Empat
Belajar di jam-jam krisis seperti jam 12 siang ke atas, memang benar-benar bencana bagiku.
Aku benar-benar tidak bisa menahan rasa kantukku di hari itu. Suara Pak Jamal, guru PKN-ku, terdengar seperti sebuah nyanyian lagu tidur atau lullaby yang berhasil membuat mataku terasa begitu berat. Aku terus memaksakan diriku untuk menahan rasa kantukku, dengan mencoba fokus ke depan papan tulis yang dibagian tengahnya sudah ditutupi oleh layar proyector yang menampilkan materi-materi pembelajaran PKN.
Semakin kuat aku menahan, semakin lemah juga pertahananku. Dengan pasrah, akhirnya aku melipat kedua tanganku, meletakannya di meja, lalu aku meletakkan kepala ku diatas kedua tanganku yang sudah aku lipat dan ku taruh di meja. Aura, dia sudah berada di depan untuk mencatat beberapa materi yang sekiranya dia butuhkan. Aku mulai memejamkan mataku, dan perlahan-lahan memasuki alam mimpiku yang terasa damai.
Harus kalian tahu, ketika SMA kelas 11, aku bukanlah murid yang rajin, aku sering tidur di kelas, jarang mengerjakan tugas, hanya di beberapa mata pelajaran saja aku selalu begitu semangat dan antusias, yaitu di pelajaran Bahasa Inggris dan IPS, sisanya, aku benar-benar malas. Sejujurnya, itu juga dipengaruhi karena aku tidak satu kelas dengan Selena, Iris, dan Gita.
Setelah dipikir-pikir, tindakanku pada saat itu benar-benar memalukan. Kalau orang tuaku tau akan hal itu mereka pasti sangat amat kecewa denganku. Dan untungnya, mereka tidak tahu dan sepertinya sudah mempercayaiku 100%.
Oke, kembali ke cerita.
Aku ingat saat itu, aku sudah setengah tertidur, hampir mendengkur, tiba-tiba saja, ada seseorang yang menggelitiki pinggang kiri dan kananku. Sebagai seseorang yang sensitif dan gampang merasa geli di areal areal tertentu, jelas aku langsung bangun saat itu. Dengan muka ku yang sudah khas seperti orang yang bangun tidur, aku menoleh ke belakang, dan melihat kalau Kiki lah si pelaku.
Rasa ingin marahku seketika meredam ketika melihat senyum manis yang bertengger di wajah Kiki pada hari itu. Aku hanya bisa menghembuskan nafasku untuk menahan amarahku. Aku tidak paham kenapa aku bisa begitu susah untuk marah kepada Kiki. Sampai sekarang, pertanyaan itu terus menghiasi kepalaku,
“Apa sih Ki?” aku merengek.
“Jangan tidur.” pintanya, “ayo pindah ke depan yuk? Catet bareng-bareng.”
Aku menggeleng, menolak ajakan Kiki. Kalian tahu, rasanya mengantuk namun dipaksa untuk belajar, pasti malas, kan? Itu lah yang aku rasakan pada saat itu, aku benar-benar malas, dan kalau aku sudah malas, hasilnya benar-benar akan percuma,
“Nanti aku liat Aura aja.” kataku.
Tapi, Kiki tidak menyerah, dia malah tiba-tiba mencubiti kedua pipiku dengan menggunakan kedua tangannya, lalu menggerakannya ke atas dan ke bawah dengan ritme yang bersamaan. Hari itu, aku tidak tahu berapa banyak orang di kelas yang melihat interaksiku dengan Kiki yang terkesan tidak wajar itu,
“IHWHHHWW KWIKWI SWAKWTIHH.” aku merengek dengan pelafalan yang tidak jelas. Kalian harus tahu, cubitan Kiki benar-benar terasa sakit bagiku, meskipun pipiku chubby pada saat itu.
Kiki hanya tertawa seraya melepaskan cubitannya dari kedua pipiku.
Lalu, setelah itu, tanpa meminta izin kepada Kiki, aku kembali melipat kedua tanganku diatas meja, dan meletakkan kepalaku disana sebagai bantal untuk kepalaku. Aku pikir, setelah itu, Kiki benar-benar akan membiarkan aku tidur dengan tenang.
Namun, perkiraan ku salah.
Laki-laki itu, melakukan hal yang benar-benar diluar kuasaku. Aku terkejut ketika dia melakukan hal itu. Tubuhku menegang. Rasa kantukku juga seketika hilang dengan sendirinya. Mataku benar-benar membulat sempurna, dan aku pikir Kiki tidak memperhatikan hal tersebut, karena setelah dia mencium pelipisku, dia pergi ke mejanya, seperti orang yang tidak ada rasa bersalah.
Iya. Benar, Kiki menciumku—memang bukan mencium di areal-areal yang intim seperti bibir, pipi, atau kening. Tapi, tetap saja, saat itu, aku masih berumur 17 tahun, walaupun aku belum terlalu paham arti cinta secara keseluruhan, namun, dicium oleh lawan jenis benar-benar salah satu tindakan yang tidak awam yang dilakukan oleh seseorang kan? Apalagi ketika keduanya itu sama sekali tidak memiliki hubungan yang spesial, hanya sebatas teman.
Aku masih mematung, memegangi pelipisku, sambil mataku menatap ke arah Kiki yang duduk di depan—menghadap ke papan tulis dan menulis beberapa materi yang ada di PPT. Jantungku tidak berhenti berdegup, bagaimana lembutnya bibir Kiki yang menyentuh pelipisku benar-benar membuat perutku terasa diserang oleh berbagai macam jenis kupu-kupu. Mereka seperti berterbangan secara bersamaan di dalam sana.
Aura datang. Mungkin, dia melihat aku yang hanya terdiam, mematung saat itu, makanya, dia langsung menggebrak meja dengan pelan namun cukup berhasil membuat aku sadar. Aku menatapnya dengan kelabakan, dan menunjukkan senyuman kikuk. Sedang, Aura menatapku dengan matanya yang menukik bingung,
“Apa?” tanyaku.
“Lo kenapa diem kayak barusan? Gue ngeri lo kemasukan setan tau gak.” katanya sambil berjalan ke belakangku untuk duduk di kursinya yang memang ada di dekat jendela.
Aku hanya terkekeh bodoh,
“Udah gila kali, mana ada setan di siang bolong.”
“Ya ada aja sih, setan mah ga liat waktu.” ucap Aura, “eh ini catetannya.”
“Makasih ya Ra.”
Aura menganggukkan kepalanya.
Ia menyenderkan beban tubuhnya ke senderan kursi, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku bajunya. Aku mulai menyalin tulisan yang Aura tulis dengan perasaan yang masih sama seperti barusan. Deg-degan tidak karuan. Tanganku juga sedikit bergetar saking deg-degannya,
“Gue kira Kiki tadi ke belakang mau liatin catetan dia ke elu.”
Bersamaan dengan Aura yang berkata seperti itu, kejadian yang baru saja terjadi 3 menit yang lalu kembali terbayang-bayang oleh otakku. Aku kembali menjadi salah tingkah. Pipiku memanas, dan sudah aku pastikan kalau pipiku memerah saking panas dan malunya aku.
Aku ingat dengan jelas, waktu itu, aku mencoba setengah mati untuk menulis dengan posisi sangat amat menunduk, mencoba untuk menyembunyikan semburat merah yang menghiasi pipiku, bak blush on yang selalu dipakai ibuku ke tempat kerja. Untungnya, Aura tidak mengetahui hal tersebut, Aura juga tidak tahu kalau Kiki menciumku sampai saat ini. Aku benar-benar menyembunyikan ini semua, terkecuali untuk Iris, Selena, dan Gita.
Aku ingat, aku begitu menggebu-gebu menceritakan semua ini kepada mereka bertiga.
Dan, setelah aku menceritakan itu semua kepada ketiga sahabatku. Aku langsung menyadari, kalau pada hari itu, aku telah secara resmi menjatuhkan perasaanku kepada Kiki. Sampai sekarang, setelah 5 tahun berlalu, aku masih begitu mencintainya.