Jihan and Julian's Office


“Sumpah, aku gak nyangka banget, temennya Pak Julian ganteng banget ya? Katanya dia CEO, dan dia anak dari orang paling kaya nomor satu se Indonesia dan nomor lima se dunia. Beruntung ga sih yang bakal jadi istrinya dia nanti?”

Jihan yang baru saja mau keluar dari bilik toilet memilih untuk mengurungkan niatnya dan mendengar dua karyawan yang sedang menggosip di luar sana,

“Kalau aku yang jadi istrinya dia, aku pingin nikah dengan tema ala-ala Rachel Venya atau bahkan lebih dari Rachel Venya juga gak apa-apa. Yang penting nikahnya sama orang terkaya se Indonesia.”

Jihan tahu betul siapa orang yang sedang dua perempuan itu bicarakan. Juan. Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Tapi, tunggu? Bagaimana bisa mereka berdua kenal dengan Juan? Astaga! Apa jangan-jangan Juan datang ke kantor hari ini?

Hayu ah, kita harus cepet cepet balik ke ruangan, siapa tau Pak Juan masih disana.”

Dan begitu dua perempuan itu pergi, Jihan keluar dari bilik toilet dengan raut wajah kesal. Kedua tangannya mengepal kesal. Entah kenapa, mendengar dua perempuan itu menyanjung Juan, dan berkhayal untuk menikahi Juan membuat dirinya jengkel setengah mati.

Jihan mencoba untuk menetralkan emosinya. Dan setelah semuanya dirasa baik-baik saja, Jihan pun keluar dari dalam toilet dan pergi berjalan dengan perasaan berdegup kencang menuju ruangannya yang ada di ujung sana.

Sesampainya dia di ruangan, Jihan langsung disuguhkan oleh pemandangan dimana Julian dan Juan sedang asyik bercengkrama di dalam ruangan khusus milik Julian. Jihan menghela nafasnya kasar. Mau apa sih dia kesini?, batin Jihan menggerutu.

Gadis itu melihat Juan yang melirik ke arahnya. Dia menyunggingkan senyumannya kepada Jihan, yang sama sekali tidak dibalas oleh Jihan. Daripada membalas senyumannya, lebih baik Jihan kembali ke kubikelnya dan mengerjakan beberapa pekerjaan kantor yang belum sempat ia selesaikan,

“Kamu kenal sama temennya Pak Julian?” tanya Mirna, teman satu ruangan Jihan yang kebetulan mejanya berada disebelah meja Jihan.

Jihan menggelengkan kepalanya, “enggak mba, aku gak kenal sama dia.”

“Serius? Tadi Pak Julian bilang kalau semisal dia itu kakak tingkat kamu waktu di kampus.”

Jihan menyumpah serapahi bosnya di dalam hati,

“Oh.. oh iya, dia emang senior aku mba waktu di kampus, cuman, aku gak begitu deket sama dia.”

Mirna hanya ber-oh ria. Jihan pikir, setelah itu dia bisa melanjutkan pekerjaannya, namun, Mirna malah kembali mengajaknya bicara dan kembali membahas soal Juan,

“Menurut kamu, dia udah punya pacar belum ya?”

“Aduh, kalau itu aku gak tau sih mba, aku sama dia kan gak deket.” dusta Jihan.

Oh.. kalau Juan mendengar semua ini, lelaki itu pasti akan sangat amat merajuk kepada Jihan. Untungnya, ruangan khusus milik Julian jauh dari kubikel meja kerja Jihan,

“Dia kayaknya seumuran sama aku, dan aku pun setelah cerai dari suami butuh sosok pendamping yang bisa jadi imam untuk aku dan anak aku. Dia kayaknya cocok buat aku, Han.”

Jihan merasakan gemuruh di dalam dirinya saat mendengar ucapan Mirna. Dia ingin meluapkan gemuruh itu, namun, Jihan lagi-lagi harus mengingat statusnya sebagai karyawan baru di kantor ini. Dia tidak boleh menjatuhkan reputasinya sebagai perempuan paling ramah dan paling sabar di divisi legal,

“Kalau sepengetahuan aku sih ya mba, dulu tuh dia waktu di kampus, benci banget sama yang namanya anak kecil. Dia pernah bikin lima anak kecil nangis dalam satu waktu. Dia juga pernah dipanggil sama dosen, karena gangguin anaknya dosen, dibilang anak pungut lah. Hati-hati loh mba, dia mungkin bakal sering bikin anak mba nangis nantinya.”

“Serius?” Mirna terkejut, Jihan pun mengangguk dengan memasang ekspresi wajah yang begitu meyakinkan.

Dalam hatinya, Jihan tertawa puas melihat Mirna yang langsung begitu saja percaya dengan apa yang diucapkan olehnya,

“Ah, tapi menurut aku sih, kayaknya itu karena dia dulu masih jadi mahasiswa. Aku juga dulu waktu masih jadi mahasiswa benci sama yang namanya anak kecil, tapi ternyata Tuhan malah ngasih aku anak kecil melalui hubungan haramku sama kakaknya mantan suamiku. Dan buktinya, aku ga benci lagi sama anak kecil. Juan juga pasti begitu.”

Ya, Mirna memang memiliki kisah percintaan yang sulit untuk dimengerti. Dan itu semua terjadi karena keliarannya di masa muda dulu. Dan sialnya dia bawa keliarannya itu sampai sekarang, padahal dia sudah bekerja dan dia juga sudah memiliki satu orang anak laki-laki tampan di rumahnya. Jihan, benar-benar tidak ikhlas kalau harus melepaskan Juan untuk perempuan seperti Mirna, yang masih saja selalu mencari kepuasan diluaran sana padahal dia berstatus sebagai janda anak satu, yang mana seharusnya dia lebih fokus untuk membesarkan anaknya instead of making love with a lot of strangers,

“Setau aku sih mba, sampai sekarang dia masih kayak gitu. Aku denger dari temenku yang kebetulan deket sama dia, katanya empat bulan yang lalu, dia baru aja ngata-ngatain anak tetangga cacat cuman karena dia nulisnya pakai tangan kiri dan gak bisa ngomong huruf r.”

“Wow.. tapi kalau dia udah punya anak sama aku kayaknya dia gak bakal benci lagi sama anak kecil.” Mirna masih tidak terhasut dengan fitnah yang dibuat oleh Jihan tentang Juan.

Jihan sudah lelah untuk membual dan menjelek-jelekan Juan. Daripada dia melanjutkan kegiatan unfaedahnya itu, lebih baik dia lanjut mengerjakan tugasnya dengan fokus agar dia bisa cepat pulang dan istirahat, karena beberapa hari ini sangat amat melelahkan.

Apalagi selalu ada Juan di dalam hidupnya. Dan sekarang, Juan sedang berdiri di depan kubikel meja Jihan. Membuat Jihan menatap lelaki itu dengan tatapan jengah dan matanya yang mengisyaratkan lelaki itu untuk pergi dari hadapan Jihan. Namun, Juan tetaplah Juan, laki-laki keras kepala yang tidak pernah mau perduli dengan kode yang diberikan oleh Jihan,

“Semangat kerjanya adik tingkatku.” Juan berujar sambil mengacak-acak rambut Jihan.

Jelas, Jihan menegang pada saat itu juga. Hal yang paling dia suka dari Juan adalah ketika dia mengacak-acak rambut Jihan. Entah kenapa hal sesederhana itu cukup berhasil membuat lutut Jihan lemas, perutnya di penuhi oleh kupu-kupu yang berterbangan, dan pipinya yang memanas lalu memerah bak kepiting yang barus aja selesai di rebus,

“Semuanya, karyawannya Julian, semangat kerjanya. Julian bos yang baik, dia enggak bakalan bikin kalian lembur.” ucap Juan sambil melirik Jihan sekilas, seolah-olah dia tengah menyindir Jihan yang tadi pagi menolaknya untuk dijemput dengan alasan dia akan lembur, “kalau begitu saya permisi, maaf ganggu waktu kerja kalian semua.”

Sebelum pergi, Juan kembali melirik Jihan dan menyunggingkan senyumannya. Lalu setelah itu, Juan pergi keluar dari ruangan Legal, bersama dengan Julian di belakangnya.

Huft, Jihan lega, karena setidaknya, dia pergi dan Jihan bisa melanjutkan pekerjaannya dengan tenang.