First Night


Serangkaian acara pernikahan Jefri dan Jani hari ini sudah selesai tepat di jam dua belas malam. Lelah? Jangan ditanya, Jani bahkan sudah tidak sanggup lagi untuk berjalan saking lelah dan ngantuknya dia, begitu pula dengan Jefri.

Setelah berpamitan dengan keluarga masing-masing. Jefri pun segera membawa Jani untuk pulang ke kediamannya. Ya, mulai hari ini Jani akan tinggal disana, menghabiskan waktunya bersama Jefri entah sampai kapan.

Sesampainya di kediaman Jefri, Jani benar-benar tidak bisa untuk tidak berdecak kagum melihat bagaimana besar dan luasnya rumah milik suaminya itu. Dia kagum dengan Jefri. Amat sangat kagum. Lelaki itu di umur yang masih semuda ini sudah mampu membeli rumah—ah lebih tepatnya mansion yang mirip seperti milik artis hollywood,

“Mau sampai kapan cengo kayak gitu? Kamu gak cape?” tanya Jefri sembari menyenderkan tubuhnya ke kap mobil. Sudah hampir dua menit dia memperhatikan istrinya itu tengah terkagum-kagum dengan rumahnya.

Jani berhenti, lalu membalikan tubuhnya ke belakang, untuk melihat suaminya yang tengah berdiri disana sembari melipat kedua tangannya di depan dada,

“Lo selama ini tinggal sendiri disini?” tanya Jani, yang dijawab anggukan kepala oleh Jefri.

Lelaki itu berjalan mendekati Jani,

“Sendirian?” Jani kembali bertanya. Pasalnya, tidak mungkin Jefri tinggal sendirian di rumah sebesar ini.

“Kamu berharap saya tinggal sama siapa emang?” pertanyaan Jani bukannya dijawab, tapi malah dibuat pertanyaan lagi oleh Jefri.

Jani terdiam, lalu detik kemudian dia mengangkat kedua bahunya,

“Ya gak tau. Mungkin cewe lu.”

“Cewe?” tanya Jefri sambil tertawa renyah. Hal itu membuat Jani menatapnya dengan tatapan aneh sekaligus kesal, “kok lo malah ketawa sih?” tanya Jani jengah.

Jefri tidak menjawab, lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya, seraya merangkul tubuh Jani dan membawanya berjalan masuk ke dalam mansion. Jani tidak terima, dia masih menuntut jawaban atas alasan kenapa Jefri tersenyum, tapi Jefri tidak menjawabnya dan malah terus menuntun istrinya itu untuk masuk ke dalam.

— O —

Malam ini, kedua pasutri itu sudah berbaring di atas ranjang mereka. Kasur berukuran king size yang dulunya hanya di tempati oleh Jefri seorang, kini sudah ditempati oleh Jani—meskipun secara terpaksa.

Iya, pada awalnya, Jani menolak untuk tidur sekamar dengan Jefri, karena bagaimanapun juga, meskipun status mereka suami istri, Jani masih belum mencintai Jefri, jadi dia tidak mau untuk berbagi ranjang dengan lelaki itu. Dan Jafri pun tetap memaksa Jani untuk tidur bersamanya, mengingat status mereka yang sudah sah menjadi suami istri.

Perdebatan antara Jani dan Jefri berlanjut hingga pukul setengah tiga pagi. Dua-duanya tidak ada yang mau mengalah. Sampai pada akhirnya, karena sudah terlalu lelah, Jefri pun mengeluarkan jurus andalannya yang membuat Jani takluk dan memilih untuk tidur bersamanya seperti sekarang,

“Ya kalau kamu mau tidur disana sih, saya gak masalah. Tapi, kamu tau kan kalau mansion ini cuman saya yang nempatin sendiri, dan banyak ruangan kosong yang gak kepakai? Dan kamu tahu kalau banyak ruangan kosong yang gak kepakai, itu sarangnya siapa?”

Jani yang sangat takut dengan hantu pun akhirnya memilih untuk menyerah dan akhirnya ia memutuskan untuk berbagi ranjang dengan Jefri, tetapi dengan syarat, kalau guling dijadikan pembatas mereka, dan kalau ada yang melewati batas yang sudah disediakan, harus membayar denda kurang lebih satu juta.

Dan, Jefri dengan bodohnya menyetujui kesepakatan tersebut,

“Tadi lo kenapa ketawa?” tanya Jani membuka percakapan diantara keduanya.

Malam ini terasa hening, hanya terdengar suara jangkrik dari luar sana.

Jani tertidur dengan posisi menyamping ke kiri, agar bisa melihat wajah Jefri yang posisi tidurnya pun sama persis dengan Jani,

“Yang soal kamu nanya saya punya pacar apa enggak?” Jefri bertanya, sembari tangannya ia angkat ke udara dan membenarkan poni Jani.

Jani menganggukan kepalanya,

“Saya terakhir pacaran aja waktu kuliah.” jawab Jefri, “tanya aja Mba Dira.” lanjutnya.

Jani melebarkan matanya. Gadis itu heran mengetahui fakta bahwa lelaki setampan dan semapan Jefri terakhir menjalin hubungan dengan seseorang ketika dirinya masih berada di bangku kuliah, yang mana artinya itu sudah belasan tahun yang lalu. Bagaimana bisa dia bertahan selama itu?

“Lo yang bener aja terakhir pacaran pas kuliah?”

“Iya bener.” jawab Jefri meyakinkan istrinya itu.

“Maksud gue tuh gini loh, lo kan cowok ya, manusia, normal, punya nafsu, kalau lo ga ada pacar, selama ini lo muasin nafsu lo sama siapa dong?”

Sebenarnya Jani tidak tahu kenapa dari banyaknya rasa heran yang ada di benaknya, malah itu yang ia lontarkan kepada Jefri. Untuk beberapa saat kemudian, Jani merutuki dirinya sendiri. Benar-benar bodoh, pikirnya,

“Kalau saya jawab jujur, apa kamu bakalan marah sama saya?” Jefri bertanya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan vulgar Jani.

Entah kenapa, Jani mendadak gelisah ketika Jefri bertanya seperti itu kepadanya. Namun, meskipun begitu, Jani tetap menjawabnya dengan lantang dan penuh keyakinan,

“I've never loved you. So whatever you're going to say now won't make me angry.”

Sorot mata Jefri tidak dapat berbohong kalau dia begitu kecewa mendengar penuturan Jani barusan. Namun, lelaki itu terlalu hebat menyembunyikannya sehingga membuat Jani tidak sadar sama sekali,

“Saya suka sewa perempuan di club malam untuk nemenin saya tidur atau having sex sama saya.” tutur Jefri dengan jujur.

Perasaan Jani seketika berubah menjadi campur aduk. Kecewa, marah, sedih, menyatu menjadi satu. Tidak paham apa yang sedang Jani rasakan sekarang ini, gadis itu memilih untuk tidak mengiraukan perasaannya, meskipun itu sedikit membuatnya kesal dan terganggu,

“Wow…… you're wild.” hanya itu respon yang mampu Jani tunjukkan. Dia mencoba untuk menyembunyikan perasaan aneh ini dengan tetap mempertahankan senyumannya yang canggung.

Jefri mengangguk, “i know.” akunya, Jani dapat mendengar nada menyesal dari suara lelaki itu, “tapi itu dulu, saya gak pernah berani untuk kayak gitu lagi.” sambungnya..

“Why? Because you are married?”

Jefri menggeleng, membuat Jani menukikkan kedua alisnya.

Sebelum menjawab, Jefri sedikit memajukan tubuhnya ke arah Jani, lalu mengecup kening istrinya itu cukup lama. Jangan tanya bagaimana perasaan Jani. Kaget, awkward, gugup, semuanya bercampur menjadi satu,

“Because i love you.” jawabnya setengah berbisik. Jari panjang Jefri tergerak dengan perlahan, mengelus pipi gadis itu dengan lembut, “orang yang menikah, bisa selingkuh, atau tidur sama perempuan sana-sini. Tapi orang yang mencintai dan menghormati pasangannya, jelas gak bakal pernah nyobain hal kayak gitu.”

Jani tidak mampu berkata-kata, matanya tidak bisa lepas dari wajah tampan Jefri. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Jefri, alam bawah sadar Jani memuji sosok Jefri yang begitu tampan dan sempurna tanpa ada cacat sedikitpun,

“Udah yuk tidur? Ini udah mau subuh, kita sama sekali belum tidur.”

“Iya.”