Hujan


Siang ini hujan turun tidak begitu deras, namun tetap membasahi hampir seluruh kawasan Puncak. Kirana dan Jiro memilih untuk berteduh di dalam mobil milik.

Satu hal yang menarik perhatian Jiro selama dia bersama Kirana adalah, bagaimana gadis itu terlihat begitu bahagia dengan turunnya, padahal beberapa makhluk di bumi sangat begitu membenci hujan, tapi Kirana, matanya tidak bisa berbohong kalau dia begitu mencintai hujan.

Di mata Jiro, Kirana terlihat begitu menggemaskan, bagaimana matanya yang berbincar, dan senyumannya yang tidak pernah luntur hanya karena sebuah partikel-partikel air yang mengendap di awan dan turun ke bumi. Saking menggemaskannya Kirana, Jiro sampai tertawa pelan.

Mungkin, Kirana mendengar suara tawa Jiro. Gadis itu seketika menoleh ke samping, untuk melihat Jiro yang sedang memperhatikannya sambil tertawa. Gadis itu bingung, mengapa Jiro tertawa, apa ada hal lucu yang dilakukannya secara tidak sengaja?

“Kok ketawa sih?” Kirana bertanya heran.

“Lo tuh suka hujan ya?” Jiro malah balik bertanya.

Kirana langsung mengangguk antusias disaat Jiro membahas tentang hujan,

“Kenapa?” Jiro bertanya, “maksudnya, semua orang di bumi ini nganggep kalau hujan itu semacem kayak musibah. Dan lo, bisa-bisanya lo suka hujan.”

Kirana tertawa. Ia tahu, terkadang orang-orang selalu menganggapnya aneh karena terlalu mencintai hujan. Tapi, faktanya, hujan selalu berhasil memberikan ketenangan kepada Kirana. Apalagi dikala anak itu sedang benar-benar kehilangan fokus, hujan lah yang membantu Kirana kembali tenang dan mulai bisa fokus akan sesuatu hal yang akan dia kerjakan,

“Mungkin bagi sebagian orang, hujan itu musibah, tapi bagi gue, hujan itu anugerah.” ucap Kirana, “dulu, waktu kecil, gue pernah dimarahin abis-abisan sama nyokap gue, karena gue gak sengaja rusakin taneman kesayangannya. Dan, karena didikan keluarga gue itu keras, especially mendiang kakek aku, gue jadi gak berani nangis. Gue selalu terbiasa nyembunyiin perasaan sedih gue waktu kecil, gue gak bisa nangis sama sekali waktu kecil, tapi di hari itu, gue gak bisa tahan semuanya. Gue rusakin taneman kesayangan nyokap, dan nyokap marahin gue sampai dia diemin gue. Lo bayangin hal itu terjadi sama gue pada saat umur gue baru lima tahun.”

“Hubungannya sama hujan apa?” celetuk Jiro.

Kirana tersenyum sebelum menjawab, “hari itu, hujan turun lumayan deras di daerah rumah gue. Gak tau deh, tapi otak kecil gue dulu itu mikir, kalau misalkan gue nangis di bawah hujan, pasti gak bakal keliatan kayak nangis, karena kan muka kita basah sama air. Nah, pas waktu itu tuh, gue langsung aja hujan-hujanan, sambil nangis. Tapi untuk malsuin itu semua, ya biar gak keliatan banget gue lagi nangisnya, gue sambil nari-narian di bawah hujan. Semua orang, mulai dari nenek, kakek, nyokap gue, bokap gue, taunya gue lagi seneng-seneng di bawah air hujan pas liat gue pada hari itu, padahal pada kenyataannya gue lagi luapin semua rasa sedih gue.”

“Lo gak perlu kayak gitu lagi.” pesan Jiro, “ada gue, kalau lo mau nangis, lo bisa nangis ke gue.”

“Hahahaha apaan sih!” tawa Kirana menggelegar, “ya itu kan dulu pas gue waktu kecil, gue udah berobat ke psikolog kok, dan yah, gue sekarang udah berani untuk nangis tanpa harus dibawah hujan. Tenang aja, gue udah sehat.”

Jiro tersenyum tipis. Tangannya terulur untuk menyentuh puncak kepala Kirana, entah untuk apa tujuannya,

“Eh iya, mau ujan-ujanan gak?”

“Hah?” bingung Jiro.

Melihat bagaimana Jiro yang kebingungan membuat Kirana hanya mampu tertawa geli. Gadis itu tanpa menjawab apa-apa, langsung melepaskan safety beltnya, dan turun dari mobil. Untuk beberapa saat Jiro terkejut, dia tidak tahu harus berbuat apa. Dirinya semakin terkejut tat kala melihat Kirana yang sudah berdiri di depan mobilnya sambil menari-nari. Gadis itu melihat ke arah Jiro yang masih terkejut di dalam sini, sambil tangannya terulur dan memberi kode seperti mengajak Jiro untuk keluar dan bergabung bersamanya.

Seolah dihipnotis, Jiro pada akhirnya mengikuti ajakan Kirana. Lelaki itu keluar dari dalam mobilnya, dan bergabung bersama Kirana. Mereka berdua saling menari di bawah hujan, sambil tertawa-tawa, melepaskan beban yang mungkin tengah mereka rasakan. Tidak perduli dengan beberapa orang yang lewat dan melihat mereka seperti orang aneh.

Yang jelas, hari ini, Jiro dan Kirana hanya ingin bahagia, tanpa perlu memikirkan orang lain.

Kirana terus menari dan tertawa. Tangannya ia rentangkan dan badannya memutar, kepalanya menenggak ke atas sambil berteriak. Sementara Jiro, pria itu hanya diam, sambil menatap Kirana, senyum manis terpatri di wajah Jiro, ikut merasakan euphoria kebahagiaan yang di dalam diri Kirana,

“Kiran.” panggil Jiro, Kirana berhenti dengan aktifitasnya, lalu ia menatap Jiro.

“Ya, kenapa?” sahut Kirana.

Tidak ada jawaban dari Jiro. Lelaki itu hanya melangkahkan kakinya sebanyak 2 langkah—agar tubuhnya dekat dengan Kirana. Lalu, tangannya ia gunakan untuk menangkup kedua pipi Kirana, dan sesuatu yang tidak pernah Kirana duga pun terjadi. Jiro, mencium bibirnya begitu saja.

Kirana terkejut? Jelas. Bukan main gadis itu terkejutnya. Tidak ada yang bisa Kirana lakukan. Ini adalah ciuman pertamanya, Kirana tidak tahu harus berbuat apa, selain itu, Kirana juga cukup terkejut karena Jiro begitu tiba-tiba melakukan hal seperti ini.

Namun, lama kelamaan, perasaan ingin membalas ciuman Jiro muncul di dalam hati Kirana. Dengan itu, dia memberanikan diri untuk membalas ciuman Jiro. Tangan gadis itu juga sudah dilingkarkan di leher Jiro.

Hari ini, hujan menjadi saksi akan cinta dua manusia ini.