06
Siang ini, seperti biasa Kiara dan Gita melayani begitu banyak pembeli yang datang ke toko.
Kiara begitu bersyukur karena toko bunga yang dirintisnya dari sejak dia masih berkutat dengan skripsinya, sekarang betul betul menjadi toko bunga besar yang sering dikunjungi oleh orang-orang.
Tidak pernah terpikirkan oleh dirinya kalau dia akan menjadi seorang pembisnis yang setiap bulannya mendapatkan omset hampir satu milyar perbulannya.
Semoga, rezeki akan terus berpihak kepada dirinya. Aamiin,
“Kai.” panggil Gita.
Kaira menoleh,
“Tadi ada yang ngechat gue, nanya gitu toko kita buka apa ngga.”
“Terus? Lo jawab apa?” tanya Kaira sambil memperhatikan bunga lily yang tinggal sedikit lagi itu.
“Ya gue jelasin aja kalau toko kita itu selalu buka dari hari Senin sampai Minggu, bahkan di tanggal merah pun kita tetep buka, kecuali hari—”
Ucapan Gita terpotong karena datangnya seorang lelaki gagah, dengan jas yang begitu mengepas di badannya, sehingga memperlihatkan tubuh lelaki itu yang kekar. Wajahnya yang begitu tampan, dan senyumannya yang manis yang membuat wanita manapun tergila-gila ketika melihatnya.
Gita sampai melongo saking terpesonanya dia dengan lelaki itu.
Berbeda dengan Kaira yang terkesan tidak begitu perduli dengan penampilan customernya tersebut,
“Selamat siang ada yang bisa saya bantu?” Kaira bertanya dengan begitu ramahnya.
Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, “saya mau beli bunga untuk ibu saya, kebetulan ibu saya suka sekali bunga lily.” jawab lelaki itu, “bunganya masih ada?”
“Oh iya, kebetulan untuk bunga lily kita masih ada, tapi mungkin enggak sebanyak biasanya, ya kurang lebih cuman 5 tangkai. Bagaimana?”
“Oh boleh boleh, gak apa-apa. Saya pesan satu ya.”
Kaira mengangguk,
“Kalau gitu saya siapin dulu bunganya ya.” pamit Kaira, lelaki itu mempersilahkan Kaira untuk mempersiapkan bunga pesanannya.
Sebelum pergi ke belakang untuk menghias bunga lily pesanan customernya menjadi bouquet bunga yang cantik, tidak lupa Kaira memberi kode kepada Gita untuk segera sadar dari lamunannya. Untungnya, Gita langsung sadar dari lamunannya.
Dan, begitu Kaira pergi ke belakang, Gita pun mengajak lelaki itu untuk bercengkrama sedikit,
“Bapak yang tadi ngechat saya ya?” tanya Gita basa basi.
Lelaki itu mengangguk, “jadi mba yang namanya Gita?” tanyanya.
Gita mengangguk. Jantungnya berdebar ketika lelaki dihadapannya ini mengingat namanya,
“Iya pak, saya yang namanya Gita, yang tadi itu temen saya namanya Kiara. Dia bosnya pak, saya disini cuman bantu-bantu aja.”
“Oh gitu.” lelaki itu melanjutkan ucapannya, “nama saya Marlo.”
“Oh Pak Marlo.”
Marlo pun terkekeh pelan, “jangan panggil saya pake embel-embel pak dong, saya belum punya anak, panggil aja pake nama. Marlo.”
Gita cengengesan,
“Iya pak—eh maksud saya Marlo.”
Marlo mengangguk sambil tersenyum.
Tidak lama, pintu toko pun terbuka. Dan masuklah Janu ke dalam. Marlo menoleh ke belakang untuk melihat sosok Janu yang datang dengan wajahnya yang begitu hancur, seperti lelaki itu sedang ditimpa masalah yang begitu besar.
Janu terkejut bukan main melihat keberadaan Marlo disini. Begitu pula dengan Marlo, yang terkejut melihat Janu yang datang dengan wajahnya yang lesu, bak seseorang yang sedang memiliki banyak masalah dalam hidupnya.
Gita? Gadis itu semakin tidak berdaya karena harus berada di antara dua laki-laki tampan. Rasanya ia ingin pingsan detik ini juga,
“Lu ngapain disini?” tanya Janu setelah dirinya berdiri bersebelahan dengan Marlo.
“Ya lu pikir aja gue disini ngapain.” jawab Marlo sedikit agak sarkas.
“Beli bunga buat siapa lu?”
“Nyokap.” jawab Marlo, mendengar jawaban itu, Janu langsung diam.
Tidak lama, Kaira kembali ke depan dengan bouquet bunga lily yang sudah ada di tangannya.
Gadis itu terkejut begitu melihat Janu yang sudah ada disana bersama dengan Marlo. Janu tersenyum menyapa Kaira, dan gadis itu langsung mematung saat senyum Janu menyapanya. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena Kaira langsung sadar dan buru-buru memberikan bouquet bunganya kepada Marlo.
Marlo menerima bouquet bunga itu dengan senyum yang sumringah,
“Ibu saya pasti bakal suka ngeliat bouquet bunganya seindah ini.” puji Marlo, membuat Kaira tersenyum bangga, “pantes aja ya tokonya selalu rame, kualitas bunganya bagus, terus bouquet nya juga sebagus ini.”
“Bayar aja kali kagak usah kebanyakan muji.” sindir Janu.
Kaira melotot melirik Janu yang berbicara sangat tidak sopan kepada customernya.
Marlo hanya tertawa,
“Gak apa-apa, sepupu saya emang suka gitu.”
“HAH? SEPUPU!?” pekik Kaira terkejut, “mas dia sepupu kamu?”
Gita dan Marlo terkejut begitu mendengar Kaira menyebut Janu dengan sebutan mas,
“Iya, dia sepupu gue.” jawab Janu, “oh iya, kayaknya sekarang aja deh gue kasih tau ke elu, Lo.”
Marlo hanya diam,
“Kaira, pemiliki Kaira florist ini adalah cewek yang nyokap dan bokap gue pilihin untuk gue.”
“Maksudnya?”
“Iya, lo mau dikenalin kan sama cewek yang mau dijodohin sama gue? Ya dia ceweknya.”
Gita membuka mulutnya lebar-lebar, dia begitu tidak percaya kalau dia bertemu langsung dengan lelaki yang akan dijodohkan dengan Kaira.
Marlo yang semakin terkejut pun mencoba untuk menahan dirinya sendiri untuk tidak memberikan reaksi yang berlebihan,
“Wow, dunia sempit banget.” celetuk Marlo sambil tersenyum sarkas, “keren sih, cewek secantik Kaira bakal hidup sama laki-laki yang mungkin bakal berpoligami di masa depan.”
Kaira mengernyitkan dahinya bingung,
“Jangan omongan lu!”
Marlo tersenyum santai, “gak usah marah bro, gue cuman bercanda. By the way, selamat ya, Kai, lo bakal jadi bagian dari keluarga gue nantinya.”
Kaira tersenyum kikuk dan mengangguk,
“Ya udah kalau gitu, gue bayar dulu bunganya. Nyokap gue kayaknya udah nungguin.”
Setelah itu, Marlo pun melakukan transaksi, dan bergegas pergi menuju tempat ibunya.
Kini, tersisa Gita, Kaira, dan Janu disana,
“Jadi, lo cowok yang mau dijodohin sama Kaira?” tanya Gita.
Janu mengangguk,
“Astaga, gue beneran gak ngenalin dia loh, Kai. Meskipun lo udah ngasih liat fotonya ke gue, tapi dia lebih ganteng aslinya.”
Janu tersenyum dengan penuh percaya diri ketika mendengar pujian dari Gita. Sementara Kaira hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Gita,
“Eh gue takut ganggu moment lo berdua, kayaknya gue mending cabut ke belakang dulu deh, mau bersih-bersih.” pamit Gita.
Gadis itu langsung berlalu pergi ke belakang, meninggalkan Janu dan Kaira berdua,
“Mau ngapain kesini?” tanya Kaira tanpa basa-basi.
“Ngeliat lo kerja.” jawab Janu, “penasaran aja, calon istri gue kerjanya kayak gimana sih.”
“Tumben-tumbenan?” heran Kaira.
Janu tersenyum, “kenapa sih? Emang gak boleh? Lagian nih yah, kita ini dijodohin, dan kita harus lebih sering ngabisin waktu berdua. Itung itung pendekatan.” jelas Janu.
“Loh? Bukannya kamu ya mas dulu yang gak mau banget deket-deket sama aku? Bahkan fitting baju aja kamu selalu minta ditemenin sama ibu kamu.”
Janu terdiam. Rasa bersalah seketika menggerayangi perasaannya,
“Sorry, waktu itu gue masih dikuasai sama setan. Sekarang gue udah buang jauh-jauh setan itu.”
Kaira bergidik ngeri, “serem banget.”
Janu tertawa,
“Nanti pulang jam berapa?” tanya Janu.
“Toko tutup jam 8 sih, ya jam segituan, lebih deng, setengah sembilan, kan beres-beresin tokonya dulu. Mau ngapain?”
“Mau ngajak lu makan malem bareng. Kangen makan pecel lele.”
Kaira tersenyum senang ketika mendengar kata pecel lele disebut. Pecel lele adalah makanan favoritnya,
“Mau mau mau!” pekik Kaira bersemangat.
“Oke. Nanti gue jemput, sekarang gue ke kantor dulu ya?”
“Oke. Hati-hati ya?”
“Iya.”