Ayah


“Ayah.”

Sang ayah yang tengah fokus membaca koran di halaman belakang rumahnya pun langsung menutup korannya dan berbalik ke belakang, untuk melihat anak perempuannya yang paling cantik yang baru saja terbangun dari tidurnya,

“Eh anak ayah udah bangun. Sini nak.” ayah selalu memperlihatkan wajah bahagianya baik di depan Kaynara maupun di depan Jibran. Dia adalah ayah yang hebat dan yang paling baik yang pernah Kaynara miliki.

Kaynara melangkah masuk ke pekarangan belakang rumahnya. Dia duduk di bangku kosong yang ada di samping sang ayah,

“Ayah lagi baca apa?” Kaynara bertanya. Tanpa dijawab pun, dia sudah tahu jawabannya apa. Gadis itu hanya basa-basi saja.

“Koran.” jawab ayah, “kamu mau baca?” lelaki dengan tubuh kekar itu menawarkan. Kaynara langsung menggelengkan kepalanya tanda sebuah penolakan. Hal tersebut membuat hidung sang ayah berkerut bingung, “kok gak mau?” tanyanya lagi.

“Modern gini cape cape baca di koran, mending baca di handphone.”

Ayah terkekeh pelan, tangannya ia gunakan untuk mengacak-acak rambut Kaynara—membuat gadis itu mendecak sebal dan langsung membenarkan kembali rambutnya yang dibuat berantakan oleh sang ayah,

“Dasar anak muda ya, mentang-mentang semuanya udah modern ninggalin deh tuh yang konvensional.” sindir sang ayah langsung kepada Kaynara.

“Gak apa-apa, perkembangan informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.”

“Iya iya.” ayah melanjutkan ucapannya, “gimana? Udah merasa baikan sekarang?”

Kaynara terdiam. Tadi malam, dia merasa positif kalau dia sudah lebih baik perasaannya, namun, ketika ayahnya bertanya seperti ini, membuat Kaynara berpikir, apakah dia benar-benar sudah merasa lebih baik, atau dia hanya pura-pura merasa lebih baik?

“Hei.” ayah menyadarkan Kaynara dari diamnya. Gadis itu menatap sang ayah dengan tatapan polos, “kamu ditanyain kok malah ngelamun.”

“Enggak ngelamun itu, aku kan baru bangun tidur, wajar lah agak daydreaming sebentar.” kilah Kaynara. Semakin hari kemampuan berbohong Kaynara semakin terasah, “ayah, Kay mau nanya deh sama ayah. Boleh kan?”

“Boleh dong nak. Masa anaknya mau nanya dilarang-larang sama ayah. Ayo mau nanya apa?”

“Dulu, waktu ayah sama ibu pacaran, ayah pernah bikin ibu sakit hati gak?”

Tanpa perlu berpikir panjang, ayah langsung menjawab pertanyaan Kaynaran dengan anggukan kepala,

“Dulu, waktu ayah masih jadi pacar ibu, ayah brengsek banget nak.” Kaynara terdiam, membiarkan sang ayah melanjutkan kisahnya, “ayah sering main perempuan, sering beberapa kali tidur sama perempuan juga, tapi ya gitu cinta ayah cuma buat ibu.”

Kaynara tertegun, bagaimana bisa kisahnya mirip seperti kisah ibunya? Apa ini karma yang harus dia tanggung dari sikap bejat sang ayah di masa lalu?

“Ibu diem aja?”

Ayah menggeleng, “enggak ada perempuan yang diem aja waktu laki-lakinya nyeleweng nak. Ibu beberapa kali berontak, dan ngancem untuk putus, tapi ayah tahan, karena ayah gak mau kehilangan ibu. Ayah sayang sekali sama ibu kamu. Bahkan kalau ayah harus tukar nyawa ayah demi kebahagiaan ibu kamu, ayah rela nak. Demi Tuhan ayah rela.”

“Apa ibu sama ayah sempet putus?”

“Iya, sempet. Waktu itu kesalahan ayah udah gak bisa ditolerir lagi, ya sebenernya semua kesalahan ayah nggak bisa ditolerir juga, tapi untuk yang kali ini, bener-bener gak bisa. Ayah gak bisa ceritain ke kamu, intinya parah sekali nak. Ibu kamu kabur hampir satu bulan ninggalin ayah sendirian, ayah kelimpungan nyariin ibu kamu sampai beberapa kali ayah masuk rumah sakit karena jatuh sakit.”

“Lalu, pada akhirnya 2 bulan kemudian, ayah sama ibu dipertemukan lagi. Ayah udah berubah, bener-bener berubah, ayah jauhin kebiasaan buruk ayah di masa lalu. Dan saat ketemu ibu, ayah langsung sujud di depan ibu kamu, ayah minta ampun, meskipun ayah beberapa kali ditolak sama ibu kamu, tapi ayah gak menyerah, sampai pada akhirnya ibu kamu nerima ayah jadi suaminya. Dan, kami punya kamu, lalu punya Jibran.”

Mendengar cerita kedua orang tuanya yang mirip sekali dengan kisah Kaynara dan juga Abimanyu. Membuat gadis itu termangu sembari berpikir, apakah mungkin dirinya dan Abim bisa memiliki akhir yang indah seperti kedua orang tuanya?

“Kamu kok tiba-tiba nanya begitu?” ayah bertanya penasaran.

Kaynara terkekeh, “enggak apa-apa ayah, Kay cuman pingin tahu aja. Tapi ayah udah enggak kayak dulu lagi kan?” Kaynara bertanya dengan curiga.

“Kesamber gledek sampe mampus ayah kalau masih kayak dulu nak.”

Kaynara percaya kalau ayahnya sudah betul-betul berubah. Karena ayah Kaynara adalah ayah yang paling baik yang pernah ia miliki. Tidak pernah Kaynara merasa kekurangan kasih sayang seorang ayah,

“Ayah, kalau Kaynara dijahatin sama laki-laki, gimana?”

“Ayah pukul laki-laki itu.”

“Jangan ayah..” Kaynara berujar dengan lirih, lagi dan lagi bayangan wajah Abimanyu memenuhi ruang otaknya.

“Kok jangan?”

“Kay sayang sama dia. Jangan dipukul. Nanti Kay sedih.”