A Mission


“Luk—”

Karina berniat untuk meneriaki sosok Lukman, mantan gebetannya yang tengah duduk bercengkrama bersama seseorang. Namun, teriakan Karina masuk kembali ke dalam tenggorokannya, tat kala dirinya menyadari bahwa seseorang yang tengah bercengkrama dengan Lukman itu adalah Barra. Karina menggigit bibir bawahnya, otak gadis itu berpikir keras, haruskah dia menghampiri Lukman dan mengambil tas pesanannya, atau kembali ke gedung Fakultas Hukum setelah kurang lebih sepuluh menit dia berjalan dari gedung FH ke gedung Fakultas Ilmu Komunikasi dengan kondisi cuaca yang sangat panas.

Sebenarnya, tidak masalah sih Karina datang dan menghampiri Lukman meskipun disana ada Barra. Tapi entah kenapa, mengetahui fakta bahwa Barra sudah memiliki kekasih membuat Karina rasanya malas untuk bertemu dengan lelaki itu. Karina tidak dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa sikapnya yang seperti ini adalah karena dirinya sudah terpikat oleh karisma yang dimiliki Barra. Tidak sama sekali. Dia hanya merasa agak malas saja mungkin.

Setelah berpikir panjang kurang lebih satu menit, Karina memutuskan untuk kembali ke gedung Fakultas Hukum. Gadis itu berbalik, hendak berjalan meninggalkan kawasan gedung Fakultas Ilmu Komunikasi, namun baru juga beberapa langkah, suara bariton Lukman meneriaki namanya. Karina memejamkan matanya kesal. Wajahnya Karina jelas terlihat malas dan tidak ingin menghampiri Lukman, namun lelaki itu memanggil namanya, mau tidak mau Karina berbalik, dan matanya menangkap pemandangan Lukman yang sudah berdiri dari duduknya seraya melambai-lambaikan tangannya kepada Karina—memberi tanda bahwa Lukman lah yang memanggilnya. Sementara Barra, pria itu juga sama berdiri dari duduknya seraya menatap lurus ke arah Karina, dengan senyuman cool yang pria itu berikan kepada Karina.

Karina menghela nafasnya panjang. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju Lukman dan Barra. Sesampainya Karina di hadapan dua laki-laki jangkung itu, membuat dirinya awkward sendiri, terutama dengan Barra. Karina tidak berani untuk sekadar melihat wajah Barra, dia tidak mengerti akan dirinya sendiri, kenapa dia bersikap seaneh ini?

“Bang, pokoknya makasih banget buat saran yang lo kasih ke gue tadi. That means so much to me.” ujar Lukman seraya menepuk pundak Barra. Melihat itu, dapat Karina tebak kalau Lukman memang berteman dekat dengan Barra.

Barra mengangguk sambil tersenyum sederhana yang justru malah menambah kadar ketampanan lelaki itu. Karina semakin tidak sanggup dan tidak ingin melihat wajah Barra,

“Sama-sama.” ucap Barra, lalu mata pria itu mencuri-curi pandang untuk menatap Karina yang sedari tadi matanya bergerak kesana kemari, mencoba untuk menghindarian kontak mata dengan Barra.

Sorry banget nih bang, kayaknya gue harus cabut dulu, soalnya ini cewek gue gak bisa kalau lama-lama, nanti ngamuk.” Karina melotot mendengar perkataan Lukman, apalagi dengan laki-laki itu yang tiba-tiba merangkul bahu Karina. Sialan, batin Karina bergumam. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dan mengumpati Lukman di dalam hatinya.

Barra melihat Lukman yang merangkul Karina dengan tatapan tidak suka. Tatapan mata Barra menajam, bak sebilah belati yang siap untuk memotong tangan Lukman agar tidak seenak jidatnya merangkul bahu Karina. Namun, Barra tidak dapat melakukan apapun, dia hanya bisa diam, sembari tangannya mengepal menyalurkan rasa kesalnya. Sedetik kemudian, Barra tetap memberikan senyumannya—yang terkesan terpaksa kepada Lukman,

“Oh iya, have fun sama cewek lu ya.” entah kenapa Karina merasa seperti Barra menekankan suaranya ketika dia menyebut kata have fun dan cewek lu ya. Entah memang dia benar menekankan suaranya, atau hanya Karina saja yang menyadari itu.

Setelah itu, Lukman membawa Karina pergi dari tempat tersebut. Beberapa kali, Karina mencoba untuk melihat ke belakang, dia berniat untuk memberikan salam perpisahan dengan Barra, namun yang nampak adalah Barra yang tengah berjalan pergi entah kemana. Karina tersenyum getir, mungkin lain kali, Karina bisa menyapa dan berpamitan dengan lebih baik kepada Barra.

Lukman membawa Karina pergi ke parkiran mahasiswa yang ada di gedung Fakultas Ilmu Komunikasi, untuk mengambil tas titipan Karina yang Lukman taruh di mobilnya. Tas itu harganya sepuluh juta, belinya pun di Milan, Italia, jadi, Lukman harus menyimpan tas mahal dan bermerk tersebut di tempat yang baik. Dan, mobilnya sendiri adalah pilihan yang tepat.

Sesampainya di mobil Lukman. Karina buru-buru melepaskan tangan Lukman dari bahunya, menggunakan tangannya sendiri dengan kasar. Lukman sudah biasa diperlakukan kasar seperti ini oleh Karina, jadi dia tidak marah sama sekali. Lelaki itu malah tertawa, membuat kekesalan Karina terhadapnya semakin membuncah,

“Ngapain lo ketawa!?” kesal Karina melihat Lukman yang tertawa.

“Lucu lo kalau lagi kesel.” bukannya merasa bersalah atau bagaimana, Lukman malah mengejek Karina, semakin kesal Karina dibuatnya.

“Eh sumpah ya! Gue gak suka lo kayak tadi bilang gue cewek lo, terus rangkul-rangkul gue. Emang laki gak ada otaknya ya lu. Minta gue jadiin orak arik daging.” omel Karina.

“Orak arik daging gak ada, adanya orak arik tempe kali.” ejek Lukman.

“NGEJAWAB AJA LU!”

“Ya elu ngamuk ngamuk aja, gak bakal gue kasih nih tasnya.”

“Ya udah, terserah, nanti gue laporin lo ke kantor polisi, atas pasal penipuan!” ancam Karina yang jelas saja tidak serius. Karena dia tahu, Lukman hanya sedang bercanda saja, jadi Karina juga tidak benar-benar serius menanggapi ucapan lelaki itu. Namun tetap saja, rasa kesal Karina kepada Lukman nyata adanya.

“Duh ileh, emang dasar anak hukum ye, dikit dikit lapor polisi.” Lukman menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari pria itu membuka bagasi mobilnya, dan mengambil tas pesanan Karina yang masih terbungkus rapih dengan paper bag bertuliskan Gucci tersebut, “nih tas lu!”

Lukman memberikan tas tersebut kepada Karina. Senyum Karina merekah, moodnya yang tadi hancur, seketika naik kembali karena tas yang sudah lama ia idam-idamkan bisa datang ke pelukannya juga. Butuh waktu 2 bulan untuk Karina bisa menabung dan membeli tas yang harganya belasan juta ini,

“Seneng lu?” tanya Lukman sedikit sarkas, melihat Karina yang beberapa menit lalu terlihat kesal dan mengomeli Lukman, lalu sekarang tersenyum senang karena tas mahal itu.

Karina mengangguk, “ya iyalah gila, lu gak tau aja gimana gue pingin banget beli tas ini, gue nabung sampai dua bulan asal lo tau aja!”

“Gak mau tau juga sih gue sebenernya.” ucapan Lukman itu langsung dihadiahi pelototan sinis dari Karina, “nah nah kan mau ngomel lagi kan pasti.”

Karina menggelengkan kepalanya seraya menunjukan bread smilenya yang menggemaskan. Mati-matian Lukman menahan hatinya untuk tidak jatuh ke pelukan gadis ini lagi, karena dia sudah memiliki kekasih sekarang. Tapi, pesona Karina yang seperti rubah—maksudnya dia bisa menjadi imut, dan tangguh, juga sexy secara bersamaan, membuat Lukman jatuh cinta kepada gadis ini,

“Gak kok, gue gak bakal marah-marah, soalnya lo udah bawain tas gue sooooo, thank you ya! Thank you banget!”

“Cium dulu dong kalau gitu.” goda Lukman sambil menaik turunkan alisnya.

Karina meludahi Lukman secara pura-pura. Lukman hanya mampu tertawa seraya tangannya mengacak-acak rambut Karina, membuat gadis itu merengek protes karena rambutnya yang sudah ia tata rapih jadi berantakan karena tangan besar Lukman,

“Jadi berantakan kan rambut gue!” omel Karina, Lukman hanya tertawa, kedua tangannya berinisiatif untuk membenarkan rambut Karina yang ia acak-acak.

Mungkin dulu, disaat Karina masih menaruh hati kepada Lukman, gadis itu akan sangat berbunga-bunga dan salah tingkah apabila di perlakukan seperti ini. Namun sekarang, semuanya sudah terasa biasa saja. Tidak ada getaran yang dulu Karina rasakan setiap ia melihat Lukman. Baginya, Lukman hanyalah masa lalu Karina yang membuat Karina tersadar bahwa, cinta pertama itu tidak selalu berakhir indah.

Tanpa sadar, ada seseorang di sebrang sana yang memperhatikan gerak-gerik Lukman juga Karina dari beberapa menit yang lalu, sembari orang itu menggertakan giginya, betapa kesalnya hati orang itu melihat bagaimana Karina dan Lukman yang berinteraksi dengan begitu romantisnya,

“Lo ngapain sih?”

“Anj—”

Orang yang mengintipi Lukman dan Karina itu hampir saja berteriak karena seseorang menepuk pundaknya dengan begitu keras. Dia berbalik, dan langsung menarik kerah orang yang menepuk pundaknya tersebut dan menyeretnya ke tempat lain yang lebih jauh dari tempat persembunyiannya,

“Apaan sih lu!” kesal pria tersebut sembari melepaskan paksa tangan sang empu dari kerahnya menggunakan tubuhnya sendiri, “lu ngapain sih Barra ngintip-ngintip kayak tadi? Ngeliatin apaan coba gue tanya!?”

Ya, si pelaku intip itu ternyata adalah Barra.

Bagaimana bisa? Jadi, ketika Karina dan Lukman sudah pergi, Barra pura-pura pergi juga, dia jalan sejauh mungkin, nah lalu, setelah itu Barra kembali ke tempat asal pertemuan mereka, dia melihat Lukman dan Karina yang berjalan dengan jarak yang sudah lumayan agak jauh. Maka dari itu, Barra langsung mengikuti keduanya dengan perlahan-lahan, seolah-olah dia tengah masuk ke dalam rumah yang isinya adalah berlian, dan Barra hendak mencuri berlian-berlian tersebut,

“Gue lagi ngeliatin si Lukman tadi sama cewek. Lu liat gak?” kesal Barra, misinya untuk mengintipi dua manusia itu gagal karena salah satu temannya yang rese menghancurkam segalanya.

“Ngapain anjir lu liatin si Lukman? Demen lu sama dia? Perasaan di GC semalem lu bilang lu demen Karina, sekarang lu malah demen sama yang berbatang. Kamuflase aja ya kelakuan lo ini?”

“Sialan lo, Dimas!” umpat Barra tepat di depan wajah Dimas, sahabatnya, “iya itu, Lukman tuh tadi lagi sama Karina. Gue mantau mereka, soalnya mereka mesra banget. Gagal gara gara elu sialan!” Barra tetap terus menyalahkan Dimas.

“Ya sorry gue kan gak tau. Lagian lo juga gue cariin, di tungguin noh sama dosbim lu, mau ngomongin soal sempro. Nelfonin gue dari tadi.”

“Alah sempro lagi sempro lagi ngentot, niat gue mau ngintilin Lukman sama Karina gagal dah.”

“Ngapain ngintilin gue bang?”

Suara milik Lukman dari arah belakang, langsung mengejutkan Dimas dan Barra. Dua lelaki itu dengan bebarengan berbalik ke belakang, melihat tubuh jangkung Lukman yang sudah berdiri disana sembari menatap dua kakak tingkatnya itu,

“Lu dari kapan di belakang kita berdua?” tanya Barra panik.

“Pas lu ditarik sama Bang Dimas, terus Karina pamit balik ke gedung FH, gue langsung nyusulin kalian berdua.” jawab Lukman dengan santai, meanwhile Barra sudah ketar-ketir karena rencananya tercium oleh Lukman.

Dimas sebenarnya ingin tertawa, namun, dia mencoba untuk menahan tawanya. Dia menghargai Lukman sang sahabat yang gagal menjalankan rencananya untuk memata-matai Lukman dan Karina,

“Lo tau?” Barra bertanya dengan ragu. Sebenarnya pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban, karena sudah jelas dan pasti, Barra tahu jawaban atas pertanyaannya sendiri itu.

Lukman mengangguk seraya tersenyum,

“Gue tau lu ngintilin gue sama Karina bang.” jawab Lukman, “gue juga bisa ngeliat dari tatapan mata lo yang kayaknya naruh perasaan lebih ke Karina.”

Barra terdiam,

“Tenang bang, gue sama Karina cuman temen doang. Ya, walaupun gue masih kadang deg-degan kalau liat dia, tapi don't worry, gue udah gak minat untuk macarin dia, karena gue juga udah ada cewe.” Lukman bicara lagi.

Dan, Barra masih setia dengan diamnya. Begitu pun dengan Dimas,

“Tapi bang, saran gue, selesain dulu hubungan lo sama Kak Anin, baru habis itu, kejar Karina. Soalnya sayang kalau sesempurna Karina harus dijadiin selingkuhan.”

Setelah bicara seperti itu, Lukman dengan santainya berbalik untuk pergi kembali menuju mobilnya yang masih terparkir di parkiran khusus mahasiswa, lalu pulang ke apartemennya dan beristirahat, sebelum nanti malam, dia pergi menemui kekasihnya. Sementara, Barra dan Dimas masih diam di tempat mereka. Begitu, Lukman pergi, Dimas langsung menepuk pundak Barra dengan lumayan keras, membuat Barra tersadar dari lamunannya dan menatap Dimas disampingnya dengan kesal,

“Denger, selesain dulu sama Anin, baru sama cewek lain.” sindir Dimas langsung. Laki-laki itu langsung pergi meninggalkan Barra.

Sementara Barra hanya menghela nafasnya kasar. Ya dia tahu betul bahwa dirinya juga harus mengakhiri hubungannya dengan Anindira terlebih dahulu sebelum mulai melakukan pendekatan dengan Karina. Tapi, bagaimana caranya? Bagaimana caranya dia mengakhiri hubungannya dengan Anindira? Bagaimana dia meminta kedua orang tuanya berbicara kepada kedua orang tua Anindira untuk membatalkan perjodohan ini?