Jemput
Suara bell yang berasal dari pintu rumah Maura, menggema ke seluruh ruangan. Maura, yang sudah selesai sarapan di meja makan bareng sama kedua orang tuanya, langsung kebingungan. Gak cuman Maura, kedua orang tuanya Maura pun ikutan bingung,
“Siapa ya kok pagi-pagi sekali?” ibunya Maura nanya ke dirinya sendiri.
“Sebentar bu, Maura yang buka.”
Gadis dengan rambut panjang lurus berwarna hitam legam itu lantas berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Entah mengapa perasaannya sanga amat tidak enak. Dan benar aja, waktu pintu dibuka, ada Jenar yang berdiri disana.
Maura jelas langsung kaget. Dia buru-buru ngeliat ke belakang, mastiin kalau ayah atau ibunya gak nyusul. Setelah itu, Maura ngelangkahin satu langkah kakinya keluar, dan ditutupnya pintu rumah itu oleh Maura,
“Hai.” sapa Jenar dengan senyuman nakalnya, yang, ya Maura akuin sih cukup karismatik ya, tapi tetep aja, Maura takut liatnya.
“Tau rumah aku darimana kak?” Maura nanya dengan suara yang hampir pelan, kayak setengah bisik-bisik gitu.
“Laki-laki harus tau semua, apalagi urusan perempuan.” jawab Jenar dengan santainya, “kita ke kampus bareng yuk?”
“Enggak, jawab dulu, tau darimana alamat rumah aku.” desak Maura.
Jenar enggak ngejawab, dia cuman ketawa pelan doang, dan itu makin bikin Maura sebel, tapi dia juga nggak bisa marah. Jenar kakak tingkatnya, takut aja ini cowok mulutnya ember dan ngespill ke satu angkatan kalau Maura itu bukan adek tingkat yang sopan.
Tiba-tiba pintu rumah dibuka. Maura yang kaget langsung noleh ke belakang, dan dia ngeliat kedua orang tuanya udah berdiri disana. Cewek itu menghela nafasnya gelisah, beda sama Jenar yang kayaknya tenang-tenang aja. Dia malah mamerin senyumannya ke ayah sama ibunya Maura,
“Loh ini siapa Ra? Temen?” ayah bertanya sambil ngelirik anak perempuan satu-satunya itu.
“Saya kakak tingkatnya Maura, om.” itu yang ngejawab jelas-jelas bukan Maura ya, tapi Jenar.
Ayah senyum senang, “oh kakak tingkatnya, Maura. Mau jemput Maura ya?” laki-laki diumur sekitar 49 tahunan itu nanyanya ramah banget.
“Iya nih om.” jawab Jenar sambil ngelirik Maura yang daritadi cuman diem sambil masang ekspresi muka bingung yang lucu.
“Oh ya udah kalah gitu, Maura, berangkat ya sayang, kasian kakak tingkatnya nungguin.” sang ibu pun yang daritadi cuma senyam senyum merhatiin gerak-gerik anak perempuannya buka suara.
“Bu tapi kan makanannya Maura belom abis.” rengek Maura.
“Aduh kamu ini lupa ya? Itu di piring kamu aja tinggal sisa kerupuk itu pun kan kamu gak suka kerupuk sayang.”
Aduh bego banget gue.
“Sudah sayang, berangkat aja sama, siapa namanya?” kali ini ayah nyoba buat maksa-maksa Maura.
“Jenar om.”
“Nah, tuh sama Jenar aja, ayah juga kan gak bisa ke kampus kamu dulu soalnya mau ada rapat di kantor. Nggak bisa telat.”
Ya udah, kalau udah kayak gini, Maura mau nolak juga bingung. Apalagi orang tuanya kayak maksa-maksa banget. Makin-makin deh itu anak gak bisa nolak kemauan Jenar,
“Ya udah, Maura ambil tas dulu.” ucapnya dengan amat sangat terpaksa lahir dan batin.
Kaki kecil itu ngelangkah masuk ke dalam rumah untuk ngambil tas ngampusnya. Enggak lama kok, kayak dua menit kemudian pun dia udah kembali gabung lagi di luar sama orang tuanya dan juga si ngeselin, Jenar,
“Ibu, ayah, Maura pergi dulu ya.” pamit Maura sambil menyalami kedua orang tuanya.
Ayah dan ibu Maura menyambut dengan hangat salaman anak perempuannya itu.
Tidak bisa dipungkiri, ada rasa iri yang tertanam di dalam diri Jenar ketika melihat interaksi Maura dengan kedua orang tuanya,
“Om, tante, Jenar permisi dulu.” Jenar juga ikut berpamitan, dia menyalami kedua orang tua Maura.
Itu adalah yang pertama kalinya bagi Jenar menyalami orang tua, setelah dia resmi kehilangan sang ayah yang harus mendekam di penjara akibat tindak kejahatan pidana yang dilakukannya, dan ibunya yang sudah menyatu dengan tanah,
“Iya, kalian hati-hati ya? Jenar, bawa mobilnya yang bener ya, jalanan licin abis ujan kemarin soalnya.” wanti wanti sang ayah.
“Siap laksanakan om!”
Ayah sama ibunya Maura ketawa pelan, Jenar juga ikut ketawa, sementara Maura diem aja,
“Ya udah kalau gitu, yuk Maura? Kita pergi ke kampus, nanti kamu telat lagi.” ajak Jenar.
Sialan, ngapain juga ubah-ubah panggilan jadi aku kamuan di depan bonyok gue?
Maura dengan terpaksa mengangguk pelan.
Setelahnya, keduanya berjalan keluar dari rumah menuju mobil milik Jenar yang terparkir di depan gerbang rumah. Mereka berdua masuk ke dalam tanpa ada yang memulai percakapan, bahkan sampai mobil jalan pun, tidak ada yang mengucapkan apa-apa.
Maura sibuk menetralisir perasaan takutnya, dan Jenar juga sibuk diam-diam mencuri-curi pandang kepada Maura.