Gladys


Ketiga wanita, dan satu pria—Jefri, Jani, Gladys, dan kekasih Gladys, Alexa sudah duduk bersama di satu meja yang sama, dengan berbagai macam hidangan yang tentu semuanya dibayar oleh si manusia paling kaya diantara mereka, siapa lagi kalau bukan Jefri. Sebetulnya, tadi Alexa sudah menawarkan diri untuk membayar semua tagihan makanan, tetapi, Jani menolaknya dan meminta Jefri yang membayar semua makanan ini.

Sejak awal Jani dan Jefri datang menemui Gladys dan Alexa, suasana benar-benar canggung. Bukan canggung karena dua perempuan itu memiliki hubungan khusus lebih dari seorang teman, tetapi, canggung karena tadi siang Jani sempat memaki Gladys dengan kata-kata yang kurang pantas. Untungnya, Gladys bukan tipikal gadis yang pendendam, dia langsung memaafkan Jani pada saat itu juga, malah dia juga ikut meminta maaf karena sudah mengacaukan honeymoon Jani dan Jefri.

Tension diantara mereka (khususnya Gladys dan Jani) sudah hilang, bergantikan dengan keakraban yang tidak terduga. Jani dan Gladys terlihat seperti teman lama yang baru saja bertemu, obrolan mereka menyambung satu sama lain. Melihat itu, Jefri tersenyum simpul, dia senang menikahi wanita yang begitu pandai dalam bergaul dan tidak terlalu malu-malu. Istrinya ini benar-benar defisini perempuan sempurna di seluruh dunia,

“Jadi gimana nih, Jefri?” tanya Gladys yang langsung membuat Jani kebingungan dengan maksud dari pertanyaan Gladys barusan. Jani memang sangat polos, meskipun permainannya di ranjang tidak perlu diragukan lagi.

Alexa dan Gladys menahan tawanya, begitu pula dengan Jefri. Jani melirik ketiga manusia yang lebih tua darinya itu secara bergantian. Demi Tuhan, dia bingung, apa sih maksudnya?

“Maksud Gladys ini, Jefri di ranjang gimana?” Alexa menjelaskan maksud ucapan kekasihnya itu. Gladys mengangguk, membenarkan ucapan Alexa, sementara Jani yang baru paham pun langsung terdiam, dia agaknya culture shock karena baru kali ini membicarakan hal dewasa seperti ini di meja makan.

Jefri merangkul sang istri, lalu mengecup pipi istrinya itu dengan lembut, “gak usah di jawab kalau gak mau jawab sayang.” ucap Jefri sembari matanya tidak putus melirik side profile Jani yang begitu cantik baginya. Ah, semua bagian tubuh Jani sangat cantik bagi Jefri.

“Temen kamu agak gila ya?” bisik Jani dengan suara pelan, Jefri tidak menjawabnya, ia hanya tertawa pelan yang membuat Alexa dan Gladys menatap Jani dan Jefri dengan penuh tanya.

“Enggak apa-apa, ini dia cuman kentut aja.” Jefri menjawab tatapan penasaran dan penuh tanya dari Alexa dan Gladys dengan berdusta.

Jani menekan paha Jefri dengan telapak tangannya lumayan keras, sembari menunjukkan senyumnya yang dipaksakan dan mengangguk seolah membenarkan ucapan Jefri barusan. Sementara, Jefri yang mendapat perlakuan itu langsung bergerak tidak nyaman sembari mengaduh di kursinya,

“Kenapa sih, Jef?” tanya Gladys melihat lelaki itu bingung.

“Keinjek sama kaki Jani.” jawab Jefri kembali membohongi mantan partner ranjangnya itu.

Gladys dan Alexa hanya menganggukan kepalanya. Mereka percaya dengan dua kebohongan yang Jefri lontarkan,

“Eh iya, Jan, gue boleh gak kira-kira ceritain tentang masa lalu gue sama Jefri?” tanya Gladys, Jani tidak langsung menjawab, ia melirik Jefri terlebih dahulu. Jefri pun mengangkat kedua bahunya, menyerahkan jawabannya kepada Jani.

“Boleh.” jawab Jani dengan begitu yakin.

“Ok, gue sama Jefri ini satu kampus, satu jurusan, cuman beda kelas doang. Nah, gue tuh sebenernya pacarnya temennya dia, si Johnny, cuman ya gitu gue sama dia putus, karena Johnny yang bader banget. Dia masih sama gue tapi sering having sex sama cewek cewek lain di luaran sana. Gue capek, dan gue juga takut ketika dia ngelakuin itu sama gue, gue kena HIV, karena kita gak tau kan kebersihan orang lain gimana? Untungnya waktu itu gue pernah cek, dan gue negatif.” Jani menyaksikan Gladys bercerita dengan begitu serius dan seksama, “karena gue putus dari Johnny, gue stress, karena ya gue cinta banget sama dia. Ya mungkin alasan gue kenapa gue memilih untuk jadi bagian dari lesbian itu karena gue pernah pacaran sama Johnny, dan waktu nikah pun cowo gue modelan Johnny juga sifatnya, bikin ngebatin. Habis itu, selang seminggu, Johnny ngechat gue, gue pikir dia mau ngajak balikan or at least minta maaf sama gue, tapi dia malah ngenalin gue sama Jefri.”

Jani yakin, setelah ini adalah inti dari kisah kelam masa lalu Gladys dan Jefri. Jani tidak siap mendengarnya, karena dia pasti akan merasakan sakit meskipun sekarang keadaan sudah berbeda. Tapi, Jani sudah kepalang mengiyakan, jadi mau tidak mau, suka tidak suka Jani harus mendengarkannya,

“Waktu itu, Johnny ngajakin gue ketemuan di bar. Gue iyain aja meskipun tujuan dia itu mau ngenalin gue ke Jefri, tapi ya bodo amat, gue waktu itu pingin banget ketemu sama Johnny, makanya gue rela-relain dateng. Dan pas sampai sana, gue ngeliat Johnny lagi main sama cewek blasteran gitu. Gue ancur banget, gue nangis, dan gue deketin Jefri, lalu setelah itu karena gue kebawa suasana, dan dia juga, ya kita make out. Untuk yang pertama kalinya, actually, Jefri adalah partner ranjang terbaik yang pernah gue punya. Jadi, lo beruntung bisa ngerasain itu sekarang.”

Jani merasakan ngilu di hatinya ketika mendengar cerita itu. Dia meremat ujung roknya, menumpahkan rasa cemburu dan kesalnya. Jefri yang menyadari akan hal itu, segera menarik tangan Jani dan menggenggamnya dengan erat. Jani hendak melepaskan, tapi Jefri semakin mengeratkan genggamannya di tangan Jani,

“Gue tidur sama dia beberapa kali, dia masih lembut sama gue, sampai di hari terakhir kita jadi bed partner, kita ngelakuin roleplay, and he fucked me so hard at that time sampai gue gak bisa jalan dan gue nangis-nangis nelfonin Johnny.” ucap Gladys sembari tertawa kecil, tidak tahukan gadis itu kalau Jani kini tengah menahan rasa cemburu dan kesalnya, “kalau dipikir-pikir dulu lo gila banget sih Jef, gue harap lo gak sekasar itu sama istri lo.” lanjut Gladys sembari melirik Jefri dan Jani bergantian.

“Gak masalah kok, gue justru suka kalau semisal Jefri ngasarin gue, bener-bener bikin gue kayak his slut.” respon Jani ini benar-benar membuat Gladys dan Alexa sedikit terkejut, begitu pula dengan Jefri. Tapi, keterkejutan Jefri tidak berlangsung lama. Karena pria itu sekarang sedang kegirangan.

“Wow… gue harap lo kuat kuat deh, apalagi kalau semisal udah roleplay sama dia.”

“Hahaha iya thanks remindernya ya, tapi kayaknya gue sama Jefri harus duluan, soalnya masih ada hal yang mau kita lakuin. Permisi.”

Jani menghentikan pertemuan itu dengan kesan yang tidak sopan. Tapi Demi Tuhan, hati Jani sakit kalau terus diam disana, dan mendengarkan ucapan gila yang keluar dari muluf Gladys. Dan kini, mereka berdua tengah berjalan seraya bergandengan tangan untuk kembali ke hotel,

“Kamu gak marah sama saya kan?” Jefri bertanya seraya menghentikan langkahnya, membuat Jani juga ikut berhenti.

Jani berbalik menatap Jefri dan menggelengkan kepalanya,

“Gak kok.” jawab Jani sambil tersenyum. Ia rapatkan tubuhnya ke arah Jefri, lalu mengecup bibir suaminya itu, “gimana aku bisa marah sama pak dosen yang udah ngasih aku banyak ilmu, hm?”

Jefri terkejut ketika Jani menyebut dirinya dengan sebutan Pak Dosen. Sepertinya, kegiatan gila akan di mulai hari ini,

“Tapi gantian saya yang marah sama kamu.” ucap Jefri dengan tegas, dia sudah memasuki perannya sebagai dosen dari Jani.

“Kok gitu?”

“Kemarin nilai ujian kamu jelek, dan kampus ngasih kebijakan perbaikan nilai dengan cara ngerjain tugas. Karena saya gak bawa laptop saya, saya bakal kasih tugas ke kamu langsung, dan kamu harus kerjain tugasnya di rumah saya. Paham?”

“Yes sir!”

Lalu keduanya tertawa setelah itu, dan saling merangkul sembari melanjutkan kembali perjalanannya menuju resort.