Dinner
“Genta, bunda kamu kemana sih?” tanya ayah yang sudah duduk di meja makan bersama Tiara dan kedua orang tua gadis itu.
Gentala hanya mengangkat kedua bahunya tanda kalau dia tidak tahu—tapi sebenarnya dia tahu kemana ibunya pergi. Wanita itu pergi untuk menjemput Kaynara, maka dari itu mood Gentala hari ini benar-benar bagus.
Ayahnya Gentala merasa tidak enak dengan keluarga Tiara karena mereka sudah datang sejak jam enam petang tadi, dan sudah menunggu sekitar 1 jam, akan tetapi istrinya itu pergi entah kemana.
Tidak lama setelah itu, ibunda Gentala pun datang bersamaan dengan Kaynara di belakangnya. Tiara begitu terkejut dan wajahnya menyiratkan kebencian akan kehadiran Kaynara di makan malam hari ini. Berbeda dengan reaksi Tiara, Gentala dan sang ayah terlihat begitu senang dengan keberadaan Kaynara.
Kaynara hanya berdiri disamping ibunda Gentala, sambil mencoba untuk tidak bertatapan mata langsung dengan Tiara, karena sumpah demi apapun Kaynara merasa takut dan juga bersalah kepada perempuan itu,
“Loh, ini siapa, Jihan?” tanya seorang perempuan yang diketahui ibunda dari Tiara.
“Kenalin semuanya, ini namanya Kaynara, dia temen masa kecilnya Gentala yang aku dan Adam anggap seperti anak kandung kami sendiri.” jawab ibunda Gentala sambil menggandeng Kaynara.
“Wah can—”
“Maaf om, tante, tapi bukannya makan malem ini cuman dihadirin sama keluarga aja ya? Dia bukan keluarga tante sama om kan?”
Pertanyaan kasar yang keluar dari mulut Tiara itu membuat kedua orang tuanya dan kedua orang tua Gentala terkejut. Yang mereka tahu Tiara adalah anak yang baik dan sopan. Gentala yang duduk bersebrangan dengan gadis itu, sudah sangat kesal dengan kekasihnya, dia diam-diam mengepalkan tangannya, menyalurkan kekesalannya agar tidak meledak.
Sementara Kaynara, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam, padahal dia sudah benar-benar ingin lari dari rumah ini,
“Tiara..” tegur sang ibunda dengan lembut.
“Apa ma? Kenapa emang? Bener kan kalau makan malam ini cuman untuk keluarga aja.” Tiara keukeuh dengan ucapannya.
Kaynara menghembuskan nafasnya perlahan,
“Tiara, maaf sebelumnya kalau kamu gak nyaman sama kehadiran Kaynara, tapi, saya sudah menganggap Kaynara seperti anak saya sendiri, jadi, tolong, biarkan makan malam ini berjalan dengan lancar sama Kaynara ya?” akhirnya ayah Gentala membuka suaranya.
Tiara sebenarnya masih ingin protes dan tidak terima dengan kehadiran Kaynara di tengah-tengah acara makan malam keluarga. Tapi, dia urungkan niat itu karena dia tidak mau kejutan yang sudah ia siapkan malam ini hancur begitu saja.
Pada akhirnya, keluarga besar ini menyantap makan malam mereka dengan obrolan hangat. Juga tidak lupa Gentala yang selalu mencuri-curi kesempatan untuk memegang tangan Kaynara, yang jelas hal itu langsung ditepis oleh Kaynara. Dan Tiara, yang makan malam sambil menahan rasa kesal melihat Kaynara yang duduk bersebelahan dengan Gentala.
Makan malam selesai, keluarga itu kini masih duduk di meja makan sambil berbincang-bincang,
“Kaynara ini dulu kesayangannya Genta, kemana-kemana selalu sama Genta.” ujar ibunda Genta sambil memegang bahu Kaynara, “bener-bener udah kayak prangko sama surat aja mereka berdua tuh haduh, kalau di pisahin, Gentanya nangis atau ga Kaynaranya yang ngambek.”
Kaynara hanya tertawa mendengar sepenggal kisah tentang dirinya dan Gentala di masa lalu. Begitu pun Gentala yang tertawa dengan begitu bahagia. Melihat hal itu, Tiara semakin kesal, tidak pernah dia melihat senyuman itu selama dirinya dan Gentala berkencan,
“Cantik sekali ya kamu. Orang Bandung asli?” tanya ayah Tiara.
Kaynara menggeleng, “saya kebetulan orang Jakarta om, di Bandung lagi kuliah.” jawab Kaynara.
“Oh iya? Kuliah dimana dan jurusan apa?” kini giliran ibunda Tiara yang bertanya.
“Satu kampus sama Kak Genta sama Kak Tiara kok, cuma bedanya saya jurusan hukum.”
“Waduh, serem ya. Mau jadi notaris ya nanti kalau udah lulus?”
Kaynara tertawa kikuk sambil menggelengkan kepalanya,
“Ah engga tante, saya jadi apa aja mau asal masih sejalan sama jurusan saya, ga harus melulus jadi notaris.” jawab Kaynara.
“Udah punya pacar ya pasti? Cantik gini soalnya, gak mungkin kalau gak punya pacar.” goda Ibunda Tiara.
Kaynara tersipu malu sambil menggelengkan kepalanya. Gentala meliriknya dan ikutan tersenyum,
“Kalau Genta punya adik, kamu udah tante jodohin sama adiknya Genta, biar kamu jadi menantu tante. Biar kita bisa terus pergi bareng-bareng.” ujar ibunda Gentala, yang membuat semua orang yang ada di meja makan itu tertawa (kecuali Tiara).
Tiba-tiba suara deheman yang lumayan kencang yang berasal dari Tiara membuat meja makan itu menjadi hening seketika. Mereka semua memusatkan perhatian mereka kepada Tiara,
“Om, tante, hari ini, aku dateng kesini sama Mama sama Papa, karena mau ngomongin sesuatu tentang hubungan aku sama Genta.” ucap Tiara yang membuat kedua orang tua Gentala, Gentala, dan Kaynara kebingungan.
Tapi, entah kenapa Kaynara memiliki perasaan yang tidak enak akan hal ini,
“Oh ya? Apa itu?” tanya ayah Gentala.
“Aku sama Genta, mutusin untuk tunangan.” jawab Tiara, yang langsung membuat keluarga Gentala dan Kaynara terkejut dan tidak bergeming sama sekali.
Sementara Tiara tersenyum penuh kemenangan atas suprisenya untuk Gentala yang berjalan dengan lancar. Gadis itu diam-diam melirik Kaynara, dan menyeringai, melihat Kaynara yang menahan tangisnya,
“Maksud kamu apa, Tiara?” tanya Gentala, “kapan aku bilang kalau aku mau tunangan sama kamu? Aku masih kuliah, karir aku masih panjang.”
“Kenapa, Gen? Kamu tau umur aku gak bakal lama lagi, aku cuman pingin ngabisin sisa waktu aku sama kamu aja. Udah, gak ada permintaan lain lagi kok.”
Gentala mendengus kesal. Semakin hari Tiara semakin benar-benar bersikap seenak jidat terhadapnya. Pertunangan bagi Gentala hampir seperti pernikahan, dia menganggap itu adalah hal sakral yang tidak boleh dipermainkan. Gentala tidak pernah sama sekali mencintai Tiara, lalu bagaimana bisa keduanya bertunangan?
“Emang kalian gak bicarain ini?” ayah Gentala bertanya.
“Nggak pernah.” jawab Gentala dengan tegas, “dia yang buat keputusan ini sendiri, gak pernah dia tanya aku apa aku mau atau enggak. Im so sick of this shit!”
Terlampau emosi membuat Gentala terpaksa harus berbicara kasar dan pergi meninggalkan ruang makan menuju kamarnya. Sementara Kaynara hanya terdiam di tempat dengan perasaan shock yang masih melanda dirinya.
Semua orang memanggil Gentala, namun lelaki itu tidak menurutinya. Ia terus berjalan menaiki anak tangga untuk masuk ke dalam kamarnya,
“Kenapa semuanya jadi begini?” tanya ibu Tiara dengan bingung..
“Sebentar ya, biar saya susul dulu Gentalanya.”
Ibunda Gentala pun terpaksa turun tangan akan masalah ini. Beliau berdiri dari duduknya, dan pergi ke atas untuk menghampiri Gentala yang ada di kamar. Sesampainya di kamar sang putra, Ibunda Gentala melihat anak lelakinya itu yang tengah duduk di ujung kasur, sambil menunduk seraya mengepalkan tangannya.
Ia sampai tidak sadar kalau ibunya datang ke kamarnya,
“Gentala.” panggil sang ibunda seraya berjalan masuk ke dalam kamar anak laki-lakinya itu dan menutup pintunya rapat-rapat.
Gentala mendongak, matanya menatap lurus sang ibunda. Satu hal yang sekarang hinggap di otaknya adalah, Kaynara. Gadis itu pasti terkejut mendengar pengumuman gila tadi,
“Kaynara gimana bun?” tanya Gentala yang berhasil membuat sang ibunda mengerutkan dahinya. Bingung,
“Kok kamu tiba-tiba nanyain Kaynara?”
“Aku cinta sama Kaynara.” jawab Gentala dengan lirih, “maaf bun, maafin aku, tapi aku gak bisa kalau harus sama Tiara. Dia baik, tapi dia selalu berbuat seenak jidat dia tanpa ngelibatin aku. Aku pun gak cinta sama dia, selama ini aku ada untuk dia, nemenin dia berobat itu karena aku nganggep dia teman, meskipun status kita pacaran.”
Ibunda Gentala menghela nafasnya berat. Lalu berjalan mendekati sang anak, dan duduk disampingnya, seraya merangkul bahu bidang anak lelakinya itu,
“Bunda tahu perasaan kamu, tapi bunda gak suka lihat kamu ngomong kasar di meja makan tadi.”
“Maaf bun.”
“Nak, kamu sudah besar sekarang, kamu yang nentuin semuanya. Terserah mau kamu gimana, bunda akan support kamu. Mau kamu terus bertahan sama Tiara, atau mengejar cinta kamu, yaitu Kaynara, bunda serahin semuanya ke kamu.”
Gentala menatap sang ibunda, “beneran bun?” tanya Gentala tidak percaya.
“Iya nak.” jawab Gentala.
“Kalau gitu, aku mau kejar cinta aku pun. Aku mau sama Kaynara.”
Ibunda Gentala tersenyum sambil mengangguk,
“Kejar dia, bunda pingin dia jadi menantu bunda.”
Gentala tersenyum sumringah seraya menganggukkan kepalanya.
Rasa percaya diri sudah dikantongi oleh Gentala. Dia akan tegas dengan pilihannya sekarang. Bahwa dia akan mengakhiri hubungannya dengan Tiara, dan berlanjut untuk mengejar cinta Kaynara.
Namun, sepertinya dewa fortuna sedang tidak berpihak kepada Gentala. Karena tiba-tiba saja, Kaynara naik ke atas, dengan wajah panik, lalu dia memberitahukan kalau Tiara pingsan dengan darah yang keluar dari hidungnya.
Gentala benar-benar merasa kalau kesempatannya untuk hidup bahagia bersama Kaynara itu tidak pernah ada.