Ask for Permission


“Jefri?”

Jani terkejut melihat Jefri yang tengah berada di pusara kedua orang tuanya.

Mendengar namanya di panggil, Jefri langsung menoleh dan berdiri begitu melihat Jani yang datang sembari membawa bouquet bunga untuk kedua orang tuanya. Jefri menyambut Jani dengan senyuman manisnya,

“Hai.” sapa Jefri setelah Jani berada di sampingnya.

“Hai.” Jani membalas sapaan Jefri, “lo ngapain di makam nyokap bokap gue?” tanya Jani heran.

“Bulan depan kita mau nikah, dan rasanya gak etis kalau saya enggak izin sama orang tua kamu.” jawab Jefri sambil tersenyum tipis, “saya udah selesai kok, kalau kamu mau sendiri, gak apa-apa, saya bakal lang—”

“You stay here.” perintah Jani yang jelas langsung diiyakan oleh Jefri. Kapan lagi gadis ini meminta Jefri untuk menemaninya, “sampai gue selesai.”

“Oke.”

Lalu Jani pun mendudukan dirinya di rerumputan yang bersih dan rapih itu. Ia meletakkan bouquet bunga ditengah-tengah batu nisan kedua orang tuanya. Jani memang sengaja membelikan bunga untuk orang tua gadis itu ketika dalam perjalanan menuju makam.

Jani menatap dua batu nisan yang terpampang nama ayah dan ibunya. Meskipun Jani sering berbicara kepada teman-temannya, kalau dia sudah benar-benar berdamai dengan masa lalunya. Tetapi, ketika dia kembali ke tempat ini, tempat yang sebenarnya paling dia benci. Air mata itu kembali menetes, mengaliri pipi chubbynya.

Jefri melihat itu. Dia melihat Jani yang menangis sembari menatap nisan kedua orang tuanya dengan penuh kerinduan. Tidak ada yang siap untuk kehilangan orang yang kita sayangi, apalagi orang itu adalah orang tua. Dan, Jefri dapat memahami itu,

“Pa, ma, hallo, Jani disini.” ucap Jani dengan suara yang bergegar, “maaf ya ma, pa, Jani jarang kesini, tapi Jani selalu doain mama dan papa kok setiap malem. Papa sama mama denger semua doa-doa Jani kan?” sambungnya.

“Pa, ma, anak bungsu kalian ini bulan depan udah mau menikah, sama laki-laki yang tadi udah duluan dateng kesini dan minta izin sama mama dan papa.” Jefri dibuat tertawa mendengar ucapan Jani, gadis itu melirik Jefri dan tersenyum getir, “sekarang, giliran aku mau minta izin sama papa dan mama. Aku mau menikah ma, pa, sama laki-laki yang kalian pilihin untuk aku. Aku gak tau apa aku bakal punya kehidupan rumah tangga seindah rumah tangga kalian atau rumah tangganya Kak Dira sama Kak Chandra. Tapi yang jelas, sekarang aku mau ngejalanin ini semua dengan ikhlas. Dan, aku minta untuk papa sama mama selalu ngawasin aku dari atas sana, dan tolong hukum calon suami aku kalau misalkan dia buat yang macem-macem.” ucap Jani yang lagi-lagi membuat kontak mata dengan Jefri yang kini sedang tersenyum geli ke arah Jani.

“Oh iya pa, ma, kalian bakalan jadi kakek sama nenek loh, karena Kak Dira lagi hamil, dan sekarang kehamilannya udah masuk trimester ke dua. Dia udah empat bulan, tapi semenjak Kak Dira hamil, dia jadi ngeselin dan bawel, percis kayak mama dulu.” Jani tertawa sumbang, “dulu papa sampai kesel sendiri karena mama bawel banget, aku masih inget waktu papa sama mama berantem pakai bahasa Belanda, itu lucu banget, kalian berantem tapi masih bisa saling ketawa satu sama lain. Cuman, habis itu, aku kesel karena aku mergokin kalian lagi making love.”

Jefri menatap Jani dengan tatapan tidak percaya sekaligus bertanya-tanya. Apakah membahas tentang hal terakhir yang diucapkan oleh Jani itu di perbolehkan ketika berada di pemakaman?

“Tapi gak apa-apa, itu tandanya kalian masih saling sayang.” lanjut Jani, dia seperti tidak perduli dengan tatapan bingung Jefri, “rumah bener-bener sepi tanpa adanya papa sama mama, meskipun ini udah mau yang ke dua tahun, sejak kalian ketemu sama Tuhan di surga. Maaf ya pa, ma, aku kadang masih suka nangisin kalian. Aku cuman rindu, gak ada maksud apa-apa. Tolong sering-sering dateng ke mimpi aku ya pa, ma. Aku bener bener pingin di datengin sama kalian lewat mimpi sebelum aku menikah nanti. Aku sayang sama kalian, dan sampai nanti aku mati, aku akan terus sayang sama kalian.”

Jani menundukkan tubuhnya untuk mengecup kedua nisan orang tuanya itu.

Melihat hal itu, hati Jefri terasa seperti menghangat. Senyuman tulus sedari tadi tidak luntur dari wajah tampan lelaki itu,

“Udah selesai?” tanya Jefri sembari berdiri dari duduknya, mengikuti Jani.

Jani mengangguk, “habis ini lo mau kemana?” tanya Jani begitu dia sudah berdiri disamping Jefri.

Alih-alih menjawab pertanyaan sang calon istri, Jefri malah balik bertanya,

“Kamu butuh temen untuk ngobrol?”

“Kerjaan lo gimana?”

“Kerjaan bisa di urus nanti, yang terpenting saya harus nemenin kamu.”

Mereka bercengkrama sembari berjalan berdampingan meninggalkan kawasan pemakaman, sampai pada akhirnya mereka berdua tiba di depan mobil milik Jefri. Seperti biasa, Jefri membukakan terlebih dahulu pintu untuk Jani, lalu setelah itu dirinya memutari mobilnya untuk masuk dan duduk di dalam.

Sekarang mereka sudah berada di dalam mobil. Jefri sudah menyalakan mesin mobilnya, dan dia sedang memundurkan mobilnya menggunakan satu tangan, sembari melirik ke belakang, takut takut ada sesuatu yang ia tabrak.

Jani menjadi salah tingkah, setelah melihat Jefri yang menyetir mundur mobilnya menggunakan satu tangannya yang berurat. Tapi, Jani mencoba untuk menyembunyikan hal tersebut dan bersikap seolah biasa saja dan tidak terpana dengan aksi Jefri barusan,

“Dosa banget ini gue abis nangis-nangis di makam bokap sama nyokap, eh malah disuguhin pemandangan sexy kayak barusan.”


Sekarang, Jefri dan Jani sedang duduk di hamparan rumput hijau yang terbentuk seperti bukit dan di depannya ada sungai buatan yang airnya amat sangat bersih. Katanya, tempat ini adalah tempat yang selalu Jefri datangi disaat lelaki itu merasa lelah tetapi tidak ingin meminum minuman kerasnya,

“Lo kok bisa nemuin tempat ini di Bandung?” tanya Jani sembari melirik Jefri yang duduk di sampingnya.

Jefri balas melirik Jani, “banyak tempat-tempat indah di Bandung yang jarang ke ekspose.” jawab Jefri, seraya tangannya melemparkan kerikil ke danau buatan tersebut.

Jani hanya menganggukkan kepalanya, sembari mulutnya membentuk huruf O,

“Jan.” panggil Jefri.

“Ya?”

“Kenapa kamu gak ada di rumah duka, waktu mama papa kamu meninggal?”

Pertanyaan Jefri membuat Jani termangu. Bingung harus menjawab apa,

“Kalau gak mau jawab gak apa-apa, saya gak maksa kamu untuk jawab.” ucap Jefri. Dia sadar dengan diamnya Jani setelah Jefri bertanya seperti diatas, menandakan bahwa Jani keberatan untuk menjawab pertanyaan itu.

Jani menarik nafas lalu menghembuskannya dengan kasar,

“I was in the hospital.” jawab Jani sambil melirik Jefri, yang dilirik pun ikut memperhatikan Jani yang hendak melanjutkan ceritanya, “I tried to commit suicide by slashing my veins with a sharp knife until it bled profusely. At that time i thought that i would never be able to live without my parents, so i chose to kill myself so that i could go with them.” lanjut Jani.

Jefri jelas terkejut mengetahui fakta baru tentang Jani barusan. Bagaimana bisa gadis secantik dan sesempurna ini pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya karena kedua orang tuanya yang pergi untuk selama-lamanya di waktu yang bersamaan,

“But turns out, i'm fine. Kak Chandra immediately took me to the hospital, and i was critical for 28 hours because of losing so much blood. Then the next day, i woke up, and i was really angry, i even screamed and beat the doctors and nurses who treated me at that time..”

“It didn't stop there, i had to go to a psychiatrist because i was mentally unstable. I keep trying to end my life.”

Jani menarik nafasnya dalam-dalam sembari memejamkan matanya, menikmati keindahan alam yang tersembunyi di Kota Bandung ini. Lalu dia menghembuskan nafasnya perlahan-lahan,

“Tapi gue udah seratus persen sembuh dan udah berdamai sama masa lalu. Gue udah gak pernah kepikiran untuk bunuh diri lagi.” ucap Jani dengan sangat amat yakin.

Jefri tidak memperdulikan ucapan Jani, mata pria itu terfokus kepada pergelangan tangan Jani yang ada bekas jaitan disana. Tiba-tiba Jefri meraih pergelangan tangan tersebut, Jani terdiam dibuatnya dia seharusnya marah ketika Jefri menyentuhnya seperti ini, tapi kenapa dia malah terdiam dan bingung harus melakukan apa sekarang.

Jefri mengelus bekas jahitan itu dengan ibu jarinya lembut. Dia bahkan mengangkat tangan Jani ke udara, dan Jefri merundukkan kepalanya untuk mengecup luka itu. Jani semakin dibuat terkejut dan terdiam. Pipinya pun terasa panas. Jantungnya juga berdegup kencang. Ada apa dengan dirinya?

“Don't think about suicide again. I'm here, you can tell me everything you want to tell me.” ucap Jefri dengan lembut, seraya matanya menatap lurus ke arah Jani.

Jefri tersenyum tipis, lalu ia menarik Jani ke dalam dekapannya. Lelaki bertubuh kekar itu mendekap tubuh Jani dengan erat, seolah-olah tidak ada hari esok untuk dirinya mendekap tubuh Jani.

Sementara Jani, di dalam dekapan Jefri, masih terus bertanya-tanya dengan dirinya yang tidak marah ketika Jefri menyentuh tangannya bahkan mengecup luka jahitan di pergelangan tangannya. Dan sekarang, Jani bingung, kenapa dirinya merasa begitu nyaman ketika Jefri mendekap tubuhnya dengan erat seperti ini.

Ada apa dengan dirinya hari ini?