Coma
Setelah melakukan pemeriksaan, kurang lebih satu jam. Dokter pun keluar dari dalam ruangan, Gilang dan Langit langsung beranjak dari duduk mereka, dengan penuh ketidak sabaran dan perasaan khawatir, Gilang juga Langit menghampiri dokter tersebut,
“Dok, keadaan temen saya di dalem gimana?” tanya Gilang seraya menatap sang dokter dengan tatapan penuh harap. Ya, dia berharap kalau sahabatnya itu akan selamat.
“Maaf, saya harus beritakan, kalau Abimanyu mengalami koma.” sang dokter menjawab dengan penuh nada penyesalan.
Terpukul bukan main Gilang dan Langit ketika dokter menyampaikan berita tersebut. Langit langsung menundukan kepalanya, sementara Gilang terdiam sembari matanya berkaca-kaca,
“Kita doakan semoga Tuhan memberikan mukjizat untuk Abimanyu.” dokter kembali melanjutkan ucapannya, “saya permisi.”
Setelah dokter tersebut pergi. Suasana di depan ruang rawat Abimanyu mendadak sunyi senyap. Baik Gilang maupun Langit sama-sama sibuk dengan pikiran mereka yang sama-sama memikirkan keadaan Abimanyu di dalam sana yang koma,
“Lang, Abim bakal selamat kan?” Gilang bertanya sembari melirik Langit dengan suara yang bergetar.
Langit terdiam, dia tidak tahu harus menjawab apa. Karena sejujurnya, dia juga takut kalau Abimanyu tidak akan pernah bangun dari komanya. Namun, sebagai yang paling dewasa diantara Gilang dan Abimanyu, Langit harus berpikir sepositif mungkin untuk menenangkan Gilang,
“Pasti.” jawab Langit beberapa saat setelah dia terdiam, “kita biarin dokter ikhtiar bantu Abim, dan kita berdoa ke Allah untuk supaya Abim bisa sadar dari komanya dan ngelewatin masa kritisnya.”
Gilang tidak menjawab, lelaki itu hanya menghela nafasnya berat,
“Kita harus telfon nyokap sama bokapnya Abim, gimana pun juga mereka harus tahu.” ucap Gilang mengingatkan Langit dengan begitu lesu.
“Hubungin sekarang?”
Gilang mengangguk, “lebih cepat lebih baik. Mereka harus liat keadaan Abim yang jadi korban dari keegoisan mereka.” terdengar sekali emosi dari nada bicata Gilang.
Langit langsung patuh. Dia buru-buru mencari nomor telfon ayah Abimanyu, lalu menelfonnya, untungnya laki-laki itu langsung mengangkat telfon Langit. Tanpa banyak basa-basi, Langit langsung memberitahukan keadaan Abimanyu kepada ayah dari sahabatnya itu. Sambungan telfon terputus, Langit langsung menghubungi ibunda Abimanyu, telfon pun langsung diangkat. Langit menghela nafasnya panjang, ia tahu pasti kalau ia beritahu ini, ibunda Abimanyu akan amat sangat terpukul,
“Assalamualaikum, tante.” Langit menyapa wanita tua disebrang sana itu dengan begitu sopan dan ramah.
“Waalaikumsalam, Langit. Ada apa malem-malem begini telfonin tante?”
“Langit mau ngasih tau sesuatu tan. Ini soal Abim.”
“Oh, Abim, kenapa? Eh iya, Langit, tante mau nanya, kok handphone Abim susah di hubungi ya? Malem ini tante ngerasa gak enak hati, dan tante coba hubungi Abim tapi ga aktif terus. Dia lagi sama kamu?”
“Tante, Abim masuk rumah sakit.”
“Astagfirullah. Kenapa? Kok bisa? Ya Allah.” Langit dapat mendengar isak tangis dari ibunda Abim disebrang sana.
“Abim coba untuk bunuh diri tante, dengan ngonsumsi obat tidur yang dosisnya tinggi. Dia overdosis, dan keadaannya sekarang dia koma.”
“Ya Allah, Abim. Anakku..”
Suara tangis pilu ibunda Abim, membuat Langit tidak mampu menahan air matanya,
“Anakku sekarang dimana, Langit? Dia dirawat dimana, Abim dimana?”
“Abim dirawat di Rumah Sakit Borromeus, tante.”
“Tante kesana sekarang.”
Sambungan telfon diputus begitu saja oleh ibunda Abim. Gilang menatap Langit yang tengah menghapus air matanya,
“Gimana?” Gilang bertanya dengan lirih.
“Kesini mereka.” jawab Langit, “kita tungguin Abim sampai besok.”
“Iya.” Gilang kembali berujar, “Lang.”
“Apa?”
“Kaynara. Kita harus kabarin dia juga.”