— 04
“Selamat sore kawula muda! Hari ini, sesuai janji aku sama Yazid, kita bakal bacain curcol sore dari siapa hari ini, Zid?”
“Kita bakal bacain curcol di sore yang mendung dan dingin ini dari Greta. Wow keren banget ini curhatannya dikasih judul hahaha!”
“Oh iya? Judulnya apa? Wah kreatif banget ya buat mba Greta yang tinggal di Setrasari Indah.”
“Judulnya almost. Kayak lagu Ariana Grande gak sih?”
“Yang mana? Oh yang almost is never enough itu yah? Ih itu ceritanya sedih banget tau!”
“Jangan-jangan, ceritanya hampir sama lagi kayak lagunya Mba Ari.”
“Kita gak pernah tahu. Jadi sekarang, mending kita baca curhatannya, oke? Ini kayaknya bakal sedih, jadi buat kawula muda yang mungkin relate sama cerita ini, boleh banget persiapin tisu, antisipasi aja. Kan kata iklan juga, sedia payung sebelum hujan, sedia tisu, sebelum hujan air mata.”
Suara penyiar radio yang talkaktive melalui tape mobil Alaric itu memecah keheningan yang terjadi di dalam sini. Iya, dari sejak keluar basement kampus, sampai, mereka sudah setengah jalan, tidak ada percakapan yang terjadi diantara keduanya.
Mereka berdua sama-sama merasa canggung. Selain itu, keduanya juga terlalu larut dalam pikiran masing-masing,
“Hallo kak, nama aku Greta, aku mahasiswi di UNPAD. Dua tahun yang lalu aku sempet deket sama kakak tingkatku, dia anaknya baik, mukanya bener bener ganteng banget, proporsi badannya pun juga sempurna. Intinya, dia bener bener perfect banget. Semua cewek suka sama dia, tapi untungnya dia sukanya sama aku. Waktu itu sih dia bilangnya gitu. Kita itu dulu deket banget, bisa dibilang orang-orang ngeliat kita tuh kayak yang pacaran, padahal enggak, aku bahkan sampai mikir kalau misalkan kita beneran bakal jadi sepasang kekasih. Tapi, ternyata takdir gak memihak itu sama kita. Aku, waktu itu lagi ada acara di hotel, nemenin papa sama mama aku, dan aku ngeliat dia check in sama cewek. Sakit hati aku waktu liat itu. Aku pingin nyamperin dia, dan mukul dia, tapi aku urungin niat itu, karena aku juga sadar kalau aku gak punya hak untuk cemburu sama dia.”
Telinga Danita terus mendengarkan cerita milik Greta yang dibacakan oleh si penyiar radio perempuan. Begitu pun dengan Alaric. Sambil tangannya memegang stir mobil, sambil telinganya bekerja dengan baik—mendengarkan kisah cinta tragis milik gadis bernama Greta tersebut,
“Setelah itu, aku nge cut off hubunganku sama dia. Aku bener bener hancur, sampai aku sakit dan bisa dibilang hampir mati karena penyakitku itu. Untungnya, aku bisa survive dan sadar bahwa kesedihanku ini enggak bakal pernah bisa bikin aku kuat, sedangkan cita-citaku adalah aku pingin jadi perempuan yang kuat.”
“Aku dan kakak tingkatku ini akhirnya musuhan, kami sering berantem dan saling sindir kalau ketemu di kantin. Pokoknya hubungan kami berubah 180 derajat dari semulanya. Sedih, sakit, rindu, kecewa, campur aduk dan perasaan itu masih menghantuiku saat ini. Saat dia udah bahagia sama perempuan lain, dan aku disini masih berdiri, dan nangisin kisah cinta aku yang—”
Danita tiba-tiba mematikan tape tersebut. Alaric terkejut. Namun sedetik kemudian, pria itu menahan tawanya, dia sadar kalau Danita mematikan tape itu karena dirinya (mungkin) merasa tersindir dengan cerita milik si Greta itu. Alaric melirik sebentar ke arah Danita,
“Kenapa dimatiin? Ngerasa kesindir?” ejek Alaric sambil matanya tetap fokus membawa mobil mewahnya ini di jalanan Bandung yang semakin lama semakin menggelap.
Danita mendelik sewot, “kesindir apaan? Males aja gue denger cerita bucin lebay kayak gitu.” alibi Danita, padahal sebenarnya, dia merasa tersindir dengan cerita dari Greta yang mirip sekali dengan ceritanya.
“Dih, padahal dulu waktu kita masih adem ayem, tiap sore, pasti lu selalu dengerin ardan Curcol Sore kan? Mau ceritanya bucin atau kagak juga lu dengerin sampe congean kuping gue.”
“IH!” pekik Danita, “DIEM BISA GA SIH LO?”
Alaric tertawa renyah.
Membuat Danita kesal memang selalu membuat perasaan Alaric senang. Gadis itu benar-benar terlihat sangat lucu dan menggemaskan kalau sedang kesal dan marah,
“Oke, gue bakalan diem, tapi dengan satu syarat.” ucap Alaric disela-sela tawanya.
Danita tidak merespon dengan ucapan, tapi gadis itu merespon dengan lirikan mata sinis,
“Lo harus temenin gue makan sore. Gimana? Mau nggak? Kalau mau gue diem, kalau nggak, gue bakalan terus gangguin lu.”