Im so lucky to have you


Abimanyu's POV

Waktu SMA, gue bisa dibilang adalah laki-laki yang paling baik di sekolah. Gue selalu sopan sama semua orang, dan gue pun selalu menghargai mereka semua. Di SMA, gue punya satu pacar, namanya Rosa, dulu gue sayang banget sama dia, sangking sayangnya gue sampai membuat boundaries antara gue dan beberapa perempuan di sekolah gue. Itu semua gue lakukan demi untuk menghargai posisi Rosa sebagai pacar gue. Gue gak mau ngebuat dia sakit hati.

Hubungan gua dan Rosa pada akhirnya harus kandas, meskipun sekuat tenaga gua mencoba untuk mempertahankan dia, tapi dia tetap ingin lepas dari gua. Akhirnya, gak ada hal yang bisa gua lakukan selain mengikhlaskan dia pergi dari hidup gue. Selama kurang lebih dua bulan gue bertanya-tanya, apa salah dan kurang gue sampai Rosa mutusin gue, bahkan gue sampai sering menyalahkan diri sendiri atas perpisahan kami berdua. Karena memang, pada saat Rosa minta putus pun, dia gak bilang apa alasannya, dia cuman mengeluarkan kalimat mematikan, yaitu, aku mau putus. That's it.

Namun pada akhirnya gue tau alasan kenapa dia minta untuk mengakhiri hubungan ini. Itu karena dia selingkuh. Iya, selama dia pacaran sama gue, dia juga pacaran sama laki-laki lain di belakang gue. Saat itu perasaan gue campur aduk, gue marah, kecewa, sedih, kesel pokoknya jadi satu. Entah udah berapa banyak samsak tinju yang gue pake buat gue pukul-pukulin sampai beberapa dari samsak tinju itu jebol percis seperti adegan Captain America di film The Avengers. Gue bener-bener hancur pada saat itu.

Setelah gue mencoba untuk ikhlas dan menerima semua fakta menyakitkan itu, dan mencoba kembali hidup sebagai Abimanyu seperti biasanya, masalah yang sama pun kembali muncul. Tapi kali ini datangnya dari orang tua gue, lebih tepatnya nyokap gue. Iya, nyokap gue ketahuan selingkuh sampai sering check in hotel sama temen kuliahnya jaman dulu. Mengetahui fakta itu, gue langsung bener-bener benci sama nyokap gue, untuk sekedar ngeliat dia pun gue merasa jijik. Gak sampai disitu aja, satu bulan kemudian, ada seorang perempuan yang umurnya beberapa tahun dibawah gua, dateng ke rumah dan bilang kalau dia hamil, dan bokap gua adalah ayah dari bayi yang dikandung sama anak itu. Gue stress. Bener-bener stress.

Gue sampai gila memikirkan kedua orang tua gue yang bisa-bisanya jadi manusia paling bejat di seluruh dunia, disaat seharusnya mereka menjadi orang yang paling bijak dan selalu mengajarkan hal-hal yang baik ke gue sebagai anaknya.

Kedua orang tua gue selalu ribut di beberapa bulan sebelum mereka cerai. Semua barang di rumah habis mereka lempar-lemparin ke lantai, bahkan guci kesayangan nyokap gue yang beli di Paris pun sampai hancur karena kekesalan nyokap gue ke bokap gue. Suara teriakan dan lempar-lemparan barang udah menjadi makanan sehari-hari gue. Sampai di hari dimana mereka resmi cerai, mereka masih sering ribut di pengadilan dan bahkan saling menyalahkan. Sebagai anak gue merasa malu, padahal jelas mereka berdua sama-sama salah, tapi entah gimana ceritanya mereka bisa jadi sama-sama egois dan gak mau disalahkan atas hancurnya pernikahan mereka.

Kalau kalian pikir hidup gue tenang setelah kedua orang tua gue bercerai, kalian salah. Trauma-trauma selalu menghampiri gue, setiap malam gue gak pernah bisa tidur dengan tenang, dendam gue terus mengudara sampai gue berpikir kalau, gak ada manusia yang baik di dunia ini, semua manusia itu jahat dan punya kecenderungan untuk nyeleweng. Maka dari itu, gua berpikir, kenapa gua gak sama aja kayak nyokap dan bokap gue? Kenapa gue gak main-main aja sama perempuan diluaran sana, tidur sama mereka dan membuat mereka jadi pelacur gue dalam semalam.

Pada akhirnya, gue bener-bener berubah. Gue bukan lagi Abimanyu yang setia, gue bukan lagi Abimanyu yang selalu menghargai orang dan menjungjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Gue adalah Abimanyu yang doyan nyeleweng, gue adalah Abimanyu yang selalu merendahkan perempuan, gue adalah Abimanyu yang jahat, brengsek, dan bajingan percis seperti nyokap, bokap, dan mantan pacar gua, Rosa.

Masuk kuliah, kehidupan liar gue semakin parah, gue sempet nyoba narkoba, tapi untungnya Gilang dan Langit menyelematkan gue. Gue yang gak pernah berani nyentuh alkohol sama sekali pun mulai berani nyoba-nyoba mabok di semester satu. Perempuan-perempuan yang gua tidurin pun gak cuman dari kalangan kupu-kupu malam di club aja, tapi beberapa mahasiswi di fakultas gue pun semuanya udah pernah gue “rasain”.

Gue gak pernah menikmati kehidupan liar gua yang seperti ini. Setiap malam, gue selalu pergi ke luar, ngeliat bintang-bintang, dan minta ampun sama Tuhan atas segala dosa yang udah gua perbuat. Tak ayal, gua juga selalu menangis mengingat semua rasa sakit, trauma, dendam, dan juga perbuatan-perbuatan jahat yang gua lakukan. Satu waktu, gue pernah memohon sama Tuhan. Gue bilang ke Tuhan, kalau Dia masih sayang sama gua, dan masih menganggap bahwa gue adalah umat-Nya, coba tolong hadirkan perasaan cinta di hati gue.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya saat gue berada di semester 3. Tuhan menjawab doa gue. Dia mempertemukan gue dengan seorang perempuan cantik yang polos, yang sekarang jadi pacar gua. Kaynara Flora Arabelle. Pertemuan kita pada saat itu bisa dibilang cukup unik. Gue masih inget, waktu itu gue lagi butuh banget nyari buku untuk bahan tugas gue. Gue akhirnya memutuskan untuk datang ke perpustakaan kampus, akhirnya gue mengambil salah satu buku yang mau gue jadiin rujukan untuk tugas gue. Waktu gue ngambil bukunya, eh, ada kertas yang ikutan jatuh. Gue ambil kertas itu, dan pas gue buka di kertas itu ada tulisan kurang lebih seperti ini:

“Hallo, kalau ada yang mau kenalan, boleh hubungi nomor temen gue ini ya, namanya Kaynara, anaknya cantik banget, tapi sayang jomblo dari lahir. Ini nomornya 081321665779.”

Gue terkekeh kecil waktu baca surat itu, namun sedetik kemudian gue termangu dan berpikir, haruskah gue menghubungi nomor ini? Atau gue buang aja, karena mungkin ini cuman kerjaan orang iseng aja. Dan, pada akhirnya—setelah berpikir cukup lama, gue memutuskan untuk menghubungi nomor tersebut. Gue gak kebayang kalau seandainya gue gak ngehubungin nomor telfon itu, mungkin sekarang, yang jadi pacarnya Kaynara itu bukan gue, melainkan orang lain.

Gue cukup berterima kasih sama Tuhan, karena masih mau mendengarkan satu doa gue, dengan memberikan sosok Kaynara di hidup gue. Sosok perempuan paling sabar dan paling tegar yang pernah gue kenal. Dia adalah perempuan yang masih bertahan, meskipun sering kali gue bikin kecewa. Dia perempuan yang masih sudi membalas setiap kata cinta yang keluar dari mulut gue untuk dia. Dia perempuan yang masih membela gue, disaat semua orang memandang gue dengan sebelah mata. Dia Kaynara. Kaynara gue.

Dan keributan gue dengan Gilang di group chat beberapa jam yang lalu, cukup berhasil menyadarkan gue betapa brengseknya gue selama ini kepada Kaynara, pacar gue. Tapi, sialnya, setan di dalam diri gue enggak mau mengakui kalau gue salah, dan gue malah membenarkan sikap jahat gue ini dengan alasan semua kebrengsekan dan kebajinganan gua ini hadir karena trauma gue atas perceraian kedua orang tua gue,

“Abim, kamu dengerin aku cerita enggak? Kok daritadi diem aja?” suara kesal itu, selalu berhasil menghangatkan hati gue, dan menaikkan mood gue yang hancur.

“Aku gak denger, maaf.” gue melanjutkan kalimat gue, “pelukan kamu terlalu nyaman. Maaf ya.”

Oh iya, dan satu lagi, Kaynara adalah perempuan yang masih sudi memberikan pelukannya disaat badan gue sudsh sering disentuh oleh banyak perempuan diluaran sana,

“Ck.” gue tertawa kecil di dalam dekapannya saat mendengar Kaynara yang mendecakan lidahnya. Kesel dia, “lain kali aku gak mau cerita sama kamu ah, kamu gak pernah mau denger cerita aku.”

Bukan gak mau sayang. Tapi pelukan kamu yang bikin nyaman, bikin semua organ tubuh aku kayak gak berfungsi.

Gua melonggarkan pelukan ini, cuman biar gua bisa liat wajah cantiknya yang lagi kesal. Kalian harus tahu, Kaynara yang lagi kesal itu lucu banget, lebih lucu dari hal apapun yang lucu di dunia ini,

“Maaf ya.”

Perkataan maaf yang gue lontarkan kepada Kaynara ini maknanya luas. Gak cuman karena gue yang gak dengerin cerita dia yang panjang tadi, tapi untuk semua rasa sakit yang udah gue kasih ke dia. Semua kekecewaan yang udah gue kasih ke dia. Dan semua kehancuran yang udah gue kasih ke dia,

“Maaf untuk semua yang aku lakuin ke kamu.”

Gue yakin, kesedihan sekarang menghiasi wajah gue, karena jujur gue merasa mata gue memanas, bulir-bulir air mata berkumpul di pelupuk mata gue,

“Kamu kenapa?” suara Kaynara menjadi lembut dan rendah, gue bisa ngerasain lembutnya sentuhan tangan dia di pipi gue. Hal tersebut ngebuat air mata yang gue tahan agar nggak keluar, malah mengaliri pipi gue gitu aja tanpa seizin gue.

“Ya ampun, Abim, ini kamu kenapa nangis, Bim.” Kaynara khawatir. Disaat gue yang udah hancurin perasaannya, dia masih khawatir dengan gue yang nangis kayak begini di depan dia.

“Jangan tinggalin aku, Kay.” lirih gue, suara gue tercekat. Seketika gue bisa merasakan semua kesakitan yang Kaynara rasakan.

Gue lihat Kaynara yang menggelengkan kepalanya, matanya yang menatap gue dengan tulus dan penuh kekhawatiran. Bibirnya yang tersenyum menenangkan. Betapa sempurnanya pacar gue ini,

“Aku gak akan pernah pergi dari hidup kamu, sebelum kamu yang minta aku untuk pergi dari hidup kamu.” ucap Kaynara.

Cuman orang bodoh yang pingin kamu pergi, Kaynara. Aku gak bakalan pernah mau hidup kalau kamu pergi dari kehidupan aku. Kamu jantungku, Kaynara, kamu separuh nafasku. Apa jadinya aku kalau tanpa kamu?

“I love you.”

“I know.”

Kami kembali lagi berpelukan. Gue menangis dengan begitu kencang di pelukan Kaynara, sambil merapalkan kata-kata “maaf”, Kaynara sama sekali gak mengeluarkan suaranya, yang dia lakukan cuman membalas pelukan gue dan mengelus-elus punggung gue.

Hanya dengan cara ini, dia berhasil membuat gue tenang.

Gue gak bisa bayangin kalau suatu saat Kaynara pergi. Apa gue bisa hidup tanpa dia?