First Fight


Jani tahu kalau di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Apa yang terjadi kepada dirinya adalah apa yang sudah Tuhan takdirkan.

Hari ini, Jani ditakdirkan untuk bertemu kembali dengan laki-laki yang pernah hampir menjadi pacarnya ketika masa-masa kuliah dulu. Jevano, namanya. Jani jelas terkejut, dia tidak pernah menyangka kalau ternyata dokter yang menanganinya adalah mantan lelaki yang pernah dekat dengannya.

Tidak hanya Jani yang terkejut, Jevano pun merasakan hal yang sama. Lelaki itu tidak pernah nyangka kalau dia akan bertemu dengan Jani, dengan keadaan gadis itu—ah wanita itu sudah bersuami. Lelaki itu hanya bisa menelan pil pahit sembari tersenyum. Penyesalan menghantui dirinya. Batinnya terus merapalkan kata-kata,

“Seandainya gue gak telat.”

“Seandainya gue gak cemen dan ngeiyain gitu aja waktu Jani minta pergi.”

“Seandainya gue jelasin semuanya.”

Jefri, dia jelas mencium bau-bau aneh dari gelagat Jani dan Jevano. Tapi, lelaki itu lebih memilih untuk diam dan bersikap biasa. Dia sudah sangat amat dewasa, dan dia tahu cara memposisikan dirinya. Sekarang, bukan waktu yang tepat untuk Jefri menginterograsi istrinya.

Pemeriksaan kandungan Jani pun sudah di lakukan lima menit yang lalu. Sekarang dua pasangan suami istri itu duduk bersebrangan dengan Jevano. Suasana benar-benar awkward. Padahal biasanya Jevano selalu mengajak pasiennya untuk bersenda gurau, tapi untuk saat ini, menatap mata Jani pun lelaki itu tidak sanggup.

Jefri berdehem cukup keras yang berhasil membuat Jani serta Jevano terkejut. Lelaki itu tidak tahan dengan situasi seperti ini,

“Saya gak perduli dengan apa yang terjadi diantara kalian di masa lalu. Sekarang tolong kasih tau keadaan anak saya.” pinta Jefri dengan suara baritonnya yang terkesan dingin dan tegas.

Jani menciut mendengar suara tegas dan dingin Jefri. Gadis itu diam-diam langsung menggenggam tangan Jefri, membuat sang suami melirik ke arahnya sebentar dengan datar, lalu kembali fokus kepada Jevano di hadapannya,

“Oh baik, maaf saya kurang fokus.” Jevano tertawa sumbang, lalu melanjutkan ucapannya, “sesuai dengan pemeriksaan, kandungan Ni—maksud saya Ibu Jani sudah masuk minggu ke-4. Puji Tuhan, kandungan Ibu Jani sehat dan kuat.”

“Apa ada pantangan makanan untuk…..” Jani terdiam sejenak, ia bingung apa dia harus berbicara dengan formal atau tidak dengan Jevano. Namun, dari raut wajah Jevano seperti memberikan syarat kepada Jani agar gadis itu bicara biasa saja, “gue?” cicit Jani, diam-diam matanya melirik Jefri yang sedari tadi hanya memasang wajah datar. Cemburu, pria itu.

“Gak ada, tapi mengingat kalau lu punya maag yang emang udah akut, jadi tolong jangan sering-sering makan pedes dan jangan telat makan. Kalau semisal mual-mual itu hal yang wajar, lo bisa bedain kan mana mual karena kandungan lo dan mual karena maag lo?”

Jani mengangguk paham.

Jefri semakin yakin kalau ada sesuatu yang terjadi diantara mereka berdua di masa lalu. Dia mungkin harus menanyakan ini kepada Jani, tapi nanti, setelah dirinya benar-benar bisa menenangkan diri, karena jujur, rasa cemburunya sekarang mungkin bisa saja menyakiti hati Jani,

“Dan, untuk urusan berhubungan suami istri, itu bisa dilakukan, karena janin Jani sangat sehat dan kuat.” ucap Jevano disertai senyuman manisnya, “kalau begitu, saya tulisin dulu resep vitamin untuk Jani.”

Sementara Jevano menuliskan resep vitamin untuk Jani. Kedua pasangan suami istri itu—Jevano dan Jani, hanya saling diam, genggaman tangan pun seketika dilepas begitu saja oleh Jefri, membuat Jani panik, bingung, sekaligus takut. Mata gadis itu memanas seraya menatap Jefri yang enggan untuk melirik ke arahnya.

Setelah resep vitamin itu selesai di tulis oleh Jevano. Jefri dan Jani pun berpamitan. Jani berpamitan dengan sangat ramah, berbeda dengan Jefri, lelaki itu terlihat sangat angkuh dan sombong. Dia bahkan menatap Jevano dengan tatapan sinis dan meremehkan. Kalau dirinya sedang tidak bertugas, sudah Jevano pastikan wajah Jefri penuh akan luka lebam akibat pukulannya,

“Jef.” panggil Jani yang sudah duduk di kursi penumpang paling depan, dengan Jefri yang berada disampingnya.

Ya, setelah mengantri untuk mengambil vitamin Jani. Akhirnya mereka berdua pun pulang ke rumah. Hati Jani gelisah melihat sikap Jefri yang begitu dingin kepadanya. Kalau Jefri cemburu dengan Jevano, seharusnya dia tidak bersikap sejauh ini? Karena Jevano dan Jani sudah tidak memiliki hubungan apa-apa, ditambah lagi sekarang Jani sudah memiliki suami dan tengah mengandung. Tidak bisakah Jefri untuk berpikir dengan logis?

Jefri tidak menyahut, dia sibuk melajukan mobilnya dengan satu tangannya, dan wajahnya yang terlihat datar, serta tatapan matanya yang tajam menyiratkan api cemburu yang menyulut dirinya,

“Kayaknya aku jelasin sekarang aja deh sama aku. Jevano itu dia mantan cowok yang pernah deket sama aku waktu kuliah. Aku gak tau kalau ternyata dia dokter kandungan aku, karena ini kan aku appointment juga di daftarin sama Kak Dira.”

Jefri hanya mendengar, tidak memberikan tanggapan apa-apa,

“Kamu gak seharusnya cemburu, karena faktanya aku udah nikah sama kamu, kita bakal punya anak, dan dia, ya dia cuma masa lalu aku. Aku sama dia juga gak pernah lebih dari sekedar dekat.”

Jefri masih diam,

“Jef, ayo dong, kamu lebih tua dari aku, tapi kenapa sikap kamu kayak anak kecil gini sih?”

Jefri masih diam, dan Jani pun tidak menyerah, dia akan terus membujuk suaminya ini,

“Hei… Papa, masa mau diemin aku kayak gini sih? Kamu gak mau nyanyiin apa-apa buat anak kamu? Kamu gak mau pegang anak kamu kayak kemarin malem? Sayang.”

“Aku lagi emosi, aku bisa aja ngelakuin hal buruk ke kamu. Sekarang aku anterin kamu ke rumah, setelah itu aku pergi, aku gak bakal pulang malem ini.” ucap Jefri dengan ketus.

“What!?” Jani memekik tidak percaya, Jefri hanya diam. Gadis itu benar-benar tidak habis pikir dengan pola pikir Jefri, “Jef, ini masalah kecil loh, kamu gak perlu sampai kabur kayak begini? Kamu gila ninggalin aku sendirian di rumah?” lanjut Jani terheran-heran.

Jefri juga tidak mau meninggalkan Jani sendirian di rumah. Namun, amarah dan emosinya saat ini membuat dirinya harus keluar dari rumah, untuk menenangkan pikirannya sementara,

“Aku gak mau kamu pergi malem ini.” larang Jani dengan tegas.

“Aku harus pergi.” Jefri tetap teguh dengan pendiriannya, bahwa malam ini dia akan pergi, dan mungkin dia akan mengirimkan Bi Inah untuk menjaga Jani.

“Ya udah terserah. Kamu mau pergi silahkan, tapi kalau besokannya kamu balik ke rumah dan aku kenapa-kenapa, gak usah nyalahin aku atau gak usah nyesel! Ini semua karena perbuatan kamu sendiri!”

Setelah itu, tidak ada yang membuka suara, bahkan sampai mobil itu berhenti di depan kediaman keduanya, dan sampai Jani turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah. Tidak ada pemandangan bucin seperti biasanya.

Jefri di dalam mobilnya melihat punggung Jani yang bergetar karena menangis berjalan masuk ke dalam rumah. Ia memukul stang mobilnya, dan mengacak-acak rambutnya,

“Jevano anjing!” umpatnya.

Setelah itu, Jefri menekan pedal gas, menjalankan mobilnya meninggalkan kawasan rumah dengan kecepatan diatas rata-rata. Kini Jefri terlihat seperti tengah menantang maut.

Ini adalah pertengkaran pertama mereka selama kurang lebih 1 bulan menikah.