BANDARA
Suara pengumuman keberangkatan pesawat yang akan di tumpangi oleh Kanaya menggema ke seluruh sudut bandara. Gadis kecil dengan senyuman manis itu, lantas berdiri dari duduknya. Ia menghadap keluarga kecilnya dan kedua temannya yang ikut serta mengantar kepergiannya ke Paris,
“Ayah, ibu, Kak Iren, aku berangkat dulu ya? Tolong jaga diri kalian baik-baik, makan teratur, tidur teratur, dan minum vitamin biar selalu fit. Aku gak mau, di Paris sana, aku denger kabar kalau ayah, ibu, atau Kak Iren sakit, ya?”
Keluarga Kanaya dengan kompak menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
Kanaya berjalan mendekat ke mereka dan langsung mendekap tubuh ketiga manusia yang menjadi alasannya dia bertahan dan melawan penyakit ganas yang sekarang menggerogoti tubuhnya. Kanaya dapat merasakan elusan lembut tangan sang ayah di punggungnya, isakan tangis tertahan sang ayah, dan juga helaan nafas berat sang kakak.
Gadis itu tahu, dia lemah, dia harus selalu bersama keluarganya, karena besar kemungkinan kalau ia akan meninggal kapan saja. Tapi, Kanaya sadar, kalau hidupnya terlalu singkat untuk ia habiskan dengan berdiam sendiri di rumah, atau pergi kemanapun harus selalu bersama keluarganya. Ia harus menikmati setiap detik terindah di dalam hidupnya sendirian, sebelum akhirnya ia akan benar-benar pergi, membawa seluruh kenangan itu ke singgasana paling indah di atas sana.
Kanaya melepaskan dekapan itu. Mata indahnya menangkap sang ibu yang tengah menangis, hal tersebut langsung disambut oleh tawa meledek oleh Kanaya, yang mana berhasil membuat kelima orang terpenting dalam hidup Kanaya itu juga ikut tertawa mendengarnya,
“Nay, ayah titip pesan sama kamu, tolong, tolong kamu selalu minum obatnya ya? Tolong jangan sampai enggak kamu minum. Ayah gak mau di Paris sana kamu kenapa-kenapa, ya sayang ya?”
Kanaya menghentakan satu kakinya, menegapkan tubuhnya, dan memberi hormat bak seorang pembina upacara kepada pemimpin upacara. Lagi, tingkah Kanaya berhasil melukiskan tawa indah di wajah orang tersayangnya,
“Siap gerak!” Kanaya terkekeh, “ayah gak perlu khawatir, ibu juga, Kak Iren juga, minum obat udah harus aku lakuin setiap hari, karena aku mau kalahin si orang jahat yang lagi ngekost di badan aku ini, biar aku bisa hidup seribu tahun lagi.”
Ibu mengangguk, “iya sayang, jangan kecapean ya? Sampai sana, langsung telfon ibu ya.” ucap ibu sambil menangkup pipi Kanaya dengan tangan kanannya beberapa saat.
“Iya ibu.”
“Beliin oleh oleh untuk kaka.”
“Aku bawain bule mau?”
“KANAYA!”
Kanaya terkekeh, merasa puas karena sudah berhasil mengejek sang kakak.
Lalu, ia menatap kedua sahabatnya. Yasmin dan Gretta. Kanaya tersenyum, kedua sahabatnya itu pun tersenyum. Gadis itu berjalan dan langsung memeluk kedua sahabatnya dengan erat. Ayah, ibu, dan Kak Iren hanya bisa tersenyum melihat pemandangan indah tersebut,
“Pokoknya lo kalau udah di Paris harus sering sering kabarin kita. Gak boleh enggak.” suara Gretta terdengar agak sedikit bergetar.
Kanaya melepaskan dekapannya,
“Iya iya aku bakal kabarin kalian berdua, udah ah jangan nangis. Cengeng tau.” ejek Kanaya sambil tersenyum simpul.
“Yeee sialan lo!” protes Gretta, “gue nangis karena ini pertama kalinya lo pergi ke luar negeri, mana sendirian lagi, kan gue jadi parno.”
“Iya bener, jujur, gue percaya sama lo, gue percaya lo bisa jaga diri lo, tapi, tetep aja, rasa khawatir itu ada. Jadi, jangan larang kita untuk nangis ya.” tambah Yasmin.
Kanaya menghela nafasnya,
“Aku tinggal ke Paris aja begini, gimana aku tinggal meninggal nanti? Nangis darah kali kalian.” ucap Kanaya asal.
Ucapan Kanaya ini berhasil membuat semua orang yang ada di hadapannya memasang wajah tegang,
“Udah, pokoknya jangan anter aku ke Paris dengan tangisan, come on cuman satu minggu, setelah itu, aku bakal pulang bawain oleh oleh yang buanyakkkkk banget buat kalian, oke? Jangan nangis ah jelek jelek jelek kalau nangis.” Kanaya mencoba mencairkan suasana.
Gretta dan Yasmin mengangguk paham, mereka mengukirkan senyuman manis di wajahnya, padahal hatinya menjerit takut. Takut kalau mereka akan kehilangan sahabat sebaik, setegar, dan sekuat Kanaya kapanpun. Tapi mereka percaya, Kanaya adalah gadis yang kuat, sejauh apapun dia pergi, Tuhan selalu bersamanya, memberikannya kekuatan.
Kanaya pada akhirnya berjalan pergi menuju pesawatnya. Sambil berjalan, mata Kanaya berkaca-kaca, ia sedih karena harus meninggalkan keluarga dan kedua sahabatnya, ditambah lagi, saat ini, seseorang yang seharusnya ia tunggu di Paris, sudah tidak menginginkan keberadaannya lagi.