Kantin Teknik
“Darimana lu?” Jauzan bertanya sesaat setelah melihat Yudha masuk ke dalam kelas sambil membawa beberapa lembar kertas di tangannya.
Yudha mendudukan dirinya di kursi yang kebetulan bersebelahan dengan Jauzan,
“Abis ngambil ini.” jawab Yudha sambil mengangkat lembaran kertas itu ke udara.
Jauzan hanya mengangguk, kemudian dia berkata,
“Dosennya hari ini gak masuk anjing, padahal gue udah lari dari parkiran nyampe sini, asu.”
“Lah? Serius?”
Jauzan mengangguk dengan penuh yakin dan mimik wajah kesal,
“Bete gue diem di kelas mau cabut ke kantin, ikut kagak lu?”
“Kaga dah kaga, lagi agak ga enak badan gua.” tolak Yudha, memang, wajah pria itu terlihat agak sedikit pucat, tidak seperti biasanya.
Jauzan yang paham pun tidak memaksa. Pria itu berdiri, berpamitan dengan Yudha, dan pergi keluar dari kelasnya menuju kantin untuk memberi makan cacing-cacing di dalam perutnya yang terus-terusan meronta.
Sebagai mahasiswa yang terbilang cukup populer, seorang Jauzan, selalu disapa oleh banyak teman-teman kampusnya, terutama teman-teman perempuan. Seperti saat ini, terhitung sudah lebih dari tiga puluh perempuan (mungkin) yang menyapa Jauzan. Pesona dan kepopuleran Jauzan memang sudah tidak perlu diragukan lagi.
Begitu kakinya menginjakkan kawasan kantek (kantin teknik), Jauzan langsung mengedarkan pandangannya mencari-cari meja yang kosong untuk dirinya duduk, karena saat ini, pengunjung kantin lumayan penuh. Rata-rata mereka semua bukan mahasiswa teknik asli. Ada banyak orang yang bilang kalau kantin teknik adalah kantin dengan makanan yang sangat lengkap dan juga enak, Jauzan akui itu. Dia bukan tipikal pria yang senang makan makanan kantin, tapi pengecualian untuk kantin teknik. Semua makanan disini memiliki cita rasa yang spesial.
Pangan mata Jauzan pada akhirnya jatuh kepada seorang gadis yang tengah memesan makanan di stand mie kocok. Dari tempatnya berdiri, Jauzan bisa melihat sisi samping gadis itu yang begitu cantik, apalagi ketika gadis itu tersenyum. Bak sulap, Jauzan pun ikut tersenyum ketika itu. Seketika, memori hari kemarin, dimana ia bertemu dengan Janita, si kasir cantik di Millies Café memenuhi otaknya.
Melihat perempuan cantik itu benar-benar seperti dia melihat sosok Janita. Dan ternyata, hal itu benar adanya. Begitu wanita itu berbalik dan berjalan ke tempat duduknya yang kebetulan berhadap-hadapan dengan stand mie kocok itu. Dia adalah sosok Janita, gadis yang sudah menyita perhatian seorang Jauzan. Senyum sumringah pun terpatri di wajah tampan lelaki itu.
Dengan penuh rasa percaya diri. Jauzan berjalan mendekati meja yang diduduki oleh Janita. Dan, sepertinya sang wanita begitu terkejut sesaat dia melihat Jauzan yang berdiri dihadapannya sambil menyunggingkan senyumannya. Gadis itu juga kalau Jauzan perhatikan dari ekspresi matanya yang menyipit seperti sedang mengingat-ingat dimana ia pernah melihat Jauzan,
“Hai.” sapa Jauzan.
Tidak ada jawaban dari Janita. Gadis itu hanya diam tidak bereaksi sama sekali.
Jauzan sedikit malu, tetapi pada akhirnya dia kembali membuka suaranya,
“Well, mungkin lo lupa gue siapa, tapi gue Jauzan yang waktu kemarin malem ke millies café beli hot chocolate.”
Janita hanya mengangguk sambil ber-oh ria.
Baru juga Jauzan mau kembali membuka suaranya (niatnya ingin izin untuk duduk) tetapi tiba-tiba si pemilik stand mie kocok datang mendekati meja Janita sambil membawa semangkuk mie kocok diatas nampannya. Dia menaruh semangkuk mie kocok itu ke atas meja (tepat diharapan Janita), sehabis itu barulah dia pergi meninggalkan Janita dan juga Jauzan.
Tanpa izin, Jauzan tiba-tiba saja mendudukkan tubuhnya di kursi panjang kosong dihadapan Janita. Gadis itu terkejut dibuatnya, matanya melotot, dan satu kalimat pun keluar dari mulutnya—kalimat itu nadanya terdengar begitu rude,
“Lo ngapain duduk disitu?” Janita masih terkejut.
“Ya suka-suka gue.” jawab Jauzan dengan santainya, “eh iya lo makan mie kocok ya?”
Janita memutar bola matanya malas,
“Kayaknya tanpa gue jawab pun lo tau kan gue lagi makan apa?”
Jauzan cengengesan. Sejujurnya dia ingin berbincang-bincang lebih dengan Janita, tentunya dengan topik yang seru juga, akan tetapi, respon gadis itu masih begitu dingin, mungkin lain kali kalau ada kesempatan Jauzan akan mengajaknya berbicara,
“Terus lo ngapain masih disini?” tanya Janita menatap Jauzan dengan tatapan yang kurang begitu ramah.
“Liatin lo makan.” jawab Jauzan, “sekalian, gue juga mau kenalan sama lo, kita sekampus ya walaupun beda jurus—”
“Jani lo sam—LAH KAK JAUZAN!?”
Alice, datang bergabung dengan Janita dan Jauzan. Gadis itu membelalakan matanya terkejut ketika melihat Jauzan menoleh ke samping, sementara Jauzan hanya tersenyum ramah membalas sapaan Alice. Dan Janita yang tidak tahu apa-apa hanya diam sambil memperhatikan dua manusia itu secara bergantian,
“Eh Lic, abis nengokin Mahen?” Jauzan bertanya dengan ramahnya.
Alice yang masih kebingungan terpaksa menjawab pertanyaan Jauzan dengan anggukan, “kok lo bisa sama—”
“Gue gak tau dia yang tiba-tiba dateng kesini nyamperin gue.” potong Janita buru-buru.
“Beneran kak?” tanya Alice memastikan.
Jauzan terpaksa menganggukkan kepalanya, “bosen aja sih gue gak ada kelas, terus ke kantin, gue ketemu sama Jani, kebetulan kemarin pas gue dateng ke milles café dia jadi kasir disana, dan karena gue masih inget, jadi ya gue datengin aja.” jelas Jauzan.
Membuat Alice ber-oh ria, sementara Janita masih diam sambil sibuk menyantap Mie Kocoknya,
“Tapi gue juga mau balik kok.”
“Kok cepet amat?”
“Gak apa-apa.” jawab Jauzan. Lalu pria itu berdiri dari duduknya dan melihat ke Janita, “Jan, pamit dulu ya? Ntar kita ketemu lagi.”
Janita tidak bergeming. Gadis itu benar-benar mengabaikan kehadiran Jauzan.
Alice yang berada di posisi tersebut merasa awkward melihat bagaimana sikap Janita kepada Jauzan, namun sebisa mungkin gadis itu menyembunyikan perasaan awkwardnya.
Lalu, barulah Jauzan benar-benar melangkahkan kakinya pergi meninggalkan kawasan kantin. Namun, belum juga ada tiga langkah, Jauzan mendengar percakapan Alice dan Janita di belakang sana,
“Kak Yudha tugasnya susah banget anjir, beneran lo kerjain?”
“Gue kalau gak ngerjain tugas dia, gak bakal bisa nransferin duit buat nyokap sama adek gue di Jogja. Gak apa-apa, lagian gue fast learner kok.”
Anjing? Jadi Yudha ngejoki tugasnya ke Janita? By the way, Janita kenapa sampai open jasa joki tugas segala? Dia ada economic problem apa gimana deh? Gak cape apa kerja di cafe terus ngerjain tugas orang lain?