een
“Lo… Lo… Lo siapa?” Karina bertanya dengan nada suara yang gemetar, dan wajah yang menegang ketakutan.
Lelaki yang entah siapa namanya itu, hanya menatap Karina dengan dahinya yang berkerut, seperti bingung dengan pertanyaan yang Karina tanyakan kepada dirinya barusan,
“Waarom vraag je dat zo?” Lelaki itu bertanya dengan Bahasa Belanda yang kalau diterjemahkan menjadi “kenapa kamu bertanya seperti itu?”
Karina melongo. Pertama, laki-laki asing datang ke apartementnya, entah lewat mana. Kedua, laki-laki ini tadi berbicara dengan bahasa Indonesia dan langsung mendekati Karina sambil berkata “istriku”. Dan sekarang, tiba-tiba dia berbicara menggunakan Bahasa Belanda, yang mana Karina tidak paham sama sekali,
“Please, gue gak ngerti sama apa yang lo omongin.”
Lelaki itu tertawa pelan, “ah iya, saya lupa kalau kamu tidak bisa berbahasa Netherland. Het spijt me. Astaga, saya bicara pakai bahasa Netherland lagi. Maafkan saya. Tapi saya senang, akhirnya saya bertemu kamu lagi. Saya rindu kamu, Sekar.”
Karina buru-buru memundurkan tubuhnya dan menolak ketika lelaki itu hendak mendekap tubuhnya. Hal tersebut meninggalkan ribuan pertanyaan di benak sang pria, terlihat sekali dari air mukanya yang terlihat kebingungan,
“Lo gak bisa meluk gue.” Karina memperingati lelaki itu dengan nada suara yang begitu tegas.
“Kenapa? Kamu istri saya. Kita sudah menikah. Bukankah kamu pernah bilang ke saya, kalau kamu selalu suka pelukan saya di pagi hari?”
“Wah sakit ni orang.” gumam Karina dengan suara pelannya, “im not your fucking wife, okay? Gue gak tau lo siapa, lo tiba-tiba dateng kesini out of nowhere, sumpah aneh tau gak.”
Lelaki itu terdiam. Matanya yang tajam nan tegas itu sibuk melihat Karina, mengobservasi gadis itu dengan begitu teliti. Seolah-olah, Karina adalah sebuah objek terbaik dan sempurna yang harus lelaki itu abadikan di dalam memorinyai dengan penuh khidmat,
“Lebih baik, sekarang lo pulang, dan lo cari istri lo itu, karena gue bukan istri lo.”
Terdengar helaan nafas panjang dari lelaki itu,
“Pertama, saya tidak mengerti apa itu lo gue lo gue, setau saya, kamu selalu memanggil diri kamu sendiri itu aku, dan kamu panggil saya Jeffrey. Yang kedua, kamu itu istri saya.”
Raut wajah Karina berubah menjadi tegang tat kala telinganya yang bersih dan masih berfungsi dengan normal itu mendengar lelaki dihadapannyai menyebutkan nama Jeffrey. Otak pintar Karina langsung bekerja dengan cepat, ia mencoba mengingat-ingat dimana dia pernah mendengar nama itu. Dan tidak lama kemudian, dia mengingat, bahwa laki-laki yang ada di dalam lukisan yang diberikan oleh Irene, senior di kantornya itu ialah, Jeffrey Maxwell William.
Tapi……. apakah mungkin kalau seseorang keluar dari sebuah lukisan? Apalagi ini zaman modern, hal hal seperti itu rasanya kurang masuk akal untuk terjadi di zaman canggih seperti ini,
“Nama lo siapa tadi?” Karina mencoba untuk memastikan, berharap ia salah dengar.
“Sekar, padahal umur itu lebih tua saya, tapi kenapa kamu yang sudah lupa? Nama saya Jeffrey. Jeffrey Maxwell William.”
Jantung Karina saat itu juga terasa seperti berhenti berdetak. Rasa takut menggerayangi dirinya. Peluh-peluh bahkan sudah membasahi pelipis Karina saking dirinya merasa takut oleh Jeffrey. Memang, belum tentu yang ditakutkannya itu terjadi, tetapi, dengan hilangnya lukisan milik Karina secara tiba-tiba, dan kemunculan Jeffrey yang bersamaan dengan hilangnya lukisan itu, semakin membuat Karina merasa yakin bahwa orang yang ada di dalam lukisan itu adalah Jeffrey yang sekarang berdiri di hadapannya.