03


“Selamat mal—”

Kaira terkejut bukan main ketika sosok Janu muncul dari balik pintu floristnya.

Bukan hanya Kaira, Janu pun ikut terkejut dibuatnya. Lelaki itu menjadi salah tingkah seketika. Kakinya sudah berniat untuk melangkah mundur dan pergi dari tempat ini, namun, suara nyaring milik Gita menghentikan langkag kakinya.

Kedua insan manusia itu langsung tersadar dari lamunan mereka masing-masing,

“Selamat malam mas, ada yang bisa saya dan bos saya bantu?” Gita bertanya dengan begitu ramahnya, dia belum sadar kalau laki-laki yang berdiri dihadapannya itu adalah laki-laki yang dijodohkan dengan Kaira, sahabatnya.

“Saya mau beli bunga.” jawab Janu, matanya sesekali melirik Kaira yang masih berdiri di belakang.

“Boleh.” sahut Gita, “kalau boleh tahu, bunganya buat siapa ya? Buat pacarkah, calon istrikah?”

Bingung melanda Janu ketika Gita menyodorkan pertanyaan tersebut.

Padahal, itu pertanyaan yang mudah untuk Janu. Dia datang kesini untuk membeli bunga untuk Shezan, kekasihnya. Namun, keberadaan Kaira di belakang, yang hanya diam sambil memperhatikan dirinya, membuat Janu menjadi sedikit salah tingkah dan kebingungan untuk menjawab pertanyaan Gita.

Kaira yang paham akan gerak-gerik Janu yang merasa tidak nyaman akan keberadaan dirinya di sekeliling lelaki itu, pada akhirnya memutuskan untuk menjauh dari Janu dan juga Gita. Kaira berjalan ke belakang, berpura-pura untuk menyelesaikan tugasnya di kebun yang ada di belakang, padahal, pada kenyataannya dia hanya menghindar.

Melihat Kaira yang pergi begitu saja, membuat banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Janu buru-buru menyadarkan dirinya sendiri dari perasaan aneh ini. Dia langsung menjawab pertanyaan Gita yang belum sempat dijawabnya,

“Saya mau beli bunga untuk rekan kerja saya.” jawab Janu.

Gita mengangguk paham, “kalau gitu, saya panggil bos saya dulu ya? Soalnya dia yang paling paham soal bunga-bunga. Disini saya cuma bagian kasir doang.” Gita cengengesan.

Begitu tahu kalau Gita hendak memanggil bosnya, yang mana itu adalah Kaira. Janu langsung gugup, dan dia juga berniat untuk menghadang Gita agar tidak memanggil Kaira, namun sayang, gadis itu sudah keburu pergi bahkan sebelum Janu menghalanginya.

Tidak lama, Kaira kembali dari tempatnya, sendirian, tanpa Gita. Gadis itu langsung mendekat ke arah Janu. Bisa terlihat dari ekspresi wajah mereka. Mereka berdua sama-sama merasa gugup dan salah tingkah,

“Mau beli bunga?” Kaira bertanya terlebih dahulu.

Janu menganggukkan kepalanya, “buat rekan kerja.” jawab Janu.

“Dalam rangka apa?”

Diam. Lagi-lagi, Janu hanya diam. Terlihat jelas kalau dia kebingungan untuk menjawab apa.

Sampai pada akhirnya, jawaban ini pun terlintas di otaknya,

“Minta maaf.” jawab Janu, “staff gue ngelakuin banyak kesalahan, jadi gue sebagai direktur yang baik, mau minta maaf dan ngasih bunga.”

Kaira mengangguk. Dia diam sejenak, seolah-olah sedang berpikir. Sampai akhirnya, Kaira kembali bersuara,

“Kalau kayak gini, saran saya, lebih baik kasih bunga anggrek aja. Soalnya, anggrek itu elegan tapi sederhana. Kalau untuk minta maaf, kita gak perlu pakai bunga yang heboh dan mencolok banget, nanti keliatan kalau kita kaya mau nyuap partner kerja kita, dan gak bagus juga kan di dalam etika berbisnis. Gimana?”

Janu termangu mendengar penjelasan dari Kaira,

“Permisi. Hallo…” Kaira melambai-lambaikan telapak tangannya di depan muka Janu.

Janu langsung tersadar dari lamunannya, “eh iya kenapa?” tanya lelaki itu.

Kaira menghela nafasnya,

“Bapak dengar saya bicara apa tadi kan?” tanya Kaira memastikan.

Janu merasa awkward ketika Kaira memanggilnya dengan sebutan bapak, dan juga memanggil dirinya sendiri menggunakan kata “saya”,

“Iya denger.” jawab Janu, “boleh dirangkai sekarang aja bunganya? Client gu—saya udah nunggu.”

Kaira mengangguk.

Gadis itu, dibantu dengan Gita, mulai mempersiapkan pesanan Janu.

Tidak butuh waktu hampir 1 jam. Karangan bunga anggrek untuk “partner kerja” Janu sudah selesai di rangkai. Kini bunga anggrek itu sudah berada di dalam bouquet menggemaskan hasil karya tangan cantik Kaira,

“Semuanya jadi berapa?” Janu bertanya.

Gita menyebutkan nominal harga dari bunga anggrek itu. Dan Janu membayarnya dengan kontan.

Sehabis itu, Janu pergi dengan sesegera mungkin meninggalkan tempat itu. Tetapi, sebelum pergi, dia sempat memperhatikan Kaira yang sedang melayani customer lain.

Entah apa yang ada di pikiran Janu saat memperhatikan Kaira yang sedang melayani customer lain dengan begitu ramahnya.

Yang jelas, tanpa Janu sadari, ada perasaan hangat di dalam dirinya, melihat keramahan Kaira, yang tidak pernah ia temukan di perempuan lain. Sekalipun itu ibunya atau Shezan.