Do You Get Deja vu?
Bandung, 2014
Siang itu, kelas 8-C begitu bising, hal itu dikarenakan tidak ada guru yang mengajar. Membuat murid-murid di dalam sana merasa bebas, dan berpikir kalau kebisingan mereka itu tidak akan ketahuan oleh guru yang tengah mengajar di kelas sebelah atau sedang lewat.
Kala, si gadis dengan sejuta keceriaan, duduk di belakang bersama teman sebangkunya, Alsa. Dua gadis itu sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru yang seharusnya datang dan mengajar di kelas hari ini. Keduanya mengerjakan tugas sambil mendengarkan lagu melalui ponsel Kala.
Memang sudah menjadi kebiasaan bagi Kala, dia senang mendengarkan lagu disaat sedang mengerjakan tugas. Begitu pula dengan Alsa.
Tiba-tiba seseorang menghampiri meja Kala dan Alsa. Dia adalah Janu. Lelaki tinggi, dengan kulit super putih, dan wajahnya yang begitu tampan meskipun menggunakan kacamata. Lelaki itu memang sering sekali berjalan menghampiri meja Kala dan Alsa, meskipun tidak ada hal yang begitu penting,
“Si Kala mah nulisnya lemot, liat Alsa nulisnya udah dua halaman.” ejek Janu.
Kala membalas dengan begitu nyolot, “ya udah sih emang masalah buat kamu kalau aku nulisnya lemot? Nyebelin banget.”
Tidak ada reaksi apa-apa dari Janu selain daripada lelaki itu yang tersenyum, dan setelah itu dia kembali duduk ke bangkunya.
Kala mengomeli Janu dari tempat duduknya, sambil matanya menatap lurus ke arah laki-laki itu,
“Ngeselin banget dia sumpah ih Sa jadi manusia. Bete aku!” protes Kala.
Alsa hanya tertawa. Wanita keturunan Arab itu memang sudah terbiasa dengan hubungan love and hate yang terjalin antara Janu dan Kala,
“Sering banget ngejailin aneh kenapa sih?”
“Suka kali sama kamu.”
Kala bergidik ngeri, “udah gila! Anaknya manja gitu hihhhh ngapain juga aku mesti suka sama dia.”
Dan kemudian, Alsa tertawa.
Kedua perempuan itu kembali lanjut mengerjakan tugas. Dan keributan di kelas pun semakin tidak terbendung, ada beberapa siswa yang sampai memukul-mukuli galon yang memang disediakan di dalam kelas untuk minum para murid.
Kegaduhan tersebut pada akhirnya terdengar langsung oleh seorang guru PKN yang sedang melewati kelas 8 C. Guru tersebut langsung membuka pintu kelas 8 C yang ditutup dengan begitu keras. Membuat semua murid yang berisik langsung berbondong-bondong kembali duduk di bangkunya.
Ekspresi marah terpatri di wajah cantik guru itu. Semua murid mendadak resah dan ketakutan,
“Kalian ini di sekolahin sama orang tua kalian buat belajar bukan buat berisik-berisik kayak begini! Ganggu kelas lain lagi belajar aja.”
Semua murid terdiam, tidak ada yang membuka suara. Mereka menunduk ketakutan. Begitu pun dengan Kala di belakang,
“Pelajaran siapa sekarang?”
“IPA bu.” jawab salah satu murid yang duduk di pojok belakang.
“Udah dikasih tugas kan?” semua murid kompak menjawab iya, “terus kenapa masih berisik? Kasian temen temen kalian di kelas lain yang mau belajar. Udah bayar SPP mahal-mahal bukannya dapet ilmu malah diberisikin sama kalian!”
Lagi, tidak ada yang bersuara.
Sampai pada akhirnya, suara ponsel entah milik siapa berbunyi. Sang guru yang asalnya sudah mampu meredam emosinya kembali murka,
“Astagfirullah, SUDAH TAHU ATURAN SEKARANG HANDPHONE HARUS DIKUMPULKAN, INI KENAPA ADA YANG GAK NGUMPULIN HAPE?”
Semua murid kembali ketakutan. Pasalnya, di kelas ini banyak yang tidak mengumpulkan ponsel. Termasuk Janu, Kala, dan juga Alsa,
“SIAPA YANG GAK BAWA HANDPHONE!? JUJUR SAMA SAYA!”
Dan, pada akhirnya Janu, Kala, Alsa, dan beberapa murid lainnya yang ketahuan tidak mengumpulkan ponsel langsung mengacungkan tangannya,
“Masha Allah. Dasar anak-anak nakal!” hardik guru PKN itu, “saya sita handphone kalian semua, nanti harus diambil sama orang tua kalian!”
Dan yah, hari itu benar-benar menjadi hari terburuk bagi Kala, Juan, Alsa, dan beberapa murid di kelas 8C yang memilih untuk tidak mengumpulkan ponsel mereka.
Bandung, 2022
“Safira, lain kali jangan kayak teman-teman yang lain ya? Nilai Safira bagus semua loh, tapi kalau gak patuh sama aturan sekolah juga sama aja bohong namanya.”
Suara lembut guru Safira begitu indah didengar oleh Safira dan juga Kala.
Yang bersalah—Safira hanya mampu menundukkan kepalanya sambil menganggukkan kepalanya. Gadis itu mengakui bahwa dirinya memang bersalah, dan dia merasa malu dengan kakaknya, Kala, juga dengan guru yang sekarang duduk di depannya,
“Makasih ya ibu.” ucap Kala dengan begitu sopan dan lembut, “maafin juga ya bu adik saya, dia emang kebiasaan kalau disuruh ngerjain tugas nggak pernah bisa kalau gak dengerin handphone. Tapi apa yang sudah adik saya lakuin gak bisa dijadiin excuse jadi sekali lagi saya, kaka kandungnya Safira, atas nama Safira meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan yang Safira perbuat, saya janji, saya akan pastikan kalau adik saya gak akan jadi anak bandel lagi.”
“Iya kakaknya Safira enggak apa-apa. Tapi semoga ini bisa jadi pelajaran ya buat Safira.” ucap si ibu guru, “oh iya, kalau gak salah, kakaknya Safira ini pernah sekolah disini ya? Soalnya kebetulan saya kayak sering ngeliat wajahnya Safira dulu.”
Kala tertawa pelan,
“Iya bu, kebetulan saya dulu waktu SMP-nya disini, kalau SMA-nya di SMA lain, tapi ya gitu swasta juga, kuliah juga ya tetep aja swasta.”
“Aduh gak apa-apa, yang penting sekolah, swasta negeri itu sama aja.”
“Iya bu.” lalu kemudian Kala berpamitan dengan ibu guru didepannya ini, “kalau begitu, saya pamit dulu ya bu?”
“Oh iya mangga, mangga, silahkan.”
“Permisi bu.”
“Makasih ya bu.”
Kala dan Safira akhirnya keluar dari dalam ruang guru. Mereka berdua berjalan menuruni tangga untuk turun ke bawah.
Selama perjalanan, mata Kala tidak bisa untuk tidak melirik ke sebelah kanan gedung sekolah. Itu adalah gedung SMP, tempat dimana dahulu dia bersekolah. Banyak kenangan yang ada disana, membuat Kala menjadi sedikit nostalgia mengingat jaman-jaman ketika dirinya masih begitu polos, terutama soal cinta.
Tanpa terasa, air mata Kala terasa basah akan air mata. Bulir-bulir itu menumpuk dibawah matanya. Kala berusaha sekuat tenaga menahan tangisannya agar tidak keluar, karena ia tidak ingin Safira bertanya lebih lanjut tentang perasaan kakaknya.
Dan begitu sampai di dalam mobil. Setelah Kala dengan mati-matian menyembunyikan air matanya, Safira malah mengetahuinya. Adik perempuan kesayangannya itu terlihat begitu panik dan khawatir mengetahui sang kakak yang berkaca-kaca,
“Kak, are you okay?“
Tidak ada jawaban suara dari Kala, gadis itu hanya mengangguk, sambil terus merunduk dengan tangannya yang mencoba untuk menyalakan mesin mobil.
Namun, anggukan Kala itu berbanding terbalik dengan suara tarikan ingus yang membuat Safira yakin kalau kakaknya itu sedang menangis,
“Kak.”
Kala pada akhirnya memberanikan diri untuk melirik Safira, sebelum pada akhirnya dia menjalankan mobilnya,
“Safira, kakak gak apa-apa, kakak nangis karena kakak memang lagi banyak tugas aja, jadi jangan nanya lagi ya?”
Meskipun Safira sangat ingin tahu, tapi ia menghormati sang kakak.
Jadi, Safira putuskan untuk mengangguk, dan menuruti kemauan kakak perempuannya itu.