Jadira and Jani
“Kamu tuh mau sampai kapan sih kayak gini terus?” tanya Jadira—kakak dari Jani dengan nada berang sembari menatap sang adik yang tengah terduduk di sofa dengan tatapan pasrah.
Jani tidak bergeming di tempatnya. Ia hanya duduk sembari menunduk dan menautkan jari-jarinya, menyalurkan perasaan waswas dan juga kesal yang bersamaan,
“Kerjaan kamu cuman party party gak jelas. Untuk apa mendiang papa sama mama nguliahin kamu, kalau setelah lulus aja kamu bukannya kerja, malah asyik ngabisin uang.” kekesalan dan kemarahan itu masih berlanjut.
“Kak, aku juga party pakai uang aku sendiri kok. Dan yang tadi kebetulan aku gak ngeluarin sepeser uangpun karena itu gratis. Kenapa sih kakak selalu kayak gini ke aku?”
Sang puan yang sedari tadi hanya diam sembari mengumpulkan nyalinya, pada akhirnya bersuara, mengutarakan kekesalannya yang terpatri di dalam sanubarinya. Kesal bukan main Jani, ketika umurnya yang sudah dua puluh tiga tahun, tapi kakaknya masih selalu memperlakukannya layaknya seorang anak kecil berumur 3 tahun,
“Kamu pakai uang sendiri pun itu ada uang kakak yang kakak masukin ke m-banking kamu.”
“Aku gak pernah minta!” geram Jani, dia merasa tersinggung dengan ucapan kakaknya barusan, seolah-olah dirinya tidak mampu untuk membiayai hidupnya sendiri.
“Kakak gak pernah sejahat itu untuk ngebiarin kamu hidup tanpa uang.” balas Jadira tidak mau kalah.
“Kak.” Jani menghembuskan nafasnya kasar, dirinya lelah akan pertengkaran yang tidak pernah ada ujungnya ini, “kakak kenapa selalu nganggep aku kayak manusia yang paling gak bisa berbuat apa-apa? Kenapa? Apa karena aku adiknya kamu, iya? Atau karena kamu udah mapan, udah menikah, jadi kamu merasa superior untuk bikin aku rendah? Atau karena setelah kepergian papa sama mama, dan papa sama mama nitipin aku ke kakak, jadi kakak gunain kesempatan itu untuk bales dendam sama aku, gitu?”
Emosi Jadira semakin menjadi-jadi, dia memandangi wajah cantik sang adik yang penuh dengan riasan make up itu dengan berang. Bagaimana bisa adiknya berbicara sejahat itu kenapa Jadira, disaat Jadira sendiri seperti ini karena ingin melindungi adiknya, dan karena dia sangat menyayangi Jani.
Untung, Jadira memiliki Chandra—suaminya—yang menguatkan Jadira untuk tetap sabar menghadapi Jani yang mungkin memang di umurnya yang masih terbilang muda sedang merasa labil dan belum menemukan jati diri yang sesungguhnya. Terkadang, sebagai seorang yang paling tua, Jadira harus memahami Jani terlebih dahulu, sebelum Jani memahaminya,
“Kamu ada hati bilang gitu ke kakak?” tanya Jadira yang kini sudah bisa mengontrol emosinya, “kakak sama Kak Chandra kerja dari pagi sampai malem itu buat siapa? Ya buat kamu! Kenapa kakak memperlakukan kamu kayak gini itu karena kakak sayang sama kamu, kakak gak mau kamu menjadi lebih buruk dari kakak di masa lalu. Kakak gak pernah bales dendam karena papa sama mama lebih sayang kamu, lebih perduli sama kamu, itu hal yang wajar yang dilakuin orang tua ke anak bungsunya, kakak gak pernah merasa cemburu sama kamu. Apa kamu gak bisa nurut kata-kata kakak sekali aja?”
Jani terdiam.
Muncul rasa bersalah di dalam dirinya karena sudah menuduh sang kakak yang tidak-tidak. Namun, perasaan geram lebih mendominasi dalam hatinya, jadi, Jani tidak akan meminta maaf dan dia akan tetap melawan dan bersikap seolah-olah kakaknya lah yang salah disini,
“Kakak mau apa dari aku?” tanya Jani dengan nada ketus.
Jadira menghembuskan nafasnya, “kakak mau kamu kerja.” jawab Jadira dengan yakin.
“Kerja dimana? Di perusahaan papa? Atau perusahaan Kak Chandra?” Jani melanjutkan kalimatnya, “kak, kakak tahu prinsip aku dari dulu, aku gak mau kerja untuk orang lain, aku mau kerja untuk diri aku sendiri. Aku selama ini buka usaha thrifting baju, dan hasilnya pun lumayan untuk aku jajan.”
“Kamu itu kuliah hukum, kakak pingin kamu kerja sesuai dengan jurusan kamu. Kakak pingin kamu kerja di perusahaan papa, jadi legal adviser.” desak Jadira.
“Aku gak mau!” ungkap Jani, sembari berdiri dari duduknya dengan memasang raut wajah jengah, sang kakak hendak berbicara namun Jani keburu memotongnya, “kalau kamu lupa, papa sama mama selalu bilang agar supaya kita gak maksa seseorang untuk lakuin apa yang kita suruh, so, please, stop forcing me to do something i don't want to do. Aku harap kakak ngerti.”
Kemudian setelah itu, Jani melenggang pergi menuju kamarnya di lantai atas, Jadira berteriak memanggil nama Jani untuk berhenti dan kembali duduk karena masih banyak hal yang ingin Jadira sampaikan kepada adiknya itu. Namun seolah tuli, Jani tetap terus melanjutkan langkah kakinya menaiki anak tangga.
Jadira menghembuskan nafasnya kasar. Matanya terlihat lelah dan berkaca-kaca, Chandra—sang suami yang sedia mendampingi istrinya yang tengah hamil satu bulan itu, merangkul tubuh rapuh Jadira, memberinya kecupan di puncak kepalanya, dan membiarkan Jadira menangis sembari mengeluarkan keluh kesahnya yang selama ini ia tahan sebagai kakak sekaligus orang tua tunggal bagi Jani,
“Aku cuman pingin yang terbaik buat dia mas, apa aku salah?” lirih Jadira.
Chandra menggeleng, “kamu gak salah, kamu udah ngelakuin hal yang bener. Mungkin, Jani masih gak bisa untuk berkomitmen kerja di suatu perusahaan, punya jabatan, atau apapun itu yang berat bagi dia. Dia masih butuh ruang untuk diri dia menjadi bebas, party kesana kesini.”
Jadira menjauhkan dirinya dari rengkuhan Chandra dan menatap wajah suaminya itu dengan matanya yang basah akibat air mata,
“Aku gak bisa kayak gini terus. Aku harus jalanin salah satu wasiat papa sama mama.”
Chandra tahu wasiat terakhir dari kedua orang tua istrinya itu. Dan sejujurnya dia tidak yakin apakah Jani akan mau menjalankan ini atau tidak,
“Sayang.” suara Chandra melembut, tangannya ia gunakan untuk membelai pipi Jadira, “disuruh kerja aja dia gak mau, apalagi kalau yang ini.”
“Aku gak perduli mas, aku akan tetep jodohin dia sama Jefri, anak temennya papa sama mama.” keukeuh Jadira.
Kalau sudah seperti ini, Chandra tidak bisa berbuat apa-apa. Karena posisi Chandra di keluarga ini hanya sebagai suami Jadira, dan kakak ipar Jani, dia tidak memiliki kewenangan lebih untuk ikut campur dalam urusan wasiat kedua orang tua Jadira dan Jani.