After Twelve Years, We Meet Again
Gedung Fakultas Ilmu Komunikasi dan Gedung Fakultas Hukum sebenarnya tidak terlalu jauh. Jarak kedua gedung tersebut hanya sekitar 150 meter. Cukup lumayan menguras tenaga sebenarnya, tapi bagi Kaynara yang memang gemar berolahraga, hal seperti ini tidak terlalu membuatnya kelelahan.
Gadis itu sudah menginjakkan kakinya di aquarium—sebuah ruangan yang lumayan cukup besar yang full kaca bak aquarium—dia melanjutkan perjalanannya sampai tiba di kantin fakultas ilmu komunikasi—Maizara sempat menelfon Kaynara, dan bilang kalau pembeli itu menunggunya di kantin ilmu komunikasi.
Sesampainya di kantin, Kaynara tidak langsung melanjutkan langkah kakinya. Dia menelusuri setiap sudut kantin menggunakan mata kecilnya itu, untuk menemui sosok perempuan yang percis seperti di foto yang Maizara kirimkan kepadanya. Dan akhirnya, mata kecil itu menangkap sosok perempuan yang bernama Tiara—pelanggan Maizara. Dia sedang duduk disana bersama tiga laki-laki di depannya.
Kaynara dengan senyum lebarnya berjalan kembali untuk menghampiri gadis itu. Namun, belum juga ada tiga langkah, gadis itu berhenti melangkah, senyuman lebar di wajahnya pun seketika menghilang bak di telan bumi. Dia melihat sosok pria bertubuh jangkung dengan paras yang tampan, menghampiri meja Tiara dan duduk di samping Tiara.
Kaynara kenal lelaki itu. Iya. Dia adalah Gentala Samudra. Laki-laki yang pernah mengajaknya menikah dua belas tahun yang lalu.
Seketika, Kaynara merasa canggung untuk melangkahkan kakinya kesana. Perasaan aneh ini tiba-tiba datang. Kalau Kaynara boleh menebak, mungkin perasaan ini datang karena mereka sudah lama tidak bertemu, dan juga sehari sebelum mereka berpisah, Kaynara dan Gentala menyempatkan untuk pergi ke sebuah bukit di dekat rumah dinas orang tua mereka, dan disana, Gentala yang saat itu baru berumur sepuluh tahun, mengajak Kaynara yang saat itu baru berumur sembilan tahun untuk menikah ketika mereka sudah dewasa.
Membayangkan hal itu sekarang, disaat Kaynara sudah berumur dua puluh tahun, dan sudah tidak terlalu bodoh soal cinta membuat bulu kuduknya meremang. Ia benar-benar merinding,
“WOI!” suara teriakan seseorang di belakang Kaynara berhasil membuat seisi kantin ilmu komunikasi yang seketika ramai langsung hening, dan mereka semua—termasuk Tiara, Gentala, dan tiga laki-laki itu, menoleh ke sumber suara—yaitu Kaynara.
Kaynara yang terkejut sekaligus malu karena menjadi pusat perhatian semua orang langsung minggir untuk memberikan akses jalan kepada seorang laki-laki bertubuh gempal dengan wajahnya yang menyeramkan. Gadis itu menghela nafasnya kasar. Benar-benar memalukan.
Karena sudah kepalang malu, gadis itu dengan sangat amat terpaksa berjalan mendekati meja yang diduduki oleh Tiara dan Gentala. Dalam hatinya, Kaynara sangat berharap, mudah-mudahan Gentala sudah lupa dengan Kaynara,
“Hai.” sapa Kaynara yang mati-matian untuk tidak menatap Gentala—yang sialnya saat ini tengah menatap ke arahnya.
“Hai.” balas seorang dari ketiga pria yang duduk dihadapan Tiara dan Gentala. Dia adalah pria dengan rambut gondrong berwarna, “anak mana? Cantik banget.” pujinya yang langsung mendapatkan hadiah pukulan di kepala dari kedua teman disampingnya.
Kaynara tidak terlalu memperdulikan pujian-pujian genit seperti itu. Dia sudah sering mendapatkannya, awal-awal Kaynara memang merasa senang, tapi makin kesini, rasanya semakin menjijikan dan melelahkan, ketika dia harus terus mengucapkan kata “terima kasih” disertai senyuman disaat semua orang memujinya. Padahal, Kaynara tidak pernah meminta banyak orang untuk memuji kecantikannya,
“Kakak namanya Kak Tiara ya?” tanya Kaynara sambil memandangi wajah Tiara yang terlihat tirus dan pucat.
Tiara menganggukkan kepalanya. Lalu sedetik kemudian dia memasang ekspresi kagetnya, sepertinya dia baru ingat kalau Kaynara adalah “kurir” yang dimaksud oleh Maizara,
“Kamu Kaynara ya? Temennya Maizura kan?” Tiara malah balik bertanya, dan Kaynara mengangguk sebagai jawaban, “ya ampun, maaf ya aku lupa, aku kira kamu siapa. Sorry sorry.”
Kaynara tertawa kecil.
Tawa manis itu, berhasil membuat Gentala yang sedari tadi hanya diam dan memandangi wajah cantik Kaynara, ingin berdiri dan mendekatinya lalu mendekap tubuhnya. Menyalurkan seluruh kerinduan yang sudah selama dua belas tahun ini ia tahan.
Rasanya amat sangat sesak, ketika kita tidak bisa memeluk seseorang yang kita cintai hanya karena kita harus menghargai seseorang yang mencintai kita.
Davian, sedari tadi diam-diam memperhatikan Gentala. Dia mungkin bukan pakar pembaca ekspresi muka seperti Roy Suryo, tapi dia tahu, kalau ada perasaan rindu yang begitu besar yang ingin Gentala sampaikan pada sosok perempuan yang tengah berdiri diantara mereka berlima. Dan, Davian melihat jelas perbedaan dari cara Gentala menatap Tiara dan cara Gentala menatap perempuan itu,
“Oh iya kak, ini barangnya.” Kaynara menyerahkan dus berbentuk kotak segi empat dengan ukuran tidak terlalu besar itu kepada Tiara. Namun, Tiara malah menolak kotak tersebut, Kaynara kebingungan.
“Jangan kasih ke aku, kasih ke pacar aku aja.” ucap Tiara sambil menepuk pundak Gentala, “soalnya ini hadiah dari aku untuk dia, karena dia udah jadi best boyfriend.” lanjutnya, sambil tangannya bergelayut manja di tangan Gentala, dan menatap wajah tampan lelaki itu dengan tatapan mesra, sementara Gentala hanya tersenyum canggung.
Ada perasaan aneh yang menggerogoti hati Kaynara melihat pemandangan itu. Entahlah, dia merasa kesal. Mungkin, karena dulu Gentala mengajak Kaynara menikah karena Gentala bilang dia mencintai Kaynara, tapi kini, lelaki itu malah berpacaran dengan perempuan lain. Selain itu, ini mungkin efek dari Kaynara yang baru saja ditolak oleh laki-laki yang disukainya, Milan.
Kaynara memaksakan senyumnya. Dia berjalan memutari meja untuk menghampiri Gentala. Setelah itu, ia memberikan kotak tersebut. Dan tidak sengaja tangan keduanya saling bersentuhan ketika Gentala menerima kotak tersebut. Debara jantung Kaynara tidak terelakan lagi ketika tangan mereka saling bersentuhan,
“Makasih.” ucap Gentala sambil tersenyum kepada Kaynara. Kaynara mengangguk kikuk, “makasih ya, Tiara.” sambungnya sambil kini menatap Tiara.
“Sama-sama sayang. Aku cuman bisa kasih kamu t-shirt ini, dan maaf kalau kamu gak suka. Jujur aku agak bingung kesukaan kamu apa, soalnya kamu apa aja suka.”
Aku suka sama Kaynara, Tir,
“Lo kasih bangke ke Genta juga bakal dia terima, Ra.” ucap salah satu teman Gentala.
“Sialan lo.”
Melihat pemandangan ini. Kaynara hanya mampu tersenyum. Dia senang sekali. Entah kenapa, rasanya begitu senang melihat Gentala yang tubuh dengan baik, memiliki seorang teman, dan juga kekasih. Jujur, Kaynara merindukan Gentala, karena dialah satu-satunya orang yang selalu bersama Kaynara ketika mereka kecil dulu. Namun sekarang, keadaan sudah berubah, Kaynara tidak bisa bersama Gentala terus menerus seperti dahulu. Mereka sudah hidup dengan pilihan masing-masing.
Bagi, Kaynara, bertemu dengan Gentala disaat laki laki itu tumbuh dengan baik dan sehat, adalah hal yang paling membahagiakan dari apapun,
“Kalau gitu, aku permisi dulu ya. Udah mau ujan juga soalnya.” pamit Kaynara, dia tidak enak kalau harus terus berlama-lama disini.
“Mau di anterin gak? Gue free. Gue bisa nganterin kok.” tawar laki-laki berambut gondrong itu lagi.
Kaynara menggelengkan kepalanya. Melihat bagaimana panjangnya rambut lelaki itu, dan penampilannya yang seperti anak punk tapi versi elit, membuat Kaynara berpikir dua kali untuk meladeninya. Takut kalau Kaynara menerima tawaran lelaki itu, di jalan, tiba-tiba dia membius Kaynara, dan keesokan harinya Kaynara terbangun tanpa menggunakan sehelai benangpun di ranjang bersama lelaki itu,
“Dia takut sama lu, Elang. Makanya potong noh rambut lo, jelek banget kayak dukun beranak lu lama-lama.” ejek pria dengan tubuh kekar dan wajah yang mirip seperti orang Batak.
“Sialan lu, Rangga!”
Oh, ternyata Elang dan Rangga nama mereka berdua,
“Udah lu berdua katro banget kayak gak pernah liat cewe cakep.” lerai satu pria lagi, “lo kalau mau pulang ya pulang aja, maaf temen gue emang suka gangguin orang.”
Kaynara mengangguk, dia kembali berpamitan, lalu setelah itu pergi meninggalkan kawasan kantin ilmu komunikasi untuk pulang ke apartemennya.
Sementara itu, Gentala terus memandangi punggung Kaynara yang semakin lama semakin menjauh. Tatapan mata itu tidak bisa berbohong. Gentala terlihat sangat sedih dan tidak rela kalau Kaynara harus pergi, dia masih belum puas untuk melihat wajah manis dan cantik Kaynara. Dia ingin Kaynara. Dia rindu Kaynaranya.
Semoga Tuhan dan semesta mau berpihak kepada keduanya kali ini.