. Lagipula, Danita juga tidak ingin tahu nama perempuan itu. Tidak penting baginya.
Perasaan Alaric sekarang benar-benar tidak karuan. Katakan lah Alaric gila, tapi sesuatu dibawah sana terasa sesak setelah Danita melakukan hal diluar nalar barusan. Melihat gadis itu dari dekat, tangannya yang menyentuh kulit pipinya dan ditepuk-tepuk pelan, suaranya yang indah namun mematikan seperti sebuah siren dilautan sana, dan senyuman mautnya, membuat Alaric kehilangan akal sehatnya,
“Aric.” suara perempuan yang sedari tadi berdiri disampingnya menyadarkan Alaric dari lamunan gilanya.
Alaric menoleh ke samping. Wanita itu menatap Alaric dengan bingung, seperti meminta dijelaskan atas apa yang terjadi barusan. Namun, Alaric memilih bungkam, ia hanya menggelengkan kepalanya dan menampakkan senyuman tipisnya,
“Gue duluan.” pamit Alaric secara tiba-tiba. Namun langkah Alaric tiba-tiba terhenti ketika gadis itu membuka suaranya.
“Nanti pulang bareng lagi?”
Alaric terdiam sesaat, lalu ia menggelengkan kepalanya dan tersenyum tulus,
“Sorry.”
Setelah itu Alaric pergi meninggalkan kawasan basement untuk menuju gedung fakultasnya yang tidak terlalu jauh dari basement kampusnya ini. Alaric benar-benar tidak perduli dengan nasib gadis yang tadi berangkat bersama dengannya itu.
Selama perjalanan menuju gedung kampusnya saja, yang memenuhi pikiran Alaric hanyalah Danita, Danita, dan Danita.
Tidak, ini bukan karena Alaric mencintainya seperti dulu atau bagaimana, tetapi ini karena Alaric terlalu terkejut dengan tindakan Danita barusan. Pria itu merasa, itu bukan seperti gadisnya—eh maksudnya, itu tidak seperti Danita.