GEDUNG BELAKANG KAMPUS
Maura kaget setengah mati waktu tiba-tiba mulutnya di sekap oleh tangan seseorang dari arah belakangnya. Dia enggak tahu siapa orang itu. Maura berkali-kali coba untuk berontak, tapi tenaga si perempuan lebih kuat dari dia.
Pada akhirnya, Maura cuman bisa pasrah.
Orang asing itu ngebawa Maura ke sebuah gedung kosong yang usang—lebih pantes disebut gudang daripada gedung. Tanpa rasa bersalah, orang asing tersebut ngelepas tangannya dari mulut Maura, dan langsung mendorong Maura sampai dia tersungkur ke lantai. Untung, gak ada benda tajam, jadi Maura gak kena apa-apa, cuma ya itu, lututnya sakit aja karena berbenturan sama lantai keras banget.
Maura mencoba untuk berdiri dari duduknya, dengan sisa rasa sakit yang menerpa seluruh tubuhnya, dan juga tangisan yang mengiringi perempuan itu. Setelah berdiri sempurna, Maura berbalik, dan kalian tahu apa yang terjadi? Iya, Maura disembur oleh air kotor yang baunya seperti bau got.
Terkejut bukan main Maura ketika disiram oleh air got yang membuat seluruh tubuhnya kotor dan bau,
“Eh, sorry, bau ya?” suara yang tidak asing berhasil merebut perhatian Maura.
Gadis itu mendongak, melihat dua perempuan yang berdiri di depannya. Dia Alice, dan satu perempuan lagi, Maura gak kenal. Dan dia gak bakal pernah mau kenal sama perempuan jahat itu,
“Aduh kalau lo bau gini, kira-kira Jenar masih mau nggak ya sama lo? Menurut lo gimana Jul?” Alice masih bicara dengan nada yang mengolok-olok Maura.
Maura? Dia cuman diem, natap kedua perempuan itu dengan tatapan yang kesal. Kedua tangan Maura pun diem diem di kepal dengan kuat, untuk nyalurin perasaan kesal Maura ke Alice dan satu temannya itu. Sumpah, Demi Tuhan, kalau aja Maura berani, dua perempuan ini pasti udah habis di tangan Maura,
“Menurut sih, jangankan mau, nyentuh aja kayaknya si Jenar males. Soalnya bau.” jawab Julie sambil ngeliat Maura dari atas sampai bawah dengan tatapan sinis, “eh tapi kalau Jenar gak mau, lo bisa kok sama gue. Gue suka segala jenis manusia, mau cewe, mau cowo, mau transgender, gue suka kok.”
Bibir Maura bergetar hebat. Air mata luruh ke permukaan pipinya, membentuk sebuah aliran indah yang pilu,
“Tuh, mending lo sama Julie aja daripada sama cowok orang. Gatel lo? Sini gue garukin, mana yang gatel.” cecar Alice.
“Neo kok mau mauan nerima mahasiswi yang polos udah gitu sok cantik, tolol, goblog, dan bisu kayak lo? Gue kalau jadi rektornya, mending gue nerima jablay tapi ada otak daripada nerima cewek baik-baik tapi otak ngga dipake.”
Dalam hati Julie, sejujurnya, dia gak mau ngelakuin ini. Tapi, kalau dia gak nurut sama Alice, dia takut, dia takut kalau Alice bakal jauhin Julie, dan ajak-ajak Gladys untuk nggak nemenin Julie lagi. Dia merasa kasihan, bener-bener kasihan sama Maura, tapi mau gimana lagi, Julie gak bisa hidup tanpa teman. Dan dia masih butuh Alice dan juga Gladys di hidupnya. Meskipun Alice udah terlalu sering norehin luka ke Julie.
Suara tamparan keras yang dilakukan oleh Alice kepada Maura, membuat Julie dan Maura terkejut bukan main. Terutama Maura. Perempuan itu merasakan panas dan perih yang bukan main di pipinya, dia memegangi pipinya, dan air mata mengalir deras bak derasnya aliran sungai,
“NGOMONG ANJING BISANYA CUMAN NANGIS DOANG.” bentak Alice.
“Lis, apa lo gak merasa tamparan lo keterlaluan?” Julie nanya dengan suara yang pelan.
Alice yang lagi dikuasai emosi, dikasih pertanyaan kayak gitu sama Julie makin emosi,
“Lo kalau mau sama kaya Gladys mending keluar, biar ini perek satu gue yang abisin.”
Julie diem. Dia menggumamkan kata maaf, yang sebenernya gak dia tunjukin buat Alice, tapi buat Maura, cuman melalui Alice.
Perek perek perek, padahal lo yang kayak gitu. Sialan. Julie bergumam di dalam hatinya,
“Lo tuh masih maba disini.” Alice bicara sambil berjalan mendekati Maura, dan Maura juga mundurin langkahnya, saking takutnya dia sama Alice, “gak usah sok mau jadi perempuan yang dilihat sama Jenar, Jenar gak suka sama cewek yang badannya gak ada bentuk kayak lo. Lo tau, Jenar itu sukanya sama gue, gue sama dia emang gak pacaran, but we have a commitment, dan komitmen itu suatu hal yang paling berharga kan dalam hidup? Kalau lo berani rebut Jenar dan hancurin komitmen yang udah kita bangun, itu artinya apa? Itu artinya lo BITCH!”
Alice berhasil menjangkau Maura. Dia langsung narik kerah baju Maura, dia goyang-goyangin Maura sambil neriakin Maura dengan kata-kata kasar yang sama sekali gak pantas diucapin sama seorang manusia, mau itu laki-laki atau bahkan perempuan.
Maura takut juga sakit hati sama semua kata-kata kasar yang Alice omongin untuknya. Benci, Maura benci dirinya yang gak bisa ngelawan saat dia diperlakukan seperti ini, saat dia diinjak mentalnya, saat dia disudutkan padahal disini bukan hanya dia yang salah. Maura terlalu takut untuk ngelawan Alice, dia gak mau dia mati di tangan perempuan yang bahkan gak pantes disebut perempuan karena kelakuannya.
Gadis polos itu mikir, apa sih yang udah terjadi di dalam hidup seorang Alice sampai dia berani sejahat ini sama orang?
“GUE BENCI SAMA LO ANJING! LO AMBIL JENAR DARI GUE! LO BRENGSEK! LO ASSHOLE! LO BITCH! LO PEREK! LO—”
“STOP!”
Kegiatan kekerasan yang dilakukan Alice ke Maura itu berhenti begitu saja waktu ada suara tegas dari arah pintu yang meminta Alice untuk berhenti.
Alice menoleh ke belakang, Julie juga, Maura gak perlu, karena posisinya dia menghadap ke arah pintu masuk gudang. Melihat kalau yang datang itu adalah asisten dosen di kampus ini, Alice buru-buru melepaskan cengkramannya dari kerah Maura.
Asisten dosen yang menggunakan pakaian rapih, dengan rambutnya yang menggunakan hairstyle hair up itu berjalan mendekati ketiga perempuan tersebut. Matanya langsung menatap Maura dengan tatapan kasihan dan khawatir, Maura langsung menunduk begitu ditatap oleh asisten dosen tersebut. Kemudian pria tersebut mengalihkan pandangannya kepada Alice dan juga Julie. Kali ini, tatapan matanya berbeda, kalau kepada Maura, tatapan mata itu berupa tatapan mata rasa kasihan dan khawatir, sementara kepada Julie dan Alice tatapan mata itu berupa tatapan mata kesal, benci, dan marah menjadi satu,
“Gak ada pikiran kalian hah?” tanya asdos yang diketahui bernama Dimas tersebut.
“Ya kalau gue sama temen gue gak ada pikiran, kita gak bakal bisa kuliah lah.” jawab Alice dengan tidak sopan, “lagian lo asdos aja belagu banget, sok jadi pahlawan. Pedofil ya lo demen sama anak ingusan kaya tu orang?”
Dimas menggeleng-gelengkan kepalanya, saat dia mendengar kata-kata sampah yang keluar dari mulut Alice. Benar-benar tidak seperti seorang mahasiswa terpelajar Alice ini,
“Jaga bicara kamu ya. Kamu ini mahasiswa, kamu terpelajar. Masa omongan kamu kaya orang gak pernah sekolah? Bahkan orang yang gak sekolah aja ada yang lebih sopan dari kamu. Sekarang kalian berdua keluar.”
“Ngomongin soal sopan kesopanan, hallo bapak asdos yang terhormat, tata krama di kampus ini udah hilang. Lo gak tau apa kalau kampus ini isinya orang-orang gila semua.”
“Tapi mereka masih punya sopan santun. Gak seperti kamu. Sekarang kamu pergi, atau saya bisa ngelakuin hal yang lebih buruk ke kalian berdua.”
Alice masih enggan untuk pergi, tapi, Julie si pengecut udah nepuk-nepuk pundak Alice, dan ngajak cewek itu untuk keluar dari gedung ini,
“PERGI SEKARANG!” bentak Dimas, membuat Maura tersentak, begitu pula Julie sama Alice.
Julie langsung narik Alice keluar saat itu juga. Dan sekarang, tersisalah Dimas dan Maura di dalam ruangan tersebut. Dengan langkah perlahan, Dimas jalan ngedeketin Maura yang badannya bergetar karena nangis,
“Mereka udah pergi, kamu aman sama saya.” ucap Dimas.
Maura mendongakkan kepalanya. Dia natap muka Dimas dengan matanya yang basah dan pipinya yang memerah. Dimas kaget bukan main waktu liat pipi cewek itu yang merah dan sedikit agak bengkak,
“Astaga.” gumam Dimas, “ke ruang kesehatan ya? Saya coba kompres pipi kamu, ini merah sama agak bengkak pipinya.”
Maura diem aja, dia masih sibuk nangis. Dimas paham, Maura pasti takut.
Maka dari itu, Dimas ngelempar senyuman manisnya, yang lucunya, bener-bener berhasil bikin Maura tenang dan gak terlalu takut,
“Gak perlu takut, saya gak bakal jahatin kamu.” ucap Dimas, dia langsung ngelepasin kemejanya yang ngebuat Maura kaget, tapi untungnya, Dimas pakai kaus berwarna hitam lagi di dalamnya, “ini pake.”
Dimas dengan telaten menyampirkan kemejanya ke tubuh Maura, untuk menutupi bagian tubuh Maura yang nerawang.
Setelah itu, Dimas ngegandeng tangan Maura dan ngebawa Maura keluar dari gudang tersebut menuju ke ruang kesehatan yang tempatnya enggak jauh dari gudang ini.