07


“Lo suka banget sama pecel lele?” tanya Janu sembari memperhatikan Kaira yang sedang asyik menyantap pecel lelenya.

Sambil mulutnya mengunyah, Kaira menganggukkan kepalanya. Aksi itu benar-benar mencuri perhatian Janu, perempuan dihadapannya itu terlihat seribu kali menggemaskan,

“Aku malah selalu pingin berterima kasih sama orang yang nyiptain pecel lele dan sambel-sambelnya soalnya enak banget.” jawab Kaira setelah mengunyah makanannya.

Janu tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tak terasa waktu semakin cepat berlalu, piring yang tadinya penuh dengan nasi, daun kemangi, kol, timun, satu ikan lele, dan sambal pun kini sudah habis tidak tersisa,

“Enak banget pecel lelenya!” komentar Kaira.

Janu tersenyum tipis, “kalau mau bungkus terus dibawa ke rumah juga gak apa-apa.”

“Ah enggak. Udah malem masa makan lagi di rumah. Lagian juga cuman bilang enak doang gak ada niatan buat makan lagi.”

“Kenapa? Lagi diet?” tanya Janu sambil menaikan satu alisnya.

Kaira menggeleng, “enggak bukan lagi diet, emang udah kenyang aja. Bilang enak kan bukan berarti mau makan lagi.”

Janu ber-oh ria,

“Kirain, karena mau nikah sama gue lu jadi ngejalanin program diet.”

Kaira bergidik ngeri,

“Kepedean banget kamu mas. Emang kamu pikir aku mau nikah sama pangeran Inggris apa hah? Sampai harus diet segala.”

“Loh? Ketampanan gue ini setara sama pangeran Inggris loh.”

“On your dream.”

Janu tertawa mendengar respon Kaira, juga melihat mimik wajah gadis itu yang betul-betul menggemaskan. Dalam hatinya Janu bertanya, kenapa dia baru menyadari kalau calon istrinya ini sangat cantik dan juga menggemaskan?

“Oh iya mas, mas Marlo itu beneran sepupu kamu?” tanya Kaira.

Dahi Janu mengernyit, “ngapain lu manggil-manggil dia pake mas segala? Akrab lu sama dia?” sewotnya.

“Loh bukan, kayaknya mas Marlo itu lebih tua dari aku, ya aku panggil mas lah. Di Jogja juga aku selalu manggil orang yang lebih tua dari aku pake panggilan mas.”

“Ya lu sekarang tinggal dimana gue tanya?” Janu bertanya masih dengan nada suaranya yang terdengar begitu sewot.

“Di Bandung.” jawab Kaira dengan suara yang agak pelan. Dia bingung sekaligus agak takut dengan sikap Janu yang berubah-ubah layaknya seorang bipolar.

“Nah ya udah, panggil aja pake nama gak usah pake mas-mas an segala.”

“Tapi kan gak sopan—”

“Nurut sama calon suami sendiri bisa kan?” Janu buru-buru memotong ucapan Kaira.

Kaira menghela nafasnya,.

“Iya. Maaf ya mas.” lirih Kaira.

“Dimaafin.” jawab Janu singkat.

“Tapi mas.”

“Apalagi?”

Kaira menelan ludahnya sebelum bertanya, “mas gak punya penyakit bipolar kan?” tanya Kaira berhati-hati.

Janu memasang ekspresi tidak percaya mendengar pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari mulut calon istrinya itu. Bagaimana bisa dia berpikiran seperti itu? Ya ampun,

“Lu waktu di chat nyebut gue ikut pesugihan, sekarang lu bilang gue kena bipolar. Ada masalah apa sih lu sama gue?”

“Ih gak gitu mas. Yang waktu di chat mas bilang kalau mas di gangguin sama setan alas, ya aku pikir mas ikutan pesugihan, terus pesugihannya gagal karena mas gak ngikutin kemauan makhluk pegangan mas, eh akhirnya mas diganggu sama setan alas. Terus yang bipolar, aku bingung, mas itu kadang sikapnya baik, kadang ngeselin, kadang ketus, terus berubahnya pun gak ada jangka waktunya, selalu habis baik, tiba-tiba jadi ketus.”

“Oke, gue jelasin.”

Kaira mengangguk dan dia menatap Janu dengan tatapan serius yang mana itu malah membuat Janu merasa gemas, dan ingin sekali menggigit pipi Kaira kalau bisa,

“Yang urusan setan alas itu. Gue gak sama sekali ikut pesugihan, lagian gue udah kaya, ga perlu ikut ikutan hal musyrik kayak begitu. Haram hukumnya.”

“Terus setan alas yang mas sebutin itu maksudnya apa coba?”

“Setan alas yang gue maksud itu adalah, wujud manusia, manusia asli nih yah bukan hantu bukan apa, tapi gue perumpamain sebagai setan alas, soalnya kelakuannya kayak setan.” jelas Janu.

Kaira hanya ber-oh ria,

“Terus yang kedua, yang lu nyangka gue bipolar. Oke gini, kenapa gue jadi baik sama lu, karena gue pingin perjodohan ini lancar sampai kita menikah nantinya. Gue sadar, pernikahan bukan hal yang harus dimain-mainin. Ini sunah, dan wajib untuk kita seriusin, biar berkah ke hidup kita nantinya.”

“Masha Allah.” Kaira bergumam di dalam hatinya.

“Dan kenapa gue jadi ketus, gue gak suka lu tiba-tiba ngomongin laki-laki lain di depan gue yang notabenenya adalah calon suami lu.”

“Tapi kan Mas Marlo itu sepupunya mas. Terus aku juga mau jadi bagian dari keluarga mas, wajar dong aku nanya soal Mas Marlo, biar kalau ketemu nanti aku jadi gak salah bersikap sama beliau.”

Janu menghela nafasnya,

“Ya udah biar gue jelasin aja.” akhirnya Janu mengalah, “Marlo itu dia sepupu gue, dia anaknya adiknya bokap gue. Nyokapnya Marlo di rawat di rumah sakit jiwa karena depresi yang dideritanya. Dulu Marlo punya adik, perempuan, namanya Marleen, cuman Marleen meninggal karena kecelakaan, dan ibunya depresi, lalu dirawat di rumah sakit jiwa yang ada di daerah Lembang.”

Ekspresi wajah Kaira mengisyaratkan sebuah perasaan empati kepada Marlo,

“Hubungan gue sama Marlo gak pernah baik, gak tau kenapa juga, pasti setiap kali ketemu ada aja hal kecil yang selalu kita ributin.” sambil bercerita, sambil Janu mengingat kembali hal hal yang selalu dia dan Marlo ributkan. Tawa kecil terdengar oleh telinga Kiara, “tapi walaupun begitu, dia tetep sepupu gue, ada darah gue juga yang mengalir di tubuh dia, begitupun dengan dia, ada darah dia yang mengalir di tubuh gue.”

“Kalau kayak gitu, kalian harus damai dong.”

“Itu sih tergantung.” kata Janu, Kaira mengernyitkan dahinya bingung, “tergantung kalau semisal lu mau berhenti nanyain tentang Marlo, gue bakal baik sama dia, tapi kalau lu nanyain terus, gue bakal terus perang sama dia.”

“Astaga. Iya iya, ini terakhir aku nanya-nanyain soal Mas Marlo.”

“Pinter.” Janu senyum, “ya udah pulang sekarang aja yuk?”

Kaira mengangguk,

“Hayu.”