Giselle To The Rescue


“Ya Allah, Nin.” Giselle terkejut melihat Karenina yang datang dengan keadaan menangis sesenggukan.

Karenina buru-buru mendekap tubuh Giselle dengan begitu erat. Gadis itu menangis dipelukan Giselle cukup kencang, sehingga membuat beberapa penghuni kost melirik ke arah keduanya.

Giselle melonggarkan pelukannya, lalu mengajak Karenina untuk masuk ke dalam.

Setelah sampai di dalam, Giselle mengunci pintu kostnya. Mereka berdua sama-sama duduk di lantai, dengan Karenina yang masih menangis sesenggukan. Giselle tidak tahu apa yang terjadi dengan sahabatnya ini, yang pasti ia sangat khawatir, karena keadaan Karenina benar-benar mengkhawatirkan.

Dia tidak pernah melihat Karenina sehancur ini sebelumnya. Giselle benar-benar tidak tega, ia ikut sedih melihat sahabatnya yang menangis separah ini. Siapapun orang yang sudah membuat Karenina seperti ini, sudah pasti akan Giselle hajar habis-habisan kalau dia tahu siapa pelakunya,

“Nin, kalau lo masih mau nangis gak apa-apa nangis aja, kalau lo udah tenang, lo boleh cerita semuanya sama gue.” Giselle berkata dengan lembut, seraya menatap Karenina yang tengah menunduk sambil menangis dengan tatapan lembut dan penuh kekhawatiran, belum lagi satu tangannya ia gunakan untuk mengelus punggung Karenina.

Karenina menuruti apa kata Giselle. Dia masih menangis dan belum membuka mulutnya sama sekali. Rasanya, tangis yang ia keluarkan dari sejak sore sampai malam ini belum bisa menghilangkan rasa sakit dan perih di hatinya. Entah harus dengan cara apa agar semuanya kembali seperti semula, Karenina tidak tahan dengan rasa sakitnya. Ini benar-benar lebih sakit dari apapun yang menyakitkan di muka bumi ini.

Tuhan begitu hebat menciptakan rasa sakit ini kepada Karenina, sehingga membuat Karenina berpikir, kebahagiaan yang sehebat apa yang akan Karenina terima di masa depan?

Meskipun belum puas dengan menangis, setidaknya, Karenina sudah bisa bernafas perlahan-lahan, dan juga sudah kuat untuk berbicara dan sepertinya ia sudah siap untuk menceritakan semuanya kepada Giselle,

“Sell.” Karenina memanggil Giselle dengan suaranya yang terdengar begitu parau.

“Iya, Nin.” Giselle menyahuti panggilan Karenina dengan lembut.

“Sorry ya gue tiba-tiba dateng ke kostan lu dengan keadaan gue yang kayak begini. Im so sorry.” sesal Karenina.

Giselle mendecakan lidahnya, raut wajahnya terlihat kesal mendengar ucapan Karenina barusan, “apaan sih Nin, lo kayak sama siapa aja deh buset. We're friend, gak apa-apa kali, mau lo dateng dalam keadaan lo gila pun gue bakal terima lo kok.” ucap Giselle sedikit bercanda.

Karenina tertawa kecil. Tawa itu muncul hanya karena ia ingin menghargai candaan tipis Giselle. Pada kenyataannya, untuk sekedar tersenyum pun rasanya Karenina tidak sanggup,

“So, lo udah siap untuk cerita?”

Karenina mengangguk dengan begitu mantap, “not one hundred percent ready, tapi gue mau cerita semuanya sama lo. Gue capek buat nangis.”

Giselle tersenyum, “Tell me everything, Nin.” pinta Giselle.

Sebelum memulai ceritanya, Karenina menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan sekejap. Dia juga memejamkan matanya beberapa detik, dia benar-benar mempersiapkan dirinya,

“Sell, gue sekarang tahu alasan kenapa gue ngerasa takut banget buat dateng ke fakultas ilkom tadi.” ucap Nina.

You said, something bad will happen to you, kan?” tanya Giselle, Karenina langsung menganggukan kepalanya.

“And my feelings come true.” jawab Karenina, Giselle mengerutkan dahinya. Tanpa perlu Giselle jelaskan, Karenina paham bahwa sahabatnya itu tidak paham dengan maksud ucapan Karenina, “iya, sesuatu yang buruk terjadi ke gue tadi. Gue ketemu temennya seseorang di masa lalu gue yang ngebuat gue trauma.” jelas Karenina.

Giselle terkejut ketika Karenina menyebutkan bahwa gadis itu memiliki trauma. Selama ini, Giselle selalu melihat Karenina seperti gadis periang dan seperti tidak memiliki sedikitpun beban, kehidupan Karenina seperti selalu berjalan sesuai dengan apa yang gadis itu inginkan. Tapi ternyata, pada kenyataannya, Karenina menyimpan luka besar di dalam dirinya,

“Trauma? Lo diapain, Nin?” Giselle bertanya dengan nada sedikit histeris dan panik.

Lalu, Karenina pun menjelaskan awal mula permasalahannya dengan begitu detail kepada Giselle. Sesekali, Karenina harus berhenti hanya untuk sekedar menangis, dan Giselle pun menenangkan Karenina, sambil dirinya sendiri menahan emosi. Iya, Giselle benar-benar dibuat emosi dengan laki-laki bernama Jayden yang dengan beraninya memperalat Karenina agar lelaki itu bisa melupakan mantan kekasihnya.

Giselle harus mencari siapa sosok Jayden. Kalau sosok itu sudah ketemu, Giselle benar-benar akan menghabisi Jayden tanpa ampun,

“Nin, sumpah demi apapun kalau gue ketemu orangnya, dia bakal gue abasin anjing.” emosi Giselle membara, Karenina tidak merespon apa-apa, “kok bisa-bisanya dia masih hidup tenang, bisa kuliah sedangkan dia udah nimbulin luka sampai lo trauma kayak begini. Emang cowo ngentot.”

“Gue sampai gak mau kenal cowok mana lagi gara-gara dia. Bukan karena gua masih cinta sama dia, tapi gua takut Sell, gua bener-bener takut. Rasanya sakit banget.” lirih Karenina, “gue tau gak semua cowo bajingan kayak dia, tapi tetep aja rasanya gak enak, gue gak bisa percaya lagi sama laki-laki.”

I know what you feel, Nin, dan itu gak apa-apa, namanya juga lo habis disakitin, its okay buat lo untuk gak mau percaya sama laki-laki, dan semuanya juga butuh proses kok. Tuhan bakal nemuin lo sama seseorang yang tepat dan di waktu yang tepat pula.” Giselle terdiam sebentar, sembari tangannya membelai rambut Karenina, “pasti masih banyak laki-laki baik disana yang bakal mencintai lo dengan begitu sempurna.”

Karenina kembali menangis, Giselle menarik sahabatnya itu ke dalam dekapannya.

Dan ia pun, membiarkan Karenina kembali menangis di dekapannya untuk sekali lagi.