EIFFEL
“Mbanya mau saya bawa kemana?”
Pupil mata Kayana membesar ketika mendengar sang supir taxi yang bertanya menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar,
“Loh? Bapak orang Indonesia?” Kayana bertanya tidak menyangka.
Mata bapak itu melihat sosok Kayana dari kaca depannya. Mata itu membentuk sebuah lengkungan, yang menandakan kalau beliau sedang tersenyum—mengiyakan pertanyaan Kayana,
“Enggeh, mba, saya orang Indonesia, asli Jogja saya.”
Senyuman Kayana merekah ketika mendengar jawaban sang bapak,
“Bapak Jogja dimananya pak?” tanya Kayana mencoba membangun percakapan yang lebih dalam diantara keduanya.
“Saya di Sleman, mba.” jawab beliau, “kalau mbanya, Indonesia dari mananya mba?”
“Saya dari Bandung pak.” jawab Kayana.
Sang supir tertawa riang, “walah, sama sama dari Jawa kita, cuman beda Tengah sama Baratnya terus beda bahasa juga.”
Kayanya tertawa pelan,
“Iya pak.”
Lalu, kemudian, hanya keheningan yang tercipta disana. Hal itu digunakan Kayana untuk menikmati jalanan Paris yang basah akibat hujan, dan beberapa orang yang berlalu lalang mengenakan pakaian hangat juga payung sebagai pelindung agar tubuh mereka tidak basah oleh air hujan.
Berbicara soal hujan, Kanaya sangat menyukai hujan. Karena baginya, setiap tetes air hujan yang turun ke bumi ialah kumpulan nada indah yang diturunkan oleh Tuhan untuk menemani waktu penat manusia di bumi. Namun, terkadang, masih saja banyak manusia yang selalu menganggap bahwa hujan adalah suatu kesialan bagi mereka.
Kanaya tidak pernah seberuntung sang kakak. Irena, ketika kecil, setiap kali hujan turun membasahi tanah pasundan, ia selalu bermain, berlari-lari, atau menari-nari di taman belakang rumah. Sementara Kanaya? Dia tidak pernah merasakan hal itu, hidup Kanaya sejak kecil selalu berada di dalam kamar, ditemani dengan kotak musik pemberian almarhum sang kakek saat beliau liburan ke Swiss, dan juga koleksi boneka barbienya. Tidak, pernah sekalipun, Kanaya menari-nari dibawah tetesan air hujan, bahkan sampai dia beranjak dewasa pun, pengalaman itu tidak pernah dirasakannya.
Gadis itu selalu merasa dirinya seperti burung di dalam sangkar, diurus dengan baik, namun tidak pernah dibiarkan dengan bebas. Kanaya tahu, semua itu mereka lakukan demi kebaikannya, namun, Kanaya ingin, satu kali saja, sebelum dia pergi, dia bisa melakukan semua hal yang dilarang oleh dokter atau kedua orang tuanya. Semoga, penyakit jahat yang bersarang di dalam tubuh Kanaya ini bisa segera kalah, agar bisa menghantarkan Kanaya ke pintu kebebasan yang sudah didamba-dambakan olehnya,
“Loh iya saya lupa mba nanya, ini mbanya mau dibawa kemana ya?”
Suara lembut nan medok milik supir taxi tersebut berhasil membuyarkan lamunan Kanaya tentang bagaimana dia begitu ingin berdiri dibawah hujan,
“Oh, saya mau ke Résidence Charles Floquet” jawab Kanaya.
“Siap mba.” pak supir kembali berbicara, “eh iya mba, ini mbanya itu liburan apa gimana toh? Apa kuliah?”
“Oh enggak pak, saya kebetulan kesini dateng karena mau ketemu sama sese—”
Kanaya terdiam tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya, tat kala matanya yang sedari tadi melihat keluar jendela, menangkap sosok Jendral yang tengah berjalan bersama seorang perempuan. Tangan lelaki itu berada di pinggang sang wanita, dengan satu tangannya yang memegangi payung. Dari samping, terlihat jelas tawa Jendral yang lepas, tidak ada rasa penyesalan atau sedih paska keduanya mengakhiri hubungan dua hari yang lalu.
Mata Kanaya terasa panas, bulir-bulir air mata sudah memupuk di pelupuk matanya, mendesak untuk keluar. Namun, Kanaya menahannya. Tidak, untuk kali ini ia jangan menangis karena Jendral,
“Pak, maaf, tapi boleh berhentiin mobilnya disini aja?” pinta Kanaya dengan suara yang bergetar.
“Loh mba? Tapi kan ini ujan.”
“Gak apa-apa pak, seseorang yang saya mau temuin ada disini.” jawab Kanaya dengan suara yang lirih.
Kanaya tidak perduli dengan akibat yang akan ditimbulkannya setelah ia berjalan menerobos hujan sambil membawa kopernya untuk menghampiri Jendral yang belum terlalu jauh melangkah. Kaki kecil gadis itu berlari, dibawa derasnya hujan yang mengguyur kota Paris,
“JENDRAL!” teriak Kanaya.
Kanaya bisa melihat Jendral dan wanita yang ada disampingnya itu berhenti melangkah. Pria itu dengan tubuhnya yang menegang berbalik badan, pupil matanya membesar tat kala melihat Kanaya berdiri di jarak 1 meter darinya. Mulutnya menggumami nama Kanaya, matanya berkaca-kaca melihat sang mantan kekasih akhirnya berada disini.
Begitu pula dengan Kanaya, gadis berambut panjang itu menatap Jendral lurus. Bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis, namun air mata terus mengaliri pipinya. Berterima kasih lah pada hujan, karena setidaknya Kanaya bisa menyembunyikan tangisnya,
“Kamu ngapain kesini?” tanya Jendral agak berteriak.
“Liburan.” jawab Kanaya sambil tersenyum, “pacar baru kamu?” tanya Kanaya sambil melirik perempuan yang berdiri disamping Jendral. Wanita itu terlihat kebingungan dengan semua yang terjadi saat ini.
Jendral hendak menjawab, namun, wanita disampingnya itu terlebih dahulu membuka suaranya,
“Iya gue pacarnya.” jawab wanita itu, Jendral melirik gadis disampingnya dengan wajah yang tegang.
Mencelos hati Kanaya mendengarnya. Air matanya semakin tidak tahu diri keluar dari pelupuk matanya,
“Dia siapa sih sayang?” wanita itu bertanya.
“Dia—”
“Aku sodaranya Jendral. Nama aku Kanaya.”
Kanaya mengulurkan tangannya, berniat baik untuk mengajak wanita yang sudah merusak kebahagiannya itu berkenalan.
Namun, wanita itu tidak menerima uluran tangan Kanaya,
“Alice.” jawabnya, “udah ah yuk sayang, aku males banget lama-lama disini.” rewelnya.
Ada perasaan sedih ketika Jendral melihat Kanaya berdiri disana, tanpa payung sama sekali. Ingin rasanya Jendral memayungi Kanaya, namun, pria itu menghargai Alice sebagai kekasih barunya. Dia suduh cukup jahat untuk Kanaya, maka untuk kali ini, dia tidak ingin menjadi jahat untuk Alice,
“Nay, aku duluan, mau ada urusan sama Alice.”
Kanaya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Membuat dirinya seolah olah terlihat kuat, padahal pada nyatanya, hati Kanaya—bila saja bisa dilihat oleh mata telanjang sudah remuk, hancur, tidak berbentuk sama sekali.
Jendral berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya bersama wanita bernama Alice itu. Meninggalkan Kanaya, yang masih berdiri dibawah air hujan, di hadapan menara eiffel, dengan tangisan pedihnya yang disembunyikan oleh air hujan.
Kepala Kanaya terasa begitu sakit, amat sakit. Semua pandangan terasa begitu mengabur baginya, lama kelamaan semakin mengabur, perlahan-lahan menghitam, dan pada akhirnya, Kanaya jatuh ke tanah begitu saja. Membuat semua orang berteriak panik.
Namun, ada satu teriakan dari seorang laki-laki yang begitu jelas terdengar di telinganya.
Setelah itu, tidak ada yang Kanaya ingat dan tidak ada yang bisa Kanaya dengar.
Kanaya sudah benar benar pingsan.