—06
Setelah berkendara beberapa menit dari rumah Danita. Alaric menepikan mobilnya di sebuah jalan yang tidak terlalu ramai, malah cenderung sangat sepi.
Setelah mesin mobil itu matikan oleh Alaric. Keadaan mobil menjadi begitu sangat awkward, Alaric dan Danita hanya saling mencuri pandang beberapa kali. Mereka berdua terlihat begitu malu padahal belum melakukan apa apa sama sekali. Telinga Alaric memerah, dan pipi Danita yang bersemu.
Astaga, balada cinta anak muda memang seperti ini ya?
Lalu, selanjutnya, Alaric tiba-tiba berdehem, dan tangannya yang perlahan-lahan meraih tangan Danita, lalu menggenggam tangan itu dengan erat. Danita melirik Alaric yang kini tengah meliriknya juga sambil memberikan senyuman manisnya,
“Apaan pegang-pegang?” tanya Danita sedikit sinis.
Alaric mendecakkan lidahnya kesal, “ya emang ngapa si? Kan abis ini juga kita bakal ciuman.” sewot Alaric frontal.
Danita melotot, dan memberikan wajah kesalnya kepada Alaric karena sudah berujar dengan begitu frontal seperti barusan. Tidak tahukah Alaric kalau dirinya malu setengah mati sekarang?
“Oh iya, by the way gue mau nanya sesuatu sama lu. Sebenernya udah pingin nanya dari lama, tapi baru berani nanya sekarang.” Alaric berucap dengan serius.
“Tanya aja.”
“Waktu yang lo dipeluk sama Dimas itu, lo kenapa? Soalnya kata Dimas kan lo nangis. Gue kepo, waktu itu mau nanya tapi gengsi.”
Danita menggigit bibir bawahnya. Raut wajahnya terlihat bingung,
“Kenapa?” Alaric bertanya heran.
“Lu yakin mau tau banget alesan gue nangis waktu itu karena apa?”
Alaric mengangguk,
“Well, kalau lo gak mau ya gak apa-apa, gue juga enggak bakalan maksa.”
Mulut Alaric memang berbicara seperti itu, tapi, Danita bisa melihat dari mata pria itu, kalau dia benar-benar ingin tahu apa yang menjadi alasan Danita menangis waktu itu.
Danita menghembuskan nafasnya. Terpaksa, Danita memberitahukan alasannya menangis kepada Alaric. Semoga setelah tahu alasannya, Danita tidak berakhir dengan perasaan malu karena terus diejek oleh Alaric,
“Gue waktu itu ngerasa insecure banget. Apalagi waktu ngeliat Anya keluar dari mobil lu, dia kan badannya tuh sexy banget, sedangkan gue? Disebut body goals aja nggak kayaknya.” ucap gadis itu sedih, “terus gue jadi mikir, kayaknya lo tuh ninggalin gue, karena gue gak se sexy itu. Ya, gue jadi resah gitu, terus ya udah gue nangis.”
“Terus Dimas dateng dan meluk lo gitu?”
Danita mengangguk,
“Enak banget si Dimas.” kesal lelaki itu.
Danita hanya terdiam, tidak bergeming. Gadis itu menundukkan kepalanya malu.
Lalu, detik selanjutnya, Alaric melepaskan genggaman tangannya dari tangan Danita, yang mana itu membuat sang gadis mendongak, lalu melihat Alaric yang sudah mengubah posisi duduknya menjadi menyamping. Entah bagaimana caranya, tetapi, Danita juga ikut merubah posisi duduknya dengan hanya melihat Alaric.
Kini, keduanya sudah duduk dengan saling berhadap-hadapan. Dengan mata yang saling mata masing-masing disertai percikan-percikan api cinta yang membawa dari tatapan mata itu,
“Jangan pernah ngerasa insecure. Lo sempurna, lo lebih dari cukup bagi gue. Gue sedih kalau lo insecure apalagi sampai nangis dan sampai ngebanding-bandingin diri lo sama orang lain. Gue cinta sama lo, sayang sama lo, dan gue gak mau lo kayak gitu. Lo tau kan? Itu termasuk tindakan self harm? So please, don't hurt yourself, i love you just the way you are.“
Danita tidak bisa lagi menahan senyumnya ketika mendengar serentetan kalimat indah yang mengalun dari bibir manis Alaric. Gadis itu beruntung memilikinya. Ah, bisakah Danita disebut memiliki Alaric? Entahlah, tapi yang pasti, Danita benar-benar merasa beruntung. Tidak pernah ia merasa seberuntung ini.
Bak sebuah magnet, tubuh kedua anak adam dan hawa itu saling mendekat. Alaric memiringkan wajahnya sambil memejamkan matanya, begitu pula dengan Danita. Bibir Alaric menyapu bibir lembut milik Danita. Awalnya, hanya sebuah kecupan, namun, tiba-tiba Alaric melumat bibir Danita dengan begitu lembut, Danita pun tidak tinggal diam, ia membalas ciuman lembut itu. Ciuman yang lebih lembut dari awan dan juga kapas.
Keduanya saling melepaskan ciumannya, meraup udara masing-masing yang hilang akibat pagutan bibir barusan. Baik Alaric maupun Danita saling tatap, dan saling melemparkan tawa,
“Aku sayang kamu—ah enggak, lebih tepatnya aku cinta kamu.”
Danita tersenyum, “aku juga. Aku cinta kamu pake banget!”
“Jadi sekarang kita pacaran?”
“Terserah apapun kamu nyebutnya. Tapi aku milik kamu, dan kamu milik aku.”
Lalu setelah itu, keduanya saling berpelukan.
Hari ini adalah hari yang mungkin bisa dibilang biasa bagi beberapa orang, tapi bagi Danita dan Alaric, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi mereka berdua.
Di hari ini, cinta keduanya yang sempat putus karena sebuah kesalahpahaman kembali dipersatukan.
Tuhan memang baik. Sangat baik.