APARTEMENT


“Lo udah reservasi hotel?” tanya Jerhan sambil tangannya memegang kemudi dan matanya fokus ke jalanan.

Kanaya yang duduk disamping Jerhan, melirik lelaki itu dan menggelengkan kepalanya. Sekilas, Jerhan melirik Kanaya lalu kembali fokus ke jalanan.

Pria itu tertawa tidak menyangka,

“Lo nih liburan kesini niat enggak sih? Kok sampai enggak ngelakuin reservasi hotel?” Jerhan terheran-heran, tangannya membelokkan stang mobilnya ke arah kanan.

Kanaya menghela nafasnya.

Dia juga sebenarnya tidak mau pergi jauh ke negara orang tanpa persiapan seperti ini. Tapi, waktu itu dia memesan tiket dalam keadaan dia masih menjadi kekasih Jendral, dan, dia berpikir kalau hubungannya dengan Jendral akan bertahan sampai hari ini, jadi untuk apa dia melakukan reservasi hotel kalau dia bisa tinggal bersama Jendral di apartement lelaki itu. Tetapi, Tuhan berkehendak lain.

Maka dari itu, Kanaya tidak sempat untuk mereservasi hotel untuk tempatnya beristirahat selama dia berada di Paris,

“Sejujurnya, aku dateng kesini itu karena aku mau nemuin cowok aku, aku beli tiket waktu aku sama dia masih pacaran, jadi ya, aku pikir aku gak usah reservasi hotel, aku bisa kan tinggal di apartement dia. Ya, makanya aku enggak kepikiran buat reservasi hotel, terus ternyata aku sama dia putus, jadi ya, kamu bisa tebak sendiri lah.” jelas Kanaya.

Jerhan tertawa mendengar penjelasan Kanaya. Tawanya terdengar biasa saja, namun bagi Kanaya itu adalah suara tawa yang paling menyebalkan yang pernah di dengar oleh telinganya. Wanita itu memberikan tatapan tajamnya kepada Jerhan.

Jerhan meliriknya sekilas lalu tawanya kini menjadi lebih keras,

“Gitu amat ngeliatin guanya? Gua tau gua ganteng, tapi ya biasa aja lah.” tengilnya.

Kanaya memukul pundak Jerhan pelan, “kamu orang Indonesia ternyebelin tau gak sih yang pernah aku temuin di Paris.” ungkapnya.

“Pernah? Lo sebelum kesini ketemu sama berapa orang Indo?”

“2.” jawab Kanaya.

“Siapa aja?” tanya Jerhan sambil membelokkan stangnya ke kiri.

“Supir taxi, dan mantan pacar aku.” jawab Kanaya.

Jerhan sedikit terkejut ketika gadis itu menjawab bahwa dia sempat bertemu dengan mantan pacarnya,

“Lo ketemu sama mantan pacar lo? Terus kenapa lo ngga tinggal sama dia aja?” tanya Jerhan.

Kanaya menghela nafasnya. Matanya melirik ke jalanan kota Paris yang terasa begitu indah ketika malam hari,

“Ya, dia udah ada perempuan lain, lagi pula rasanya aneh kalau aku tinggal sama dia, disaat kami aja udah gak ada hubungan apa-apa.” sambil menyenderkan kepalanya ke senderan kursi, Kanaya menoleh kepada Jerhan, “that would be so awkward, right?”

Jerhan menganggukkan kepalanya. Dia paham. Rasanya memang beda ketika harus tinggal bersama seseorang yang pernah menjadi siapa-siapa kita di masa lalu,

“Terus, sekarang lo mau tinggal dimana? Kalau cari hotel jam segini mungkin udah banyak yang full booked palingan juga besok pagi-pagi kita bisa cari.”

“Kalau kayak gitu, aku harus tidur dimana? Masa di pinggir jalan?”

“Kalau di apartement gue gimana?” tawar Jerhan.

Kanaya terkejut, ia langsung menegakkan tubuhnya, dan menatap Jerhan dengan posisi menyamping,

“Maksud kamu?” selidik Kanaya, “Jerhan, aku gak tau ya kamu punya niat apa sama aku.”

“Lah? Niat gue baik sumpah. Gak ada niat aneh-aneh.” jawab Jerhan.

“Kalau gak ada niat aneh-aneh kenapa kamu malah ngajak aku tinggal di apartement kamu?”

Jerhan mendecak kesal,

“Sekarang gini, kalau gue turunin lo di depan, terus gue suruh lo tidur di jalanan, lo bakal marah ga?” Jerhan bertanya, Kanaya mengangguk sebagai jawab, “terus gue tawarin lo untuk tidur di apartement gue, which is tempat yang amat sangat layak untuk lo tinggali barang sehari aja, lu marah juga? Jadi lu maunya gimana?”

Kanaya terdiam. Ada benarnya juga apa yang Jerhan bilang. Lebih baik ia dan Jerhan tinggal serumah, daripada Kanaya harus tidur mengemper di jalanan kota Paris,

“Lagian gue gak demen cewek modelan kayak lu. Rata gitu gak ada yang bisa di pegangin.” lanjut Jerhan.

Kanaya langsung tersinggung. Tangan kecilnya mencubit semut pinggang Jerhan. Pria itu langsung menjerit kesakitan, memohon untuk Kanaya melepaskan cubitannya. Tapi Kanaya tidak mengabulinya, ia malah meminta Jerhan untuk berkata ampun, dan Jerhan menuruti kemauan Kanaya, lalu Kanaya pun melepaskan cubitannya,

“Gila, lo punya anemia tapi cubitan lo keras banget anjir. Alamat merah ini pinggang gue. Elu sih!” protes Jerhan.

“Kok jadi aku? Kamu yang mulutnya gak bisa di rem, ngomong seenak jidat aja. Itu tuh termasuk pelecehan tau gak, untung gak aku bikinin thread di twitter, bisa mampus kamu kalau aku spill di twitter. Lagian juga aku kena anemia, bukan kena struk.”

Jerhan mendecak.

Ada saja jawaban yang keluar dari mulut perempuan itu.


Kanaya dan Jerhan tiba di apartement milik laki-laki itu.

Kanaya tersenyum melihat bagaimana rapihnya apartement Jerhan. Dia bahkan sampai tidak percaya kalau apartement ini milik Jerhan, saking rapihnya apartement ini.

Beda sekali dengan sifat pemiliknya.

Padahal tadi di otak Kanaya, ia sudah bisa membayangkan bagaimana berantakannya apartement yang ditinggali oleh Jerhan,

“Kamu punya pacar ya? Apartement kamu rapih banget.” tanya Kanaya sembari melirik Jerhan yang sedang menaruh kunci mobilnya di sebuah kotak yang ada di nakas atas dekat TV-nya.

Jerhan terkekeh. Ia menatap Kanaya dari jarak 1 meter,

“Emang cewe doang yang bisa rapih? Cowo juga bisa.” jawab Jerhan.

Kanaya mengangguk.

Satu hal positif dari Jerhan yang bisa Kanaya dapatkan. Lelaki itu benar-benar bersih, dan sepertinya, ia bukan sosok laki-laki yang akan membiarkan pacarnya bersih-bersih. Kanaya tersenyum membayangkan hal itu,

“Oh iya, by the way, malem ini, lo tidur di sofa.”

Senyuman manis itu dalam sepersekian detik bisa berubah menjadi wajah kesal layaknya singa yang siap memakan mangsanya kapanpun dia mau,

“Apaan mukanya kayak gitu? Gak suka gue suruh tidur di sofa?”

“You think!?” sewot Kanaya, “lagian kamu ini gimana sih? Aku perempuan, udah gila kali kamu suruh aku tidur di sofa, kalau badan aku sakit-sakit gimana?”

Jerhan mendecak sambil berkacak pinggang,

“Udah gue bayarin administrasi rumah sakit 3 juta, masih aja pengen tidur di kasur empuk gue? Gak tau diri banget buset.” ucapnya sarkastik, “udah anggep aja lo tidur di sofa itu sebagai ganti karena lo udah nguras ATM gue 3 juta on the first day we met.”

“Tapi kan—”

“The decision is unanimous and cannot be contested.” Jerhan tersenyum seolah olah mengejek Kanaya, “good night Kanaya, have a good rest.”

Jerhan melambaikan tangannya kepada Kanaya. Yang mana itu membuat Kanaya semakin kesal.

Lelaki itu berjalan menuju kamarnya untuk beristirahat, meninggalkan Kanaya yang masih berdiri di tempatnya, melompat-lompat sambil tangannya meninju-ninju angin, seolah-olah angin itu adalah Jerhan.


“Udah tidur belum dah itu si freak?”

Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari waktu Paris. Sama sekali Jerhan belum bisa memejamkan matanya, otaknya dipenuhi oleh gadis itu. Kanaya, wanita yang berhasil menghabiskan 3 juta rupiah di hari pertama mereka bertemu.

Pria itu bangkit dari duduknya. Ia berjalan keluar, dan melihat Kanaya yang sudah mengganti bajunya dengan baju yang lebih nyaman, sedang tertidur di sofa. Tidurnya terlihat begitu damai, wajahnya seribu kali lipat lebih cantik ketika dia sedang tidur.

Jerhan mendekati Kanaya di sofa. Ia menatap wajah cantik wanita itu cukup lama. Memori tentang bagaimana ekspresi kesal Kanaya setiap kali Jerhan menggodanya memenuhi otaknya, hal tersebut membuat Jerhan sama sekali tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa, dan mengucap kata seperti berikut ini,

“Gemesin juga.”

Tiba-tiba Kanaya bergerak, namun mata gadis itu tetap terpejam. Jerhan bisa melihat bagaimana tidak nyamannya Kanaya tidur di sofa, apalagi mulut gadis itu yang tiba-tiba melakukam komat-kamit (seperti sedang mengutuk Jerhan karena sudah membiarkannya tidur di sofa). Hal itu membuat Jerhan tidak tahan untuk tidak kembali tertawa. Bagaimana bisa Kanaya selucu ini bahkan ketika dia sedang tidur pun, dia masih terlihat begitu menggemaskan.

Merasa kasihan dan tidak tega. Setelah cukup puas tertawa, Jerhan langsung merunduk sedikit untuk mengangkat tubuh Kanaya, dan memindahkannya ke kamar. Di kamar Jerhan, pria itu menghempaskan tubuh Kanaya dengan begitu pelan dan lembut di ranjang empuk milik Jerhan. Setelah itu, Kanaya langsung bergerak ke kiri, dan memeluk guling empuk milik Jerhan. Senyum nyaman langsung terpatri di wajah cantiknya yang terlihat begitu bersih dan sehat itu.

Jerhan tertawa kembali. Tingkah Kanaya seratus kali lebih menggemaskan apabila gadis itu sedang berada di alam mimpinya. Belum tentu laki-laki lain akan sekuat Jerhan, untuk tidak mencium pipi gembul Kanaya atau mencium bibir ranum pink milik gadis itu,

“Gue cuman mau bilang sama siapapun mantan lu itu, Nay, kalau dia bodoh karena udah mutusin perempuan kayak lu. Walaupun kelakuan lu aneh dan ngeselin, tapi, gue tau, lu orang yang baik, super duper baik. Semoga setelah ini kita bisa jadi temen ya, Nay?”