Emily and Her Mom


“Darimana aja kamu, nak?”

Emily baru saja tiba di rumahnya setelah seharian ini dia berkelana membeli buku-buku baru untuk dia baca. Niatnya, dia ingin langsung naik ke atas—ke kamarnya, namun, keberadaan sang ibunda di ruang keluarga terpaksa membuat Emily berhenti sebentar untuk menjawab pertanyaan wanita berumur sekitar empat puluh sembilan tahun itu,

“Abis dari gramedia bun, terus tadi ke cafe ngerjain tugas.” jawab Emily jujur, “emangnya ada apa bun?”

Ibunda Emily menaruh majalah fashion yang tengah dibacanya. Lantas wanita itu berdiri dan berjalan mendekati anak perempuan satu-satunya itu,

“Kamu beli buku sebanyak ini lagi?” entah kenapa, tapi, Emily sedikit tersinggung mendengar nada suara bundanya yang terdengar sarkastik.

“Iya.” jawab Emily mencoba untuk tidak terbawa emosi. Bagaimanapun juga, perempuan yang berdiri dihadapannya ini adalah ibunya, orang yang sudah melahirkan dan merawatnya dari sejak Emily kecil.

Terdengar helaan nafas berat dari sang ibunda. Hal itu membuat Emily menjadi berpikir, apakah salah kalau Emily begitu suka membaca? Apakah salah kalau Emily membeli banyak buku? Kalau salah, lalu apa yang harus Emily lakukan agar ibundanya ini tidak terlihat begitu kecewa ketika melihat Emily pulang dengan membawa banyak buku,

“Nak, bunda seneng kamu suka baca buku. Seneng sekali. Tapi, apa harus setiap saat kamu beli buku sebanyak ini?” ujar sang ibunda dengan suara lembutnya.

“Bun, apa salahnya sih aku beli buku banyak kayak gini? Toh juga ini buku engga cuma novel, tapi ada buku untuk self improvement juga which is itu bagus untuk aku yang masih butuh bimbingan biar hidup kedepannya aku bisa lebih baik lagi. Aku ngelakuin hal yang positif loh bun, aku gak ngelakuin hal yang buruk.”

“Iya bunda paham sayang. Tapi setiap kali kamu beli buku itu, uang yang kamu keluarkan itu banyak, dan ayah, ngasih kamu kartu kredit kantor itu untuk kamu pakai dengan sebaik-baiknya.”

“Oh, jadi menurut bunda beli buku itu bukan hal yang baik?” kali ini Emily mulai ikut terbawa emosi, suaranya sedikit agak meninggi.

Untunglah, ayahnya sedang pergi ke Malaysia, kalau laki-laki tua itu melihat pemandangan ini, sudah jelas Emily akan di beri hukuman yang sangat berat karena berani bicara dengan nada yang setinggi itu kepada ibundanya sendiri,

“Enggak gitu nak, dengerin bunda ya.” bunda masih mencoba untuk bicara dengan selembut mungkin, while Emily memasang ekspresi kesalnya. Bunda berjalan mendekati Emily, lalu kedua tangannya ia letakan di bahu Emily, mata indahnya itu menatap lurus mata Emily yang begitu tajam seolah-olah memberi tahu kepada sang ibunda bahwa dirinya sedang kesal, “i support you to do whatever you love, but the problem here is your father.”

What's wrong with, ayah?” tanya Emily dengan nada datar.

“He will be very angry if he finds out that you don't use the card wisely.”

“Bun, astaga, bunda tenang oke? Ayah gak bakal marah, toh aku pakai kartu ini untuk beli buku kan? Bukan untuk aku pake pergi ke club malam, atau shopping beli baju baju mahal yang ujung-ujungnya gak bakalan aku pakai juga. So, bunda tenang aja oke? Aku jamin kok, ayah nggak bakal marah sama aku.” ujar Emily dengan begitu tenangnya.

Sang ibunda sudah pasrah melihat anak perempuannya yang susah sekali untuk diberi tahu,

“Milee…….” bunda memanggil Emily dengan nama panggilan anak itu ketika bayi. Hal ini bunda Emily lakukan kalau dia sudah sangat lelah, khawatir, kesal kepada Emily.

Namun, tampaknya Emily tidak perduli dengan panggilan itu. Gadis itu malah memeluk ibunya sebentar lalu mengecup pipinya sekilas,

“Aku minta maaf karena tadi bicaranya agak keras sama bunda. Maaf aku sebegitu keselnya sama bunda. Aku sayang bunda. Bunda gak perlu khawatir, ayah gak bakal marah sama aku.”

Setelah itu, Emily naik ke atas menuju kamarnya.

Sementara sang ibunda hanya mampu menghela nafasnya kasar. Dia masih berdiri di tempatnya, sambil melihat Emily yang menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Beliau menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat sikap Emily malam ini benar-benar seperti dia sedang melihat dirinya dulu ketika masih seumuran Emily.