JENDRAL DAN ALICE


Kalau boleh jujur, Alice itu cantik, sangat cantik. Banyak laki-laki yang rela berperang untuk mendapatkan hatinya. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Jerhan. Secantik apapun Alice, dimata lelaki itu, Alice tetaplah Alice yang biasa-biasa saja. Tidak cantik, tidak juga jelek. Silahkan panggil Jerhan arogan, sok ganteng, atau apapun itu, tapi, yang pasti setiap orang memiliki pandangan tersendiri kan terhadap orang lain?

Ditambah lagi dengan sifat Alice yang arogan, dan selalu merasa bahwa dia lah yang paling berkuasa di kota Paris ini, semakin membuat Jerhan muak. Dia tahu, bagaimana Alice begitu mengejarnya, hingga gadis mendapatkan julukan Jerhan hunter dari beberapa teman di kampusnya. Jerhan juga tahu alasan dibalik kenapa gadis itu sangat ingin menjadi kekasih Jerhan, ialah karena, Alice hanya ingin harta Jerhan.

Jangan salah, Jerhan memiliki banyak mata-mata di kampus ini. Dan, tiga bulan yang lalu, ada seseorang yang memberikan rekaman suara antara Alice dan temannya dalam bahasa Perancis. Rekaman itu menyebutkan bahwa Alice tidak benar-benar mencintai Jerhan, dia hanya mencintai harta Jerhan, karena Jerhan merupakan anak dari salah satu konglomerat Indonesia yang memang sudah terkenal di kancah luar negeri.

Dari situ, Jerhan semakin tidak menyukai Alice. Segala sifat maupun fisiknya yang selalu dielukan-elukan manusia bernama laki-laki di kampusnya. Jerhan tidak menyukainya,

“Apaan?”

Jerhan bertanya dengan nada yang begitu tidak ramah ketika dirinya berdiri dihadapan Alice. Sementara gadis itu, menunjukkan senyuman lebarnya yang membuat Jerhan malas bahkan hanya untuk melihatnya,

“Nih.” katanya memberikan sebuah kartu undangan berwarna merah muda pastel kepada Jerhan.

Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya, lalu menerima kartu undangan tersebut, membolak-balikannya untuk mengamati kartu undangan tersebut,

“Kayak bocah, ulang tahun aja mesti dirayain segala.” Jenar berucap sarkastik setelah dirinya mengamati kartu undangan tersebut.

Alice berdecak sebal, “mumpung aku masih muda, kalau aku nanti udah dewasa, terus udah nikah, gak mungkin kan aku bikin party kayak begini, pastinya aku bakal lebih fokus sama anak aku dan suami aku.” katanya, matanya mengerling menatap Jerhan yang membuat lelaki itu mual dibuatnya.

“Ya udah thanks ya.”

Jerhan berujar dengan jutek. Lelaki itu hendak berbalik dan pergi meninggalkan Alice, namun, tangan kecil Alice keburu menahan tangan Jerhan, membuat lelaki itu terpaksa menghentikan langkahnya dan kembali berbalik untuk menatap Alice,

“Lepasin ga.”

Jefran bersuara dengan tegas, sambil matanya melirik tajam tangan dan juga mata Alice secara bergantian. Karena takut, Alice pun buru-buru melepaskan genggaman tangannya dari Jefran,

“Sorry, aku cuma mau bilang, kalau misalkan besok, jas kamu harus warna putih ya? Disesuain sama gaun aku soalnya.”

“Maksud lo?”

“Masa kamu enggak paham sih? Ya kamu besok dateng jadi pendamping aku di acara itu.”

Jerhan tertawa sekeras mungkin, setelah dirinya mendengarkan omong kosong Alice. Sementara Alice hanya diam, sambil mengamati Jerhan yang sedang tertawa dengan ekspresi bingungnya,

“Eh aduh sumpah, lo tuh lucu banget ya gila.” kata Jerhan di sela-sela tawanya. Senyuman Alice merekah tat kala Jerhan bilang bahwa Alice itu lucu, “gini gini, ngapain besok gue harus jadi pendamping lo? Emang lo anak TK yang ngerayain ulang tahun di KFC atau MCD harus pakai pendamping segala?”

Senyuman bahagia itu seketika hilang dari wajah cantik Alice,

“Aduh, lagian juga besok gue mau dateng sama orang lain.”

“Kamu gak boleh dateng sama orang lain! Kamu harus jadi pendamping aku!” pinta Alice memaksa.

Jerhan tertawa sarkastik, “gue kadang kasian sama si Jendral cowok asli lu, dia yang jelas-jelas pacar lu aja nggak lu anggap, bahkan gak lu ajak jadi pendamping di acara ulang tahun lu. Jangan gitu, Lis, lo udah terlalu banyak dosa, mau nambah dosa lagi lu dengan nyakitin hati laki-laki?”

Tubuh Alice menegang,

“Kamu…”

Jerhan tersenyum sambil mengangkat alisnya,

“Yup, i know everything, Alice. Makanya, udah stop ngejar-ngejar gue ya—”

“Enggak. Itu gak kayak yang kamu pikirin Han, aku nggak ada apa-apa sama Jendral.”

“Gue gak perduli, Lis, demi Tuhan gue gak perduli mau lu ada apa-apa atau kagak sama Jendral. I don't give a fuck, cuman seharusnya, kalau udah begini lo tuh sadar, kalau yang patut ngedampingin lo di birthday party lo itu ya kalau gak orang tua lo, si Jendral, karena dia cowok lo. Bukan gue.”

Alice hanya terdiam. Perasaan malu menggerogotinya, ia tidak bisa berkutik lagi sekarang,

“Udah ya? Oh iya, for your information, sebenernya gue juga udah punya cewek, thats why gue selalu reject lo, karena gue bukan lo yang meskipun udah punya cowo, tapi masih aja gatel sana sini.” Jerhan melanjutkan kembali ucapannya, “Kartini liat lo bakalan malu banget. Jadi cewek tapi enggak punya harga diri.”

Setelah berkata seperti itu, Jerhan pergi meninggalkan Alice yang masih terdiam di tempatnya, dengan kedua tangan yang ia kepalkan, muka yang memerah, dan mata yang berkaca-kaca.

Semenit kemudian, Alice melangkahkan kakinya dengan penuh rasa amarah, meninggalkan koridor kampus, untuk pulang ke apartementnya, karena kebetulan hari ini, kelasnya sudah selesai.


“Woi Jendral!”

Jerhan berteriak kepada Jendral yang sedang duduk di kursi panjang di sekitaran kampus sambil berjalan mendekat ke arahnya,

“Eh bang.” Jendral balas menyahut sapaan Jerhan dengan begitu ramah.

Jendral tersenyum, ia menepuk pundak Jendral, lalu duduk di samping pria itu,

“Ngapain lu disini? Gak bareng sama si Alice?” pertanyaan Jerhan barusan cukup berhasil membuat Jendral memberikan reaksi yang sama seperti yang Alice berikan. Terkejut dan tubuhnya menegang.

Jerhan tertawa melihat reaksi Jendral. Ia kembali menepuk bahu juniornya itu,

“Santai udah santai sama gua mah, lu gak bakalan gua tonjok kok tenang. Gua gak demen yang modelan Alice, lagian gue udah punya calon.”

Jendral meringis,

“Mantep bang udah ada calon, orang Indonesia apa orang sini?”

“Indo.” jawab Jerhan, “namanya Kanaya, cantik banget anaknya.”

Jendral terdiam begitu mendengar Jerhan menyebutkan nama Kanaya. Ia teringat akan mantan kekasihnya yang sekarang entah bagaimana kabarnya dan dimana keberadaannya. Wajahnya berubah menjadi muram.

Jerhan yang sadar akan hal tersebut, langsung bertanya, walaupun dia sudah tahu alasan kenapa Jendral memasang raut wajah seperti itu,

“Kenapa lu? Sedih amat kayaknya, banyak cicilan di Paris?”

Jendral tertawa pelan,

“Bukan bang, cuman lagi keingetan seseorang aja.” jawab Jendral, “mantan gua sih, dia baru nyampe di Paris kemarin, gue gak tau dia dimana sekarang.”

“Gak coba lu tanya?”

Jendral menggelengkan kepalanya, “malu bang gue nanyanya, dia anaknya baik banget, lembut, dan gue udah terlalu gila nyakitin hatinya, gue rasa gue gak pantes, bahkan untuk ngechat dia.” jawab Jendral.

“Namanya siapa?”

“Kanaya.” jawab Jendral, Jerhan memperhatikan mata pria disampingnya itu. Ketika Jendral menyebutkan nama Kanaya, matanya terlihat begitu hidup.

Jerhan buru-buru sadar dari lamunan observasinya itu, dan langsung tertawa untuk mencairkan suasana, dan kegundahan di hatinya,

“Namanya sama kayak calon gue.” kata Jerhan, “gue minta maaf nih kalau misalkan tiba-tiba calon gue sama mantan lu ternyata orang yang sama.”

Jendral menggelengkan kepalanya sambil tertawa,

“Gak apa-apa kali bang, kalau pun iya, gue rasa lo laki-laki yang pantes untuk dia.”

Emang, brengsek. gumam Jerhan dalam hatinya,

“Eh iya, lu besok mau dateng ke birthday party cewek lu kagak?” tanya Jerhan mencoba untuk mengganti topik pembicaraan.

Jendral diam sebentar, lalu tidak lama ia menjawab dengan sebuah gelengan kepala,

“Lah kenapa?” heran Jerhan.

“Dia gak ngundang gua.” jawab Jendral, “gak tau deh bang kenapa, tapi ya gue juga gak terlalu suka pesta pesta kayak gitu, lebih enak diem di rumah sambil ngegames atau tidur aja udah.”

“Lah, kaga bisa gitu dong.” Jerhan melanjutkan, “lu itu pacaranya bro, lu kalau kagak dateng namanya goblog. Dengerin gue, si Alice ini lagi main-main sama harga diri lu sebagai seorang laki-laki, lu mau dimainin kayak gini? Come on, jangan malu-maluin orang Indonesia dong elah. Lu besok pokoknya harus dateng.”

“Iya bang siap.” ucap Jendral sambil tertawa kecil.

“Sekalian gue mau kenalin calon gue ke lu, Alice, sama temen-temen yang nanti dateng ke birthday partynya Alice.”

Jendral mengangguk.

Setiap kali Jerhan menyebutkan nama Kanaya, perasaan Jendral menjadi campur aduk. Siapapun yang bisa melihat mata Jendral setiap kali Jerhan menyebutkan nama Kanaya, pasti akan melihat ribuan perasaan rindu yang begitu besar dan tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata,

“Ya udah kalau gitu gue cabut dulu ya, masih ada urusan di dalem.”

Jendral mengacungkan jempolnya, “siap bang.”

Setelah itu kedua laki-laki tersebut bersalaman ala laki-laki, dan Jerhan pun pergi meninggalkan Jendral sendirian di tempat duduknya.