Family Meeting


Sejatinya, menunggu adalah hal yang paling dibenci oleh banyak orang. Termasuk Jefri.

Tetapi untuk hari ini, menunggu menjadi hal yang tidak begitu Jefri permasalahkan. Bagaimana tidak, yang pria itu tunggu adalah sosok perempuan cantik yang merupakan calon istrinya. Jani. Iya, sore ini, keluarga Jefri dan juga keluarga Jani memutuskan untuk bertemu dan membahas soal perjodohan.

Sambil menunggu Jani datang, Jadira menceritakan sedikit tentang sosok Jani kepada Jefri dan kedua orang tuanya. Hal itu dia lakukan agar mereka bertiga tahu sedikit tentang Jani, sebelum gadis itu datang dan bergabung bersama mereka,

“Jani itu, aduh, anaknya emang susah sekali untuk diatur.” ucap Jadira disertai tawa kecilnya, Chandra yang duduk disamping istrinya itu pun ikut tertawa, “tapi dia anaknya baik, dan dia juga perduli sama sekelilingnya. Dia sering pergi ke Panti Asuhan, Panti Sosial, atau Panti Jompo untuk ngasih santunan. Tapi dibalik itu semua, dia juga seneng banget sama yang namanya party.”

“Dira, gak usah khawatir, we all love parties too.” ucap Mama Jefri, yang membuat semua orang yang duduk di meja itu tertawa, “apalagi Jefri nih, aduh, dia ini kasarnya pemabuk berat, di rumahnya ini dia sampai punya mini bar saking cintanya dia sama alkohol.” sambung sang mama sambil memegangi bahu Jefri.

Jefri tersipu malu. Telinganya memerah dan juga tangannya ia arahkan untuk menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal,

“Dia kayak saya waktu masih muda dulu. Cinta banget sama yang namanya alkohol, tapi, setelah saya ketemu sama mamanya dia, saya milih untuk berhenti mabuk, karena itu request dari dia.” timpal Papanya Jefri.

“Jani tuh, yang saya syukuri adalah, dia meskipun party kaya gitu, tapi gak pernah dia pulang ke rumah dengan keadaan mabuk. Dia selalu sadar, makanya saya kadang suka takut kalau suatu saat dia kelepasan, makanya ya udah deh, biar saya jodohin aja dia sama Jefri, itung-itung saya bikin papa sama mama diatas sana senang.”

Seketika suasana menjadi sedikit agak sedih, tat kala Jadira membahas soal mama dan papanya, yang seharusnya sekarang berada di tengah-tengah mereka,

“We miss your parents, Jadira.” lirih Papa Jefri, “dulu, saya belajar banyak dari papa kamu. Dia orang yang hebat, orang paling sabar dan paling baik yang pernah saya temui. Tanpa nasihat dia yang kadang pakai bahasa kasar, kayaknya saya gak bakal bisa sesukses ini.”

Jadira tersenyum menahan air matanya. Chandra meraih tangan istirnya itu, meletakkan tangan itu di pahanya, dan mengelusnya dengan lembut,

“Papa pasti seneng liat om sekarang masih sehat, dan hidup bahagia sama tante.” ucap Jadira dengan suara bergetar.

Kesedihan itu tidak berlangsung lama, karena pada akhirnya, bintang utama dari acara pertemuan keluarga malam ini datang. Iya, setelah bermacet-macetan di jalan selama kurang lebih hampir satu setengah jam, akhirnya Jani pun tiba dengan selamat di tempat tujuan.

Jefri tidak mampu menyembunyikan kekagumannya atas kecantikan Jani. Rambut panjangnya yang diurai, menggunakan slit dress berwarna biru, dengan riasan make up natural. Membuat Jefri bertanya-tanya dalam hatinya, apakah dia akan menikahi seorang bidadari? Karena Demi Tuhan, Jani benar-benar seperti bidadari yang tidak bersayap. Dia sempurna. Kalau Jani adalah Tuhan, pasti Jefri akan menyebahnya.

Berbanding terbalik dengan Jefri, Jani terkejut melihat sosok Jefri. Jantungnya hampir mencelos. Laki-laki yang selalu ia ejek gay untuk menggoda Yasmin dan Anindita, ternyata adalah sosok pria yang dijodohkan dengannya. Doa Yasmin ternyata di dengar oleh Tuhan. Sialan, apa kata Yasmin dan Anindita nanti kalau mereka tahu hal ini?

“Ya ampun, cantik sekali kamu.” puji Mama Jefri sambil berdiri dari duduknya, menghampiri Jani, dan memberikan cipika-cipiki.

Jani membalasnya sembari tertawa kecil,

“Kamu beneran mirip banget sama mama kamu. Kalau kakak kamu itu fotocopyan papa kamu.” ucap Mama Jefri setelah sesi cipika-cipiki. Wanita berumur sekitar enam puluh tahunan itu menatap kagum calon menantunya ini.

“Terima kasih banyak tante.” ucap Jani dengan sopan.

“Saya kayak ngelihat Theresa waktu masih pacaran sama papa kamu loh.” ungkap Papa Jefri, sambil berjalan mendekati Jani dan memeluknya sebentar, “bener-bener mirip Theresa.” sambungnya sembari melirik Jadira dan Chandra bergantian. Kedua keluarga Jani itu hanya tertawa, begitu pula dengan Jani.

Mama's daugther memang dia tuh om.” timpal Chandra.

“Iya. Mini Theresa kamu.”

Jani tertawa kikuk, “hehehehe iya om. Banyak yang bilang aku emang lebih ikut ke mama, kalau kakak baru ke papa.”

“Setuju!” Papa Jefri melanjutkan, “ayo kenalan ini sama calon kamu, anak om.”

Ada rasa mengganjal di hati Jani ketika lelaki tua di hadapannya ini menyebutkan kata calon kamu. Jani masih tidak percaya, kalau dia yang selalu berprinsip untuk tetap hidup senang meskipun tidak memiliki pasangan, kini berakhir dengan dijodohkan oleh lelaki yang bahkan tidak pernah Jani temui sebelumnya.

Papa Jefri mempersilahkan Jefri untuk berdiri dari duduknya, karena sedari tadi lelaki itu terlihat sangat tidak sabar untuk menyambut kedatangan Jani. Lelaki itu pun berdiri, dan berjalan menghampiri Jani dengan kikuk. Demi Tuhan, dia merasa bersyukur tempat ini ramai, jadi tidak ada yang mendengar suara degup jantungnya yang kelewat kencang ini,

“Jefri.”

“Jani.”

Mereka berdua bersalaman, sembari saling menyebutkan nama masing-masing. Setelah itu, Jani melepaskan jabatan tangan mereka terlebih dahulu. Jefri kecewa, padahal dia masih ingin merasakan tangan Jani yang kelewat lembut itu. Namun, Jefri mengerti, pasti Jani kurang nyaman,

“Ya udah ayo semuanya duduk.” pinta Chandra sambil melirik Jefri dan Jani bergantian.

Jefri pun berbalik untuk kembali duduk di tempatnya, begitu pun dengan Jani.

Lalu, agenda selanjutnya, mereka menyantap menu makan malam yang mewah ini didampingi dengan obrolan hangat yang rata-rata membahas tentang kenangan yang pernah dilalui oleh kedua orang tua Jefri dan juga mendiang kedua orang tua Jani dan Jadira.

Jefri tidak bisa fokus malam ini, matanya terus mencuri-curi pandang kepada Jani yang terlihat begitu tenang menyantap makan malamnya. Dalam hatinya, Jefri lagi-lagi mengucap syukur, karena Tuhan memberikan sosok gadis ini ke dalam hidupnya. Meskipun melalui cara yang konyol, yaitu perjodohan.


“Jadi, Jani sekarang kerja apa?” tanya Mama Jefri setelah makan malam sudah selesai mereka lakukan.

Jani hendak menjawab, namun, Jadira buru-buru membuka suaranya, sehingga membuat Jani terdiam dan mengurungkan niatnya untuk menjawab pertanyaan dari wanita tua di depannya itu,

“Dia jadi Legal Adviser di kantor papa tante.” jawab Jadira yang membuat Jani diam-diam mengepalkan tangannya, berusaha untuk tidak mengacau di malam yang damai ini.

Chandra diam-diam melirik adik iparnya itu, dan dia bisa melihat bagaimana kesalnya Jani, meskipun Chandra hanya melihatnya dari samping. Lelaki itu juga tidak bisa berbuat apa-apa, selain membiarkan istrinya untuk berbicara,

“Wah, keren dong kalau kayak gitu.” puji Mama Jefri yang hanya dibalas senyuman kikuk oleh Jani.

“Bisa tuh nanti kalau kalian menikah, kamu jadi private legal advisernya Jefri. Dia kemarin absi kena masalah sama anak perusahaan di Malaysia.” timpal Papa Jefri, yang membuat Jani tertawa kecil.

“Kalau gitu aku harus di gaji om.” candanya, yang membuat satu meja tertawa.

“Iya, nanti di gajinya di nafkahin seumur hidup. Iya kan, Jef?” timpal Papa Jefri sambil menyenggol bahu anak laki-lakinya itu yang sedari hanya diam.

Jefri pun tersadar dari lamunannya, “hah? Kenapa?” responnya clueless. Hal itu mengundang tawa semua orang yang duduk disana, terkecuali Jani, dia hanya tersenyum, sambil matanya menatap lurus ke mata Jefri, yang mana hal itu disadari oleh Jefri, dan membuat pria itu tidak mampu berkutik sama sekali.

Sialan, mata Jani sangat berbahaya. Jefri bisa terus jatuh cinta kepada Jani hanya dengan tatapan matanya yang mematikan itu,

“Kamu ini, papa tahu Jani itu cantik sekali, tapi jangan sampai hilang fokus gitu dong.” goda Papa.

Yang digoda hanya tersenyum malu-malu, sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali,

“Apaan sih pa.” protes Jefri malu-malu. Lagi, semua yang duduk di meja itu tertawa melihat respon Jefri yang salah tingkah.

“Masih sama aja ya lu Jef kayak dulu? Kalau salting telinganya merah.” lontar Chandra.

Jefri mengumpat dalam hatinya. Dia benci dengan salah satu kebiasaannya ini. Dia menjadi benar-benar tidak bisa berbohong karena telinganya yang memerah akibat salah tingkah,

“Ya gitu lah bang.” respon Jefri. Dia tidak tahu harus berbicara apalagi saking saltingnya.

Jani tidak terlalu banyak bicara malam itu. Dia hanya tertawa dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh kedua orang tua Jefri. Namun, gadis itu, diam-diam sibuk memperhatikan Jefri. Lelaki itu memang tampan—gila rasanya kalau Jani bilang Jefri adalah pria yang jelek—ditambah lagi dia adalah anak dari seorang konglomerat, dan sekarang juga dia menjadi CEO di perusahaan milik keluarganya, sudah memiliki rumah sendiri. Lelaki itu benar-benar mirip sekali seperti lelaki impian Jani saat dia berada di masa-masa akhir kuliahnya.

Sekarang, Tuhan telah mengabulkan mimpi Jani akan lelaki impiannya (meskipun butuh waktu hampir kurang lebih dua atau tiga tahun) Dia mempertemukan Jani dan Jefri melalui perjodohan ini. Meskipun Jani tidak yakin kalau dia akan mencintai pria di hadapannya ini, tapi sisi lain dari dirinya berkata kalau dia sangat amat beruntung karena bisa bertemu dan akan membangun rumah tangga bersama Jefri.

Ah, tapi selain itu, Jani juga bertanya-tanya, alasan kenapa Jefri mau menerima perjodohan ini? Karena setahu dia (berdasarkan cerita cerita yang dia baca) seorang lelaki akan sangat menolak keras untuk dijodohkan dengan seseorang, kecuali kalau laki-laki itu gay. Apakah mungkin, Jefri benar-benar seorang gay?

“Kayaknya, sekarang kita bahas aja ya rencana ke depan untuk perjodohan ini.” ucap Papa Jefri yang mulai masuk ke dalam point pembahasan pertemuan hari ini, “seperti yang sudah Jani ketahui, bahwa om dan tante adalah teman baik mendiang orang tua kamu dan Jadira. Dulu, kami membuat janji persahabatan, untuk menjodohkan anak kami kalau mereka sudah besar. Maka dari itu perjodohan ini direalisasikan sekarang. Dan sangat amat disayangkan bahwasanya, papa dan mama kamu tidak melihat secara langsung hal ini, padahal mereka sangat menanti-nanti hal ini. Tapi, om dan tante percaya, kita semua percaya kalau papa dan mama kamu, melihat dan tersenyum bahagia dari atas sana.”

Air mata Jani dan Jadira menetes mendengar penuturan Papa Jefri. Mereka berdua benar-benar merindukan kehadiran kedua orang tua mereka yang sudah pergi meninggalkan mereka dari dua tahun yang lalu,

“Om dan Tante benar-benar berharap, kalau Jani bisa cepat-cepat menikah dengan Jefri. Jadi, bagaimana kalau tiga bulan lagi, pernikahan kalian berdua diselenggarakan?” ucap Papa Jefri yang langsung membuat Mama, Jefri, Chandra, dan Jadira mengangguk setuju.

Jani hanya diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Menikah adalah salah satu yang paling dia takuti, meskipun pernikahan kedua orang tuanya harmonis, pernikahan kakaknya juga harmonis, tapi mendengar cerita-cerita diluaran sana membuatnya takut. Apalagi semasa kuliah dia pernah magang di Pengadilan Agama, dan melihat sidang perceraian dengan berbagai macam tangis dan drama rumah tangga, membuatnya takut untuk menikah.

Kedua orang tua Jefri dan juga Jefri terheran-heran karena hanya Jani yang diam disaat yang lainnya setuju dengan usulan Papa Jefri. Menyadari akan hal itu, Jadira menyenggol bahu sang adik, sehingga membuat gadis itu tersadar dari lamunannya yang membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi setelah kehidupan sehabis menikah,

“Ada apa?” tanya Jani dengan begitu polosnya.

Jadira mencoba untuk terus tersenyum, meskipun tangannya gatal ingin mencubit paha Jani saat ini juga. Huh, kehamilan benar-benar membuat Jadira berubah menjadi sosok yang selalu bermain fisik saat ia sedang kesal,

“Pernikahan kamu sama Jefri bakal diadain 3 bulan lagi. Kamu siap, kan?” entahlah, Jani mendengar nada suara Jadira berubah menjadi menyeramkan di telinganya. Seperti ada pemaksaan disana.

Ingin sekali rasanya Jani menjawab tidak karena jujur dia belum siap untuk menikah, ditambah lagi dia juga tidak mencintai Jefri. Tapi, melihat kakaknya yang tengah mengandung keponakannya, membuat Jani jadi tidak tega untuk menolak. Ia tidak mau membuat kakaknya stress yang mana itu akan memperburuk keadaan janinnya.

Jadi dengan sangat amat terpaksa, Jani menjawab,

“Iya aku siap.”