— 05
Kedatangan mobil milik Alaric di rumah Danita, langsung disambut oleh sebuah motor trail berwarna hitam yang diduduki oleh seseorang dengan posisi membelakangi mobil Alaric. Pria itu jelas bingung dengan motor trail dan orang yang menumpanginya diatas tersebut, namun, beda halnya dengan Danita, ia sudah tahu itu siapa. Dan, Danita pun tanpa berpamitan kepada Alaric, langsung melepaskan safety beltnya, lalu keluar dari mobil dan menghampiri orang tersebut.
Alaric pun tak tinggal diam, ia juga, ikut keluar dari dalam mobil. Tidak berniat untuk mendekati Danita dan laki-laki itu. Alaric hanya berdiri sambil bersandar ke kap mobilnya. Memperhatikan dua manusia yang sedang berhadap-hadapan, sambil sesekali keduanya melirik ke arah Alaric dengan lirikan tidak nyaman,
“Lu abis jalan sama Bang Aric?” Jeano bertanya dengan suara yang pelan.
“No, bukan jalan kok, cuman pulang bareng aja.” jawab Danita disertai dengan senyuman manisnya, “oh iya, Anna tadi bilang katanya lo dateng kesini mau minta maaf ya?”
Jeano mengangguk dengan menampilkan senyuman tulusnya,
“Iya gue mau minta maaf. Maafin gue karena gue gak cerita sama lu dari awal kalau gue udah punya cewek. Gue tau itu gue salah banget, tapi, gue pun pada saat itu mikirnya kayak, ya ngapain juga gue cerita soal gue yang udah punya pacar, karena i think, thats not important soalnya gue pun juga gak ada niatan lebih sama lu, gue cuma pingin jadi temen lu, kayak dulu waktu awal awal kita ospek. Tapi mungkin, sikap gue itu ngebuat lu jadi gak nyaman. So, i just wanna say, im so sorry.”
Danita bisa merasakan ketulusan dari nada bicara Jeano. Gadis itu tersenyum menyambut untaian kata maaf dari Jeano,
“Dont worry, im already forgive you, cuman ya jangan di ulangin lagi ya? Kasian loh cewek lu disana, nanti mikirnya malah gimana-gimana lagi.”
“Dia anaknya santai sih, cuman iya, gue emang harus ngehargain dia, karena dia adalah orang yang udah bikin gue berhasil lupain masa lalu gue.” kalimat diakhir, Jeano ucapkan dengan nada yang serius, dan tatapan mata yang berarti untuk Danita.
Tapi, Danita tidak menyadarinya. Terbukti dari tawa pelan gadis itu sebagai sebuah respon dari ucapan Jeano. Yah, Jeano tidak memiliki hak untuk marah, karena semua ini juga salahnya yang sampai sekarang tidak mau jujur akan perasaannya dahulu kepada Danita. Jadi, bukan salah Danita kalau gadis itu masih bisa tertawa setelah Jeano berucap seperti barusan,
“Believe me, kalau lu nyakitin cewe yang udah nyembuhin lu dari masa lalu lu, nantinya lu bakalan nyesel. Jadi, please, jaga dia oke?”
Jeano menganggukkan kepalanya sambil menyunggingkan senyumannya.
Karena dirasa urusannya dengan Danita sudah selesai, Jeano pun akhirnya berpamitan untuk pulang,
“Dan, kalau gitu, gue pulang dulu ya?” pamitnya yang dijawab anggukan kepala oleh Danita.
Jeano melirik Alaric, dan mengangguk sambil memberikan senyuman tipisnya—sebagai sebuah sapaan untuk kakak tingkatnya itu. Setelahnya, Jeano kembali menaiki motornya, memaki helmnya, dan menyalakan mesin motornya yang bunyinya lumayan berisik itu,
“Pamit dulu ya Dan.” pamit Jeano sekali lagi.
“Iya. Hati-hati.”
Setelahnya, Jeano melajukan motornya meninggalkan kawasan komplek rumah Danita.
Dan, sekarang, hanya tersisa, Danita dan juga Alaric. Gadis itu melirik Alaric dengan malas, lalu mendekati kakak tingkatnya itu dengan ekspresi muka yang datar,
“Cowok emang brengsek.” itu kalimat pertama yang Alaric ucapkan kepada Danita.
Danita mendecih sebal, “ya lo juga sama aja kayak dia, malah lo lebih parah, check in di hotel bareng sama cewe lain.”
Alaric menghela nafasnya kasar. Niat hati ingin menjelek-jelekkan Jeano, eh, hal tersebut malah menjadi bumerang baginya,
“Soal itu..” Alaric seperti hendak menjelaskan perihal kesalah pahaman yang terjadi diantara keduanya.
Danita pun terlihat seperti menunggu kelanjutan kalimat yang akan Alaric lontarkan.
Namun, tiba-tiba, ponsel Danita berbunyi. Alaric seperti kehilangan fokusnya, begitu pula dengan Danita. Gadis itu buru-buru melihat ponsel yang berada di genggamannya tersebut, dan melihat siapa yang menelfonnya. Ternyata itu adalah ibunya.
Danita langsung mengangkat telfonnya, dan tanpa sadar, ia berjalan masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Alaric tanpa berpamitan kepada lelaki itu. Memang, kalau soal orang tua, Danita seperti lupa dengan orang lain yang ada di sekitarnya.
Alaric hanya dapat tersenyum melihat Danita yang tiba-tiba pergi meninggalkannya begitu saja. Lelaki itu tidak marah, ia justru merasa gemas. Entahlah, di matanya, apapun yang dilakukan Danita selalu membuatnya merasa gemas. Pada akhirnya, Alaric harus menunda menjelaskan kesalah pahaman yang terjadi ini. Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam mobilnya, dan pulang ke rumahnya untuk beristirahat.