#Bandung, November 2021

Namaku Clarista Alvirnia Letishya Putri, orang-orang biasa memanggilku Clar, tapi terkhusus ketiga sahabatku, mereka memanggilku dengan sebutan Ical. Entah apa alasannya, tapi aku suka panggilan itu. Terdengar unik di telinga dan tidak terlalu feminim. Aku lahir di Bandung, tepatnya pada tanggal 25 Agustus 1997. Aku begitu mencintai Bandung sebagai kota kelahiranku. Aku lahir, besar, dan merasakan yang namanya cinta juga di sini, di Bandung. Cukup sedih ketika aku harus pergi ke Jakarta, karena aku berhasil diterima kerja di salah satu perusahaan yang terletak di daerah Sudirman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Aku melewati masa-masa remajaku di Bandung dengan ceria, bersama ketiga sahabatku, Selena, Iris, dan Gita. Mereka adalah sahabat sekaligus saudara yang aku miliki. Persahabatan kami sudah berjalan kurang lebih delapan tahun, dan sampai sekarang, kami masih saling menjaga tali silaturahmi, dengan saling memberi kabar atau bertemu kalau aku memiliki hari libur dan bisa kembali ke Bandung. Memiliki mereka di hidupku adalah kekuatan tersendiri bagi aku. Aku beruntung memiliki mereka.

Selain dengan Selena, Iris, dan Gita, aku juga melewati masa-masa remajaku dengan merasakan fase “jatuh cinta.” Iya, aku pernah jatuh cinta kepada seseorang. Dia adalah seseorang yang sangat penting di hidupku, sangking pentingnya, aku bahkan masih mencintainya sampai sekarang, padahal 5 tahun sudah berlalu, tapi perasaanku masih tertinggal untuknya.

Dia adalah, Raden Rizki Muhammad Farisi. Laki-laki dengan postur tubuh yang kurus dan tinggi—melebihi diriku, menggunakan kacamata, dengan rambut yang hitam ke samping. Selain fisiknya yang sempurna, kemampuannya dalam menyerap setiap materi pelajaran—terutama matematika patut diacungi jempol. Kiki—begitu aku memanggil dirinya—adalah yang terbaik dari semua murid pintar terbaik di sekolahku dulu.

Aku tidak pernah memiliki seribu rencana untuk menjatuhkan perasaanku kepadanya. Justru, dulu, saat pertama kali aku bertemu dengannya—di awal-awal semester baru kelas 11 SMA. Aku amat sangat tidak menyukainya untuk satu alasan. Aku bahkan sampai memerintahkan kepada diriku untuk tidak berteman dengannya di kemudian hari.

Namun, takdir Tuhan memang tidak bisa dilawan. Satu bulan setelahnya, aku tiba-tiba menjadi dekat dengan Kiki—sebenarnya tidak secara tiba-tiba juga, itu semua karena teman satu bangkuku di kelas, Aura, yang kebetulan berteman baik dengan Kiki, Sara, dan juga Aisyah. Jadi, aku sering ikut bergabung dengan mereka, dan setelah dipikir-pikir, Kiki memang tidak seburuk itu.

Karena kedekatan aku, Aura, Kiki, Sara, dan Aisyah, membuat aku dan Kiki juga menjadi lebih dekat, dan apa yah? Bisa dibilanh menjadi intim? Bukan dalam artian yang buruk, tetapi, aku dan Kiki terhitung sering melakukan skinship. Aku tidak pernah terlalu mempermasalahkan hal tersebut, karena pada saat itu, aku berpikir, kalau ya memang sudah sewajarnya kan seorang teman kadang berpegangan tangan, atau tiba-tiba menyandarkan kepalanya di pundak, itu sesuatu yang normal bukan?

Tapi, ada satu ketika, dimana skinship yang diberikan oleh Kiki, membawa sebuah malapetaka kepadaku dan hubungan pertemanan kami berdua. Aku benar-benar tidak bisa melupakan kejadian itu. Itu benar-benar membekas di pikiranku hingga sekarang.

Karena insiden itu, Kiki berhasil membuatku terjebak dalam rasa rindu dan juga penyesalan yang mendalam selama kurang lebih 5 tahun ini. Aku seperti berada di dalam sebuah labirin yang sengaja Kiki buat khusus hanya untuk diriku. Tidak ada upaya untukku mencari jalan keluar, karena setiap aku mencobanya, selalu saja gagal. Entah sampai kapan aku akan terus merasakan hal seperti ini.

Hidup dibawah bayang-bayang seseorang selama kurang lebih lima tahun terakhir ini.

Sejujurnya, butuh banyak kekuatan untuk aku bisa dengan gamblang menuliskan kisah ini. Kisah tentang Kiki yang membawa pengaruh yang amat sangat luar biasa di dalam hidup aku sampai sekarang. Karena jujur ini bukanlah hal yang mudah bagi aku untuk menuliskan semuanya dengan sangat jelas dan rinci.

Sekarang saja, didepan meja kerjaku, aku menulis ini semua dengan perasaan sesak yang bergemuruh di dada, juga air mataku yang memaksa untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Rasanya benar-benar menyakitkan untuk kembali mengingat kenangan 5 tahun yang lalu.

Mungkin kalian semua akan berpikir, perbuatan jahat apa yang pernah Kiki perbuat kepadaku sampai-sampai aku harus sehancur ini ketika mengingatnya? Biar aku beritahu kalian semua, dia bukan orang yang jahat, dia adalah laki-laki yang paling baik yang pernah aku temui di hidupku. Lalu apa yang membuat aku hancur setiap kali aku mengingatnya?

Kenangan indah yang aku lewati bersama dia ketika aku masih sedekat nadi dengannya, seperti menjsadi sebuah roll film yang terus berputar di kepalaku, membuatku terus kembali ke masa lalu. Ke masa dimana aku begitu senang dan bahagia, masa dimana hidupku hanya dipenuhi oleh senyum dan tawa bahagia, yang mana Kiki adalah yang berperan besar dalam hal itu. Kenangan indah kami berdua memang sangatlah singkat, namun hal itu tetap mampu membuatku terkesan dengan setiap detik kenangan yang kami lalu bersama, ketika itu. Sampai sekarang, aku merasa kalau aku masih hidup di dalam kenangan itu. Aku masih Clarista saat 5 tahun yang lalu. Clarista yang masih menggunakan seragam putih abu, dengan badannya yang masih agak sedikit berisi.

Dan, alasan aku menulis kisah ini adalah, aku hanya ingin bercerita kepada dunia, memamerkan secuil kisah cinta masa remajaku ke seluruh alam semesta. Juga, memberitahu kepada Kiki, yang entah ada dimana sekarang, kalau aku begitu sangat merindukannya. Dan bahwa sejatinya, perasaanku untuknya masih sama seperti saat Bulan Juni, Tahun 2014. Saat dimana tindakannya yang terkesan ceroboh, mampu meluluhkan hatiku.