Is it too early to say i love you?


Malam semakin larut, keadaan kelab musik bukannya semakin sepi malah semakin ramai. Dentuman musik juga terdengar semakin keras, banyak dari beberapa orang yang turun ke lantai dansa, entah itu untuk berjoget ria atau bercumbu bersama pasangan atau partner senang-senang mereka.

Lalu bagaimana dengan Rangga dan Rania?

Mereka berdua pergi melipir ke tempat yang lebih mewah dan nyaman, yaitu apartement yang berada di sekitaran kelab malam ini. Mereka ingin mendapatkan ketenangan dan kenyamanan untuk mengobrol bersama, karena kalau tetap stay di kelab malam, mungkin tenggorokan mereka akan sakit keesokan harinya, karena harus berbicara sambil teriak.

Ah, untuk Johnny dan Shaqilla. Dua pasangan itu sudah pergi dari beberapa menit yang lalu, menuju apartement Shaqilla. Sepertinya mereka berdua lebih memilih untuk menghabiskan waktu berdua di apartement mereka, agar lebih intim dibandingkan di kelab malam seperti ini.

Malam ini, Raina duduk di pinggiran ranjang bersama dengan seorang lelaki asing yang baru berkenalan dengannya 4 jam yang lalu, dengan keadaan kepala keduanya yang sedikit pusing akibat mengkonsumsi alkohol dengan tingkat toleransi alkohol di dalam minumannya yang rendah, jadi cukup bisa membuat mereka tetap sadar meskipun sedikit tipsy,

“Kamu dateng ke kelab tadi, karena stress lagi banyak masalah atau sengaja iseng dateng aja? Its not your first time, right?

Raina mengangguk, “aku udah sering kesini sih, om, sama Qilla.” jawab Raina.

Rangga mendecakkan lidahnya sebal. Apakah mukanya terlihat setua itu sehingga Raina memanggilnya dengan sebutan om? Padahal umur Rangga kan baru menginjak angka 27 tahun, belum 30 seperti Johnny,

“Rein, panggil nama aja jangan pakai embel embel om segala. Saya baru dua puluh tujuh tahun loh.” pinta Rangga memelas.

“Eh????? Kirain seumuran sama Om Johnny.”

Nooooo, dia tuh yang udah tua dan cocok di panggil om, kalau saya jangan, saya masih muda dan gak ikhlas kalau dipanggil om.”

Tawa renyah nan manis keluar dari dalam mulut Raina tat kala ia mendengar pernyataan Rangga barusan. Tawa itu benar-benar menghipnotis Rangga, bagaimana bisa seseorang membuat Rangga semakin jatuh cinta hanya karena tawanya? Raina benar-benar perempuan spesial,

“Ok, so, kamu kesini itu karena apa? Itu pertanyaan belum kamu jawab loh.”

“Oh sorry, my bad.” Raina melanjutkan ucapannya, “aku dateng kesini karena emang mau cari hiburan aja sih, plus aku juga baru putus dari pacar aku.”

Wajah tampan Rangga seketika berubah menjadi berseri-seri saat mendengar akhir kalimat Raina barusan,

“Wah, bagus dong kalau gitu.”

“Bagus apanya?” heran Raina.

“Ya bagus, aku jadi ada kesempatan buat deketin kamu.”

Raina tertawa pelan, sambil menyelipkan sisi rambutnya ke telinga, “apaan sih.” ucap gadis itu yang kini tengah dilanda perasaan salah tingkah.

“Loh serius? Kalau ada cewe secantik kamu, apalagi jomblo, daripada dianggurin mending dideketin kan?”

Lagi lagi, Raina tertawa. Ia menunduk malu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu sepersekian detik, ia kembali mengangkat kepalanya dan menatap Rangga,

“Kamu ini ya, gombal banget deh seriusan. Udah tua juga.” ejek Raina. Ia sedang mencoba untuk menyembunyikan perasaan salah tingkahnya dihadapan Rangga.

“First of all, gombal tidak mengenal usia, kakek kakek yang nafasnya tinggal dua garis juga bisa gombal mah. Second of all, im not that old.” ucap Rangga sambil nadanya membentuk sebuah penegasan di kalimat terakhirnya.

“Tapi gak apa-apa, aku juga suka kok yang lebih tua dari aku. Soalnya lebih berpengalaman, dalam segala hal.” ucap Raina sambil menatap lurus mata Rangga, dengan memasang ekspresi yang serius namun terlihat begitu seduktif bagi Rangga.

Rangga pun begitu, ia mulai menunjukan wajah serius dan seduktifnya. Matanya menatap balik mata Raina seperti seorang raja hutan yang siap kapan saja menerkam mangsanya.

Suasana diantara keduanya malam ini semakin panas. Apalagi ketika Rangga mulai mendekatkan dirinya ke Raina. Sebetulnya, nafas Raina hampir tercekat ketika Rangga perlahan-lahan mulai mendekatkan diri kepada dirinya, namun, karena nafsu sudah begitu menyelimuti Raina, gadis itu membiarkan Rangga mendekat tubuhnya bahkan mencium bibirnya.

Benda tidak bertulang yang sekarang sedang mencumbu bibir Raina itu benar-benar memabukkan. Raina menggila hanya karena ciuman yang Rangga berikan kepadanya. He such a good kisser. Dengan percaga diri, Raina kemudian membalas cumbuan Rangga. Awalnya ciuman itu hanya berupa kecupan dan sedikit lumatan, namun masih terasa lembut. Tapi lama kelamaan, ciuman itu berubah menjadi sebuah lumatan yang panas, dan terkesan sedikit kasar. Nafsu dan cinta seperti menjadi kombinasi yang pas di dalam permainan bibir Rangga dan Raina malam ini.

Melumat.

Menggigit.

Bermain lidah.

Semuanya Rangga lakukan kepada Raina, begitu pun sebaliknya.

Sepersekian detik, Raina sudah duduk di paha Rangga. Dengan mulutnya yang masih bermain dengan milik Rangga. Tangan Rangga tidak hanya berada di pinggang ramping Raina sekarang, namun sudah menjalar kemana-mana. Bahkan sampai menyentuh bokong Raina, namun Raina tidak mempermasalahkan hal tersebut. Toh, gadis itu juga menyukainya.

Raina juga melakukan hal yang sama kepada Rangga. Tangannya tidak tinggal diam, ia berani untuk mengelus-elus paha bagian dalam Rangga, membuat libido lelaki itu semakin membuncah. Raina juga bisa merasakan milik Rangga yang begitu besar disana sudah membengkak meminta untuk segera dimanjakan oleh tangan, mulut, ataupun lubang kenikmatan milik Raina.

Rangga sudah tidak tahan lagi. Ia lepas pagutannya dengan Raina. Dengan nafas yang memburu, dan tatapan mata yang penuh akan nafsu, Rangga menatap Raina dengan begitu intens. Raina balas menatap Rangga dengan wajah terangsang dan mata sayunya yang semakin membuat Rangga hilang akal dan berani melakukan hal yang lebih gila dari ini tanpa menunggu persetujuan Raina (kalau saja teknik mengontrol nafsu di dalam dirinya sangat buruk),

“Rein, kalau kamu gak mau bilang, saya gak bakalan maksa kamu.” suara Rangga terdengar begitu rendah, membuat Raina semakin ingin berbuat lebih dengan Rangga.

“Gitu ya?” Raina melirik ke pemilikan Rangga, lalu tangannya ia arahkan kesana dan membuatkan gerakkan mengelus dengan begitu halus milik Rangga yang sudah menegang, sambil matanya menatap wajah Rangga yang sudah memerah menahan libidonya, “udah gini loh, nyelesainnya gimana? Mau sendiri di toilet, hm?”

*“Sialan, gue kalau diginiin bisa out of control. Please, jangan tease gue kayak gini, Raina, im begging you.“*

Rangga berteriak frustasi di dalam hatinya.

Pikiran Rangga masih bimbang, antara ia mau melakukan ini dengan Raina, atau malah dia memilih untuk menyelesaikannya sendiri, karena kalau dia melakukannya dengan Raina, dia takut malah akan membuat Raina kesakitan keesokan harinya. Tapi, Raina juga berbahaya, gadis itu terus menggodanya, seperti seolah-olah gadis itu tidak memiliki perasaan takut sama sekali.

Dan, pada akhirnya, Rangga memilih untuk melakukannya bersama Raina. Ia benar-benar tidak tahan, dan rasanya untuk menyelesaikan sendiri pun, ia tidak akan pernah merasa puas, ia butuh Raina. Sangat membutuhkan Raina.

Maka, malam ini menjadi malam yang begitu panjang bagi Raina dan juga Rangga.

Cinta mereka langsung tumbuh meskipun pertemuan mereka bisa dibilang singkat. Malah amat singkat,

“Is it too early to say, i love you, Raina?”

Raina tertawa. Ia menggelengkan kepalanya. Sambil jari-jarinya mengelus pelipis Rangga,

“No, because i feel the same too. I love you so much, Rangga.”