Busy Day
“Suka dengerin musik gak?” tanya Jefri kepada Jani. Dia sedang mencoba untuk mencairkan suasana dingin diantara keduanya.
Iya, Jani sudah berada di dalam mobil Jefri dari lima belas menit yang lalu. Bahkan mobil pun sudah setengah jalan, tapi keadaan di dalam sana benar-benar awkward, tidak ada yang berani membuka percakapan. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, hanya ada suara mesin mobil yang samar-samar terdengar,
“Suka.” jawab Jani seadanya. Sebenarnya, Jani tidak begitu suka mendengar musik kalau dia sedang berada di dalam mobil, karena hal itu bisa membuat kepalanya pusing dan muntah.
“Ya udah kalau gitu saya put—”
“JANGAN!” Jani buru-buru menahan tangan Jefri yang mau menyalakan tape mobilnya. Jefri melirik gadisnya itu dengan bingung. Sadar kalau dirinya sudah memegang tangan Jefri, Jani langsung menjauhkan tangannya dari sana.
Kini, keadaan kembali menjadi awkward. Jefri mengeluarkan suara dehemannya yang keras, untuk menetralkan dirinya yang sedang salah tingkah, karena itu adalah kedua kalinya tangan mereka saling bersentuhan.
Sementara Jani hanya merutuki dirinya sendiri, karena bisa-bisanya dia berbuat ceroboh seperti tadi,
“Sorry, gue gak sengaja megang tangan lu.” cicit Jani, namun Jefri masih tetap bisa mendengarnya.
Jefri tertawa pelan sambil tangannya membelokan stir mobilnya ke kiri, “why do you have to apologize? I'm your soon to be husband, you can touch me anytime.” ujar Jefri bercanda.
Tapi candaan itu tidak sama sekali membuat Jani tertawa. Gadis itu malah termangu, hatinya merasa resah hanya karena mendengar ucapan Jefri barusan. Tiba-tiba saja otaknya teringat akan ucapan Anindita saat gadis itu membaca sifat Jefri.
Dia ingat kalau Anindita bilang bahwa Jefri adalah sosok yang sangat mahir ketika berada di ranjang, dan bisa membuat partnernya tidak mampu berjalan selama beberapa hari. Seketika seluruh bulu kuduk Jani berdiri membayangkan kalau suatu saat hal itu terjadi.
Bukan apa-apa, meskipun mereka menikah tanpa didasari cinta, tapi mereka tetaplah manusia yang memiliki hawa nafsu. Apalagi, nanti mereka tinggal bersama di rumah, pasti pikiran-pikiran liar itu akan muncul, dan mungkin saja mereka akan melakukannya disaat mereka benar-benar sudah tidak bisa menahan nafsunya lagi,
“Jani, are you okay?” Jefri bertanya dengan nada khawatir, karena gadis itu terdiam cukup lama.
Jani tersadar dari lamunannya, “hah kenapa?” tanya Jani polos.
Jefri tersenyum tipis, “kamu kenapa? Tadi kamu ngelamun. Apa yang kamu pikirin?” tanya Jefri dengan lembut.
Jani menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kikuk. Tidak mungkin dia jujur apa yang dia pikirkan kepada Jefri, bisa jatuh harga diri dia di depan Jefri,
“Nothing.”
“Bener?”
“Iya udah fokus aja nyetirnya.”
Setelah melalui keheningan dan kecanggungan di dalam mobil selama kurang lebih tiga puluh menit. Akhirnya, kedua calon suami istri itu tiba di butik milik designer kenamaan di Indonesia yang merupakan langgangan mamanya Jefri.
Mobil mewah milik Jefri sudah terparkir rapih di lahan parkir yang disediakan di butik ini. Keduanya kompak saling melepaskan safety belt mereka, dan setelah itu, Jefri duluan keluar dari dalam mobil. Pria itu berjalan memutar mengelilingi mobilnya dan membukakan pintu untuk Jani.
Jani terkejut dibuatnya. Namun, ia tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Gadis itu tanpa banyak bicara turun dari dalam mobil Jefri dan berjalan masuk duluan ke dalam butik, disusul dengan Jefri dibelakangnya yang berjalan dengan senyum paling membahagiakan.
Sesampainya di dalam, Jefri dan Jani disambut oleh seorang pria yang agak sedikit kemayu, juga ada Mama Jefri, dan Jadira yang sudah menunggu dua calon pengantin ini. Seperti biasa, sang designer tidak henti-hentinya memuji Jefri dan Jani, entah sudah berapa puluh kali lelaki itu bilang kalau Jefri dan Jani merupakan pasangan yang serasi.
Setelah melakukan sesi bercengkrama dan memuji, akhirnya sang designer mempersilahkan Jani masuk ke dalam ruang ganti bersama beberapa asisten perempuannya untuk mencoba dress yang sudah dipilih oleh Jani lewat group chat yang dibuat oleh mamanya Jefri.
Lalu, bagaimana dengan Jefri? Lelaki itu terduduk di kursi yang ada di depan pintu ruang ganti. Hatinya berdegup kencang, dia gelisah menunggu Jani yang tengah mencoba dress pilihannya,
“Cantik banget loh calon kamu. Dapetin yang kayak gitu dimana?” sang designer yang peka akan kegugupan Jefri pun mulai mengajak ngobrol kliennya itu dengan nada khas kemayunya.
Jefri melirik sang designer dan dirinya tertawa kikuk, “mama yang kenalin, sama kakak ipar saya juga ikut bantu.” jawab Jefri, kembali dia merasakan gugup.
“Ini loh mba, bodynya tuh bagus, singset gitu, sexy, bagian dada sama bagian pantatnya keisi, tapi dibagian perutnya rata gitu loh. Itu body bener bener ideal banget.” puji sang designer akan penampilan Jani, sambil matanya menatap Mama Jefri, Jadira, dan Jefri bergantian.
“Calon menantu aku gitu loh.” sombong Mama Jefri yang mengundang tawa kecil Jadira, Jefri, dan sang designer.
Setelah mencoba dress pilihannya selama kurang lebih 15 menit. Pintu ruang ganti pun dibuka terlebih dahulu oleh dua asisten sang designer, dan sepersekian detik, Jani pun ikut keluar dari dalam sana, dengan menggunakan gaun pilihannya.
Demi Tuhan, penampilan Jani sekarang cukup sukses membuat Mama Jefri, Jadira, Jefri, bahkan sang designer melongo saking cantiknya gadis itu menggunakan mermaid dress yang membuat tubuh Jani terlihat berkali-kali lipat jauh lebih sexy. Jefri benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi. Ucapannya yang ingin menyembah Jani, sepertinya ingin ia lakukan sekarang juga.
Karena Jani, benar-benar definisi perempuan yang sempurna. Kesempurnaannya benar-benar diluar nalar. Ini semakin membuat perasaan Jefri kepada gadis itu semakin besar, rasa cintanya sudah tidak dapat dibendung lagi. Ia ingin segera menikahi gadis itu, dan memilikinya seutuhnya,
“Wow….. Wow….. Wow…..” sang designer berujar sembari bertepuk tangan mengikuti dengan nada ucapannya seraya berjalan memutari kliennya itu, “kayaknya udah siap banget ya jadi Nyonya Jefri?” goda sang designer yang hanya dibalas dengan tawa kikuk oleh Jani.
“Sayang, astaga, kamu cantik banget, Ya Tuhan.” lirih Mama Jefri, sembari berjalan mendekati Jani, dan mendekap tubuh gadis itu dengan erat sekilas.
“Makasih tante.”
Kini giliran Jadira yang menghampiri Jani, dan mendekap tubuh adik kandungnya itu,
“Papa sama mama pasti seneng banget ngeliat kamu secantik ini, apalagi nanti pas hari h.” ucap Jadira dengan suara yang bergetar.
Jani mengangguk sembari tersenyum, dengan matanya yang berkaca-kaca.
Setelah Jadira menghampiri dan memeluk Jani, wanita itu lantas berjalan mundur ke tempatnya. Seharusnya, Jefri berjalan maju dan memberikan pelukan atau bahkan kecupan kepada calon istrinya itu, namun hal tersebut tidak mampu untuk Jefri lakukan.
Dia benar-benar terpana dengan kecantikan Jani. Baginya Jani seperti medusa yang membuat siapapun berubah menjadi batu tat kala melihat ke arah matanya. Bahkan untuk sekedar mengucapkan kata saja Jefri tidak bisa, tatapan matanya yang penuh kekaguman sudah menjelaskan apa saja yang ingin ia lontarkan kepada Jani,
“Jefri!” gertak sang Mama membuat anak lelakinya itu langsung sadar dari sesi mengagumi kecantikan Jani yang diluar nalar itu.
“Apa?” sahut Jefri belagak bingung.
“Kamu ini ngelamun terus, gak mau kasih komentar apa-apa soal wedding dressnya Jani?”
“Cantik.” jawab Jefri dengan tulus, “cantik banget.” sambungnya mengulangi ucapannya.
Mama Jefri tersenyum mendengar jawaban dari anak lelakinya itu,
“Gimana nak? Udah cocok sama yang ini, atau mau cari yang lain?”
“Ini aja tan, ini udah bagus banget kok, aku juga suka sama modelnya.”
“Ok kalau gitu.”
“Thank udah anterin gue.” ucap Jani seraya melepaskan safety belt yang melindungi dirinya selama perjalanan pulang bersama Jefri.
Iya, mobil Jefri sekarang sudah tiba di depan pagar rumah Jihan yang terlihat mewah namun masih terkesan sederhana. Berbanding terbalik dengan rumah Jefri yang jauh dari kata sederhana alias mewah. Benar-benar mewah,
“Sama-sama.” jawab lelaki itu sembari menganggukkan kepalanya dan menyimpulkan senyum tipisnya.
“Gue lagi gak mau nerima tamu, hari ini juga gue capek banget, karena gue kira cuman ngurusin baju doang, ternyata sampai ngurusin gedung sama catering. Jadi, gue mau istirahat.”
Jefri terkekeh pelan,
“Saya juga gak mau masuk ke dalem kok, karena saya masih banyak kerjaan di kantor.” tolak Jefri disertai dengan kekehan renyahnya.
“Ya udah kalau gitu. Gue turun ya.”
“Iya.”
Jani membuka pintu mobil milik Jefri, dan keluar dari dalam sana. Gadis itu langsung masuk begitu saja ke dalam rumahnya, tanpa berniat untuk diam sebentar dan menatap kepergian Jefri dengan mobilnya untuk menuju ke kantor.
Jefri tidak mempermasalahkan hal itu. Dia memaklumi, karena dia bisa melihat raut kelelahan yang terpatri di wajah Jani. Jadi, biarlah dia pergi masuk ke dalam rumahnya dan mengistirahatkan dirinya disana. Sementara itu, Jefri kembali menyalakan mesin mobilnya, dan mulai menekan pedal gas dan membelah jalanan kota Bandung untuk sampai di kantornya.