drie


“Selamat pagi.”

Karina terlonjak kaget ketika merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangnya, juga bisikan kata selamat pagi di telinganya. Gadis itu dengan reflek menendang kepemilikan Jeffrey, membuat Jeffrey langsung melepaskan dekapannya dan menahan jeritannya—saking sakitnya tendangan Karina.

Gadis itu buru-buru berbalik ke belakang, ia mengangkat pisaunya ke udara dan menatap Jeffrey dengan tatapan galak sekaligus takut. Jeffrey mengernyitkan keningnya, merasakan rasa ngilu di bagian kejantanannya,

“GILA YA LO!?” sentak Karina.

“Apa? Verdorie!” Jeffrey mengeluarkan sumpah serapahnya dalam Bahasa Belanda.

Wajahnya yang putih pucat bak vampire, seketika memerah merasakan rasa sakit yang menjalar hingga ke sistem saraf otaknya. Kedua tangannya ia taruh di bagian tengah selangkangannya dan diapit dengan kedua kakinya, badannya sedikit membungkuk. Ia masih merintih kesakitan.

Melihat itu seketika membuat Karina merasa bersalah karena sudah menyebabkan Jeffrey tersiksa akibat tendangannya barusan. Tapi, ia juga melakukan itu sebagai bentuk perlindungan diri. Bagaimana bisa Karina bersikap tenang ketika ada orang asing yang memeluknya begitu saja dari belakang?

Rasa bersalah itu semakin besar ketika Karina ingat cerita dari seniornya di kantor, Mas Yudha. Lelaki keturunan Jepang itu pernah berkata, kalau temannya yang tinggal di Jepang meregang nyawa setelah alat kelaminnya ditendang dengan begitu keras oleh mantan pacarnya. Dan, tadi, Karina mengakui kalau tendangannya lumayan cukup keras.

Karena takut, Karina akhirnya menaruh pisaunya di atas meja dapur, lalu ia berjalan dan mendekati Jeffrey, lalu membantu lelaki itu untuk berdiri tegak, dan membawanya duduk di sofa. Jeffrey melebarkan kedua kakinya, kepalanya ia dongakan ke atas, lelaki itu juga mengeluarkan suara-suara rintihan. Karina duduk menyamping disamping Jeffrey, wajahnya mengerut bingung sekaligus ketakutan, ia takut sesuatu hal yang buruk terjadi kepada Jeffrey, tapi dia juga bingung harus melakukan apa,

“Aduhh, lagian kamu tuh ngapain sih pake peluk-peluk kayak barusan segala? Jadi kaget kan aku, ketendang deh ini kamu.” sudah Karina yang salah, tapi gadis itu juga yang mengomel.

“Kenapa kamu jadi menyalahkan saya? Kamu yang salah. Lagipula, itu hal yang biasa kita lakukan setiap pagi, kamu lupa? Kamu yang minta saya untuk peluk kamu setiap bangun tidur, ataupun setiap kali mau tidur. Kamu lupa semuanya, Sekar?”

Ah, gue lupa, ini cowo gak jelas kan masih nganggep gue itu si Sekar, istrinya.

Karina berdehem,

“Ya intinya, lain kali jangan kayak gitu lagi. Aku gak suka, oke?” pinta Karina, Jeffrey hanya diam, tidak mampu mengeluarkan bantahan apapun karena rasa sakit yang mendera penisnya, “ya udah sebentar, aku ambilin dulu air es, kamu kompres sendiri itu kamu, aku mau kerja.”

“Kamu kerja?” tanya Jeffrey.

Karina mengangguk, “iya aku kerja, emang kenapa? Ada masalah.”

Jeffrey langsung mengangguk dengan penuh nafsu,

“Ya, masalah. Kamu itu adalah perempuan, seorang perempuan hanya perlu diam di rumah, dan menyambut pasangannya kalau sudah pulang dari pabrik atau dari perkebunan teh.”

“Jaman udah maju, kami udah gak dijajah lagi, jadi kami, perempuan, bebas untuk bekerja atau memilih jadi ibu rumah tangga! Kalian, laki-laki, gak punya hak untuk ngatur kita!”

Jeffrey sepertinya tidak terima dengan pernyataan Karina,

“Sekar, bukannya abah kamu itu pernah bilang dahulu sama kamu, kalau izin Tuhan itu adalah izin aku sebagai suami kamu. Kalau aku tidak izinkan kamu untuk kerja, ya sudah jangan kerja, diam di rumah bersama babu.”

Karina tidak mau terlalu memperdulikan ucapan makhluk yang ada di sampingnya itu. Daripada terus berdebat, lebih baik Karina menutup mulutnya, dan berdiri dari duduknya, meninggalkan Jeffrey dan mengambilkan air es juga sarapan untuk lelaki itu.

Lihat, kurang baik apalagi Karina?

“Daripada kamu ngomong terus, mending aku ambilin kamu sarapan, nanti kalau misalkan sakit kamu itu makin menjadi, dan malah kamu kerasa pingin muntah, kamu tinggal bilang ke aku, nanti kita ke dokter.”

“Cara bilangnya bagaimana? Lewat surat? Disini ada kantor Posts?”

Karina memutar bola matanya malas. Lagi lagi, ia lupa, kalau lelaki asing ini adalah lelaki yang keluar dari sebuah lukisan Belanda, sudah jelas, Karina yakin kalau Jeffrey hidup di jaman kolonialisme. Meskipun belum tentu, tapi dugaan Karina seperti itu,

“Kalau lewat surat itu capek, kamu harus nulis banyak. Bukan lewat surat, tapi lewat handphone.”

“Handphone? Apa itu?” tanya Jeffrey sembari keningnya membentuk lipatan. Lelaki itu bingung.

“Handphone itu alat elektronik yang digunakan sama kita untuk nelfon atau mengirim pesan. Di zaman dulu itu telepon kabel, tapi, telepon kabel itu cuman bisa untuk nelfon, nah kalau handphone, bisa nelfon dan bisa kirim pesan, jadi, kamu gak perlu capek-capek nulis di kertas, lalu kamu kirim ke kantor pos. Kamu paham?”

Karena memang pada dasarnya Jeffrey itu pintar. Tanpa ragu, dia menganggukkan kepalanya. Seolah pria itu sudah paham betul apa yang dijelaskan oleh Karina,

“Lalu? Ponselnya mana?” tanya Jeffrey dengan polosnya.

Aduh, Karina lupa! Kalau Jeffrey pasti tidak memiliki handphone sama sekali. Ah! Karina merutuki kebodohannya, namun sedetik kemudian, dia teringat akan ponsel lamanya yang masih berfungsi dengan baik yang ada di dalam kamarnya. Mungkin, ponsel itu bisa menjadi sarana komunikasi antara Karina dan juga Jeffrey selama Karina bekerja nanti,

“Ada kok!” jawab Karina sambil tersenyum, “sebentar, oke?”

Jeffrey mengangguk.

Karina lantas bangkit dari duduknya. Lalu berjalan menuju kamarnya, tidak berselang lama, Karina kembali dengan ponsel pintar bermerk dengan harga yang bisa dibilang lumayan mahal tersebut. Gadis itu kembali mendudukan dirinya di sofa, dan memberikan ponsel tersebut kepada Jeffrey.

Jeffrey menerimanya dengan wajah bingung. Dia membolak-balikan ponsel tersebut, melihatnya dibagian depan belakang, atas bawah, kiri dan kanan. Seperti sedang mengobservasi sesuatu yang benar-benar asing bagi dirinya,

“Hoe te gebruiken?” tanya Jeffrey spontan dengan menggunakan Bahasa Belanda, membuat Karina mendecakkan lidahnya sebal. Bagaimana cara menggunakannya?

“Aku tau kamu asli orang Belanda, tapi aku gak paham sama bahasa kamu. Maaf banget, bisa gak tolong pakai bahasa Indonesia aja?” kesal Karina.

Jeffrey tersenyum kecil, “maaf maaf, aku selalu seperti itu, ketika bingung, otomatis aku akan bicara pakai bahasa Netherland” katanya, “lalu, bagaimana cara aku pakai ini?”

“Sini aku ajarin kamu.”

Dengan sabar, Karina mengajarkan Jeffrey bagaimana ketika lelaki itu ingin melakukan panggilan, mengirim pesan whatsapp kepada Karina, bahkan Karina pun mengajarkan bagaimana cara Jeffrey untuk mengambil gambar. Jeffrey si laki-laki pintar, baru diajarkan beberapa menit oleh Karina saja dia sudah paham, dan bisa menggunakan ponselnya itu dengan baik dan benar,

“Kamu pinter juga ya?” puji Karina sambil tersenyum simpul.

Mata Jeffrey menatap lurus manik mata Karina. Tatapan teduh nan lembut itu berhasil membuat Karina salah tingkah, ia ingin mengalihkan pandangannya, namun, keindahan mata Jeffrey seolah-olah menghipnotisnya. Membuat Karina tidak memiliki daya upaya untuk hanya sekedar berpaling sepersekon detik darinya,

“Aku pintar karena kamu, Sekar. Kalau bukan karena kamu, aku cuman Jeffrey, si bodoh, yang selalu manja, dan selalu pergi berpesta setiap malam minggu di Societeit Concordia

Karina tersenyum tipis,

“Sekar, gue akuin, lo adalah perempuan hebat yang bisa merubah sosok Jeffrey, yang gue gak tahu bagaimana masa lalunya, tapi, ngelihat bagaimana dia begitu masih mengingat elu, bahkan sampai sekarang Tahun 2022. Gue yakin, lo sudah menjadi bagian terpenting di dalam hidup Jeffrey. Dimanapun lo sekarang, entah lo di surga atau dimana, gue harap, lo bisa lihat dan merasakan besarnya cinta dan kasih sayang Jeffrey buat lo.”

Karina menarik nafasnya, lalu tangannya ia gunakan untuk menepuk pundak Jeffrey. Memberikan sedikit kekuatan kepadanya, meskipun Karina yakin, Jeffrey tidak paham akan tindakannya barusan,

“Apa?” lihat, kan?

Karina menggeleng, “enggak, oh iya, gue sampai lupa mau ngasih lo sarapan. Sebentar ya.” ucap Karina sambil berdiri dari duduknya.

“Hei.”

Karina baru saja mau melangkah, namun suara lembut Jeffrey menghentikan langkah kakinya,

“Seperti biasa.” kata Jeffrey sambil mengangkat kedua alisnya jahil.

Karina hanya diam menatap bingung Jeffrey. Seolah paham dengan kebingungan Karina, Jeffrey menghembuskan nafasnya sebal,

“Ontbijtkoek.”

“Hah?”

Jeffrey mendecak, “kue sarapan pagi. Kamu selalu masak itu buat aku dulu, Sekar.”

Kali ini, gantian Karina yang menghembuskan nafasnya sebal,

“Aku buatin kamu kentang tumbuk, sosis, dan juga telur orak-arik, aku gak punya waktu banyak untuk bikin kue. Kalau kamu mau makan sarapan yang aku buat silahkan, kalau enggak juga gak masalah buat aku.”

Tanpa menunggu jawaban dari Jeffrey, Karina langsung melenggang pergi ke dapur, untuk menyiapkan sarapan yang ia masak untuk Jeffrey. Oh iya! Dan tidak lupa juga dengan air es untuk mengompres penis Jeffrey yang tadi Karina tendang.