Day 2 in Bali
Tugas dinas hari ini sudah selesai dikerjakan. Tidak ada kendala, dan semuanya berjalan lancar. Jihan benar-benar senang dan beruntung bisa mendapatkan kesempatan untuk dinas luar seperti ini, selain dia bisa liburan, dia juga bisa belajar banyak hal yang sebelumnya tidak dia pelajari ketika dia masih berada di bangku universitas.
Dan, sesuai apa yang diucapkan oleh Julian pada malam kemarin. Setelah peninjauan kawasan wisata kedua selesai, sore sampai malamnya, mereka dibebaskan untuk jalan-jalan, atau diam istirahat di hotel. Jihan memilih untuk pergi berdiam diri di pantai yang jaraknya tidak terlalu jauh dari hotel. Dia duduk di hamparan pasir dengan kedua kakinya yang ditekuk di depan dada, sembari matanya melihat bulan yang terang nun jauh disana. Suara deburan ombak membuat dirinya merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Namun, ada satu hal yang terus mengganggu pikiran Jihan malam ini. Juan. Iya, sejak dia sampai di hotel, dia tidak melihat keberadaan Juan, bahkan lelaki itu tidak lagi mengirimi dirinya pesan. Kemana Juan pergi? Apa dia sudah kembali ke Bandung? Atau dia memiliki setumpuk pekerjaan yang harus dia kerjakan? Atau dia pergi bersama Julian? Entahlah, Jihan tidak tahu.
Jihan sendiri ingin menelfon langsung Juan dan menanyakan keberadaan lelaki itu, tapi, rasa gengsi terlalu besar mengikat diri Jihan. Dia tidak mau menjatuhkan harga dirinya dengan cara seperti itu,
“Cewe cantik kalau pergi ke pantai sendirian nanti bisa diculik serigala loh, apalagi sekarang lagi full moon.”
Pucuk dicinta ulam pun tiba.
Juan datang entah darimana. Jihan tidak tahan ingin berdiri dan menyambut lelaki itu, tapi dia urungkan niatnya sekali lagi. Maka dari itu Jihan hanya menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat mantan kekasihnya itu,
“Kenapa pergi sendirian?” tanya Juan setelah duduk di samping Jihan.
“Gak boleh?” bukannya dijawab, Jihan malah balik bertanya.
Juan berdehem, “ya boleh aja, tapi kan, aku ada disini. Kamu bisa pergi kemanapun sama aku.”
“Aku bukan anak kecil, Juan.”
“Aku gak bilang kamu anak kecil, Jihan.”
Jihan mendelik,
“Kamu gak bilang aku anak kecil, tapi kalimat kanu yang tadi bilang kalau aku bisa pergi kemanapun sama kamu tuh seolah-olah menggambarkan kalau aku anak kecil. Aku udah sebesar ini tau.”
Juan terkekeh, membuat Jihan menoleh ke arahnya dengan kening yang berkerut dan bibirnya yang maju,
“Kamu kenapa ketawa gitu?” Jihan bertanya dengan kesal.
“Kamu lucu.'” jawab Juan.
Jihan menghela nafasnya kasar, lalu dia kembali melihat ke depan. Melihat ombak yang begitu tenang,
“Aku boleh cerita sama kamu, ga?” suara Juan kini mulai terdengar serius.
Jihan mengangguk,
“Mau cerita apa?”
“Setelah kita putus, aku gak bisa untuk jatuh cinta sama perempuan lain.”
Awalan dari cerita Juan cukup sukses menarik perhatian Jihan. Membuat Jihan berhenti memandangi pantai dan bulan yang bersinar terang, dan beralih memandangi sisi samping wajah Juan yang terlihat begitu sempurna,
“Aku coba untuk move on dari kamu, dengan berbagai macam cara, tapi tetep gak bisa. Tiga tahun kamu pergi itu bener bener jadi tahun paling berat untuk aku. Walaupun aku tahu, kamu pasti lebih berat, kamu harus nanggung semua rasa sakit dan trauma yang aku dan Yunita ciptain.”
“Sehari setelah papa angkat aku jadi CEO di perusahaannya, aku mencoba untuk bisa fokus dalam kerjaan aku. Meskipun aku masih terus selalu kepikiran kamu, karena kamu bener bener hilang tanpa ninggalin satu jejakpun ke aku. Aku terus sibukin diri aku dengan kerja, kerja, dan kerja demi supaya aku gak mikirin kamu. Aku terus kerja sampai aku gak mikirin kesehatan aku sendiri, dan aku punya maag—”
“Kamu punya maag tapi kenapa kamu minum alkohol?” tanya Jihan dengan raut wajah khawatirnya.
Juan menoleh ke arah Jihan. Lalu tersenyum tipis,.
“Karena cuman dengan alkohol aku bisa lupain rasa sedih dan kangen aku ke kamu.”
“Juan....” panggil Jihan lembut.
“Boleh aku lanjutin lagi ceritanya?”
Jihan ngangguk,
“Aku punya maag, aku sempet di rawat 2 mingguan di rumah sakit, Satria dan Julian adalah orang yang selalu rawat aku selama aku sakit. Kamu harus berterima kasih sama mereka berdua, karena kalau enggak, mungkin aku sama kamu sekarang udah ada di alam yang berbeda.”
“Juan ih! Aku gak suka ya kamu ngomong gitu.”
Juan ketawa, “terus kamu sukanya siapa? Aku?”
Tidak ada jawaban dari Jihan, gadis itu hanya diam,
“Kenapa diem?”
“Emang kenapa kalau aku diem? Burung Beo aja yang cerewet kalau lagi saatnya diem ya dia bakal diem.”
“Do you still love me?” Juan bertanya sambil menatap mata Jihan.
Kini mereka sama sama saling menatap. Jihan tertegun ketika Juan menatapnya dengan tatapan yang begitu tajam, menusuk ke relung hatinya. Jihan tidak mampu untuk mengeluarkan sepatah katapun, lidahnya dibuat kelu oleh tatapan mata Juan,
“Hm?”
“Apa?”
“Do you still love me?” Juan mengulang kembali pertanyaannya.
“Ya.”
Jihan tidak tahan lagi. Dia tidak mau menyembunyikan perasaannya lagi. Dia ingin jujur tentang perasaannya. Dia masih mencintai Juan, dan akan terus seperti itu sampai kapanpun. Juan adalah segalanya bagi Jihan, karena Juan, Jihan mengenal apa itu arti cinta, dan karena Juan pula, Jihan percaya bahwa cinta itu memang ada di dunia jahat ini. Meskipun Juan pernah membuatnya kecewa dan trauma, tapi itu tidak berarti apa-apa. Jihan tetap akan mencintai Juan,
“Kamu serius?” Juan menatap Jihan tak percaya.
“Ya, aku serius.” jawab Jihan, “tapi, aku masih belum bisa percaya sama kamu lagi Juan. Apa yang kamu lakuin ke aku dulu itu bener bener nyakitin dan susah untuk aku lupain. Kamu selalu janji ke aku untuk terus cinta sama aku, aku percaya sama kamu ketika kamu bilang kaya gitu, tapi kamu ancurin kepercayaan itu, apapun alasan kamu. Aku tetep sakit, Juan. Tapi, aku juga engga bisa untuk engga mencintai kamu.”
“Di Jogja, selama terapi, aku selalu keinget kamu, setiap hela nafas aku, setiap kaki aku bergerak, setiap tangan aku bergerak, kemanapun aku pergi, kamu, kamu yang selalu ada di pikiran aku. Gak ada sedetik pun aku gak mikirin kamu. Kamu ngasih banyak pelangi di hidup aku, meskipun saat itu aku kecewa sama kamu, tapi aku tetep mau kamu, aku selalu berharap kamu samperin aku ke Jogja dan bawa aku ke pelukan kamu lagi, tapi semua itu gak pernah terwujud, sampai pada akhirnya aku milih untuk nyerah ngarepin kamu. Tapi ternyata perasaan nyerah itu cuman bertahan 1 bulan, karena setelahnya, aku kembali ke diri aku yang dulu. Jihan yang selalu mau Juan, Jihan yang selalu cinta Juan meskipun Juan udah ngecewain dia berulang kali. Dan Jihan yang akan selalu cinta sama Juan sampai dia menghadap Yang Maha Kuasa.”
Juan tidak mampu lagi untuk menahan air matanya. Selama ini, mereka berdua sama sama masih mengharapkan satu sama lain. Selama ini doa-doa Juan didengar oleh Tuhan. Juan berterima kasih kepada Tuhan karena masih mau memberikan kesempatan untuk kembali mempertemukan dua insan yang saling mencintai ini untuk kembali merajut tali kasih yang sempat terputus karena kesalahannya di masa lalu,
“Sayang.” lirih Juan, “aku sayang kamu, Jihan.”
“Aku juga Juan, aku sayang kamu.”
Juan menarik tubuh Jihan ke dalam dekapannya. Dan mendekap tubuh Jihan cukup erat, seperti tidak ada hari esok untuk dirinya memeluk erat Jihan.
Mungkin, ada lima menit mereka berpelukan. Juan melepaskan dekapannya kepada Jihan. Dan pria itu pun mengecup kening Jihan lumayan lama. Lalu, beralih mencium kedua mata Jihan, hidung Jihan, pipi kanan dan kiri Jihan, lalu bibir Jihan.
Jihan tersenyum setelah Juan melepaskan ciumannya,
“Kamu daritadi kemana sih sebenernya?” tanya Jihan.
“Nemenin Julian ketemu sama pacarnya.” jawab Juan.
“Oh ya?” Jihan bertanya dan Juan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, “terus mereka dimana sekarang?”
“Tuh disana.”
Jihan mengikuti kemana dagu Juan menunjuk. Dan, Jihan melihat Julian yang sedang mencium seorang perempuan dengan begitu intim dan mesra. Jihan dan Juan tertawa melihat pemandangan itu,
“Mau kayak mereka gak?” Tanya Juan tiba-tiba.
Jihan menatap Juan, lalu mendekatkan dirinya ke telinga Juan dan berbisik,
“Mau. Tapi aku gak mau disini.”
Sisi nakal Juan langsung bangkit setelah mendengar bisikan Jihan,
“Kenapa?”
“Aku mau ngelakuin apa yang mau kamu dan Yunita lakuin malam itu.”
“Sayang, aku mau buat pengakuan.”
“Apa, hm?”
“Ini mungkin gila, tapi, malem itu, aku ngeliat Yunita itu ya kamu.”
Jihan tersenyum miring,
“You don't need to fantasizing me. Aku ada disini.” ucap Jihan, “you can fuck me, baby.”
Sisi nakal itu sudah sepenuhnya keluar dari tempat persembunyian Juan. Dia langsung menyambar bibir Jihan, melumatnya dengan begitu kasar, begitupun dengan Jihan, Jihan membalas lumatan bibir itu. Tangan Juan sudah berpetualang kemana-mana, begitu pun dengan Jihan.
Lima menit mereka bercumbu, Jihan langsung melepaskan pagutannya,
“Enggak disini sayang.” ucapnya dengan nafas yang tidak beraturan.
“Aku gak tahan. Im sorry.“
Jihan tertawa. Lalu setelah itu ia berdiri dari duduknya, begitu pula dengan Juan,
“Di kamar kamu ya?” pinta Jihan sambil berjalan bersama Juan untuk kembali ke hotel dan melanjutkan kegiatan dosa yang terhenti tadi, dengan Juan yang merangkul pinggang Jihan sambil mengelus-elus pinggang ramping itu.
“Mau di lobby hotel pun asalkan sama kamu, aku siap.”
“Dasar gila!”