Kaynara's Parents
Kaynara's POV
“Nak.”
Suara lembut ibu menyadarkanku dari lamunanku tentang Abimanyu. Aku meliriknya, dan menatap matanya yang sama tengah menatapku dengan tatapan risau,
“Iya ibu, kenapa?” aku menyahuti panggilannya dengan halus dan lembut.
“Kenapa melamun terus? Apa kamu enggak suka sama pecel lelenya? Ini pecel lelenya beli di tempat langganan kamu sama ayah loh.” ibuku bertanya dengan nada heran. Iya, wajar dia heran, karena anaknya si pecinta pecel lele ini tiba-tiba tidak sesemangat biasanya saat dihadapkan oleh ikan yang katanya jorok ini.
Aku jelas langsung menggelengkan kepalaku dengan cepat. Aku tetap menyukai pecel lele ini, pecel lele langgananku dan ayah sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Hanya saja, sekarang, aku tengah memikirkan seorang lelaki yang seharusnya sudah aku lupakan dari kemarin-kemarin. Ya siapa lagi kalau bukan, Abimanyu.
Mendengar berita bahwa Abim dan kedua sahabatnya tidak berada di lingkungan kampus membuatku khawatir. Postingan twitternya pun terakhir yang hari kemarin, dimana dia memposting fotoku dengan begitu banyaknya hujatan di kolom reply. Kak Gilang dan Kak Langit pun sama, mereka tidak memposting apapun, padahal biasanya mereka cukup berisik di twitter,
“Galau kan pasti putus sama pacarnya tuh.” aku belum menjawab, tapi ayah tiba-tiba datang ke meja makan dan berbicara seperti itu.
Aku langsung mendengus kesal. Apakah aku benar-benar terlihat seperti baru selesai putus cinta? Apa mereka bisa melihat betapa sedihnya aku? Padahal sudah jelas aku mati-matian mencoba untuk tidak sedih, dan tetap bahagia di depan keluargaku, tapi kenapa tebakan mereka selalu tepat. Menyebalkan,
“Ayah, jangan digangguin ah anaknya.” bunda memperingati ayah dengan tegas namun tetap lembut. Aku tersenyum sedikit, karena ibu membelaku dan tidak ikut membuat pernyataan kalau aku putus dengan pacarku. Si kepala keluarga yang menyebalkan namun tetap aku cinta itu hanya tertawa sebagai reaksi atas teguran ibu, “ayo cerita aja gak apa-apa. Ibu gak enak hati liat kamu kayak gak semangat makan pecel lelenya, padahal kamu bilang kalau pecel lele itu cinta mati kamu, jadi kamu selalu bahagia kalau makan pecel lele.”
Ibu memang memiliki ikatan batin yang khusus denganku. Dia tahu kalau aku sedang sedih, meskipun aku menunjukan senyuman lebar kepadanya, dan tetap bersikap seolah-olah tidak ada masalah besar yang menimpaku. Melihat ibu, aku selalu berpikir, apakah aku bisa menjadi seorang ibu yang sempurna seperti ibuku di masa depan kelak? Aku harap, aku bisa,
“Kay cuman lagi gak enak hati aja.” aku akhirnya bercerita di depan ayah dan ibuku. Dan mungkin setelah ini ayah akan berbahagia karena tebakannya tentangku yang putus cinta memang benar adanya, “Kay kepikiran seseorang.”
“Siapa, nak?” ayah tetap bertanya meskipun dirinya tengah sibuk menyantap dengan lahap pecel lele tersebut.
“Mantan pacar, Kay. Abim.” jawabku.
“Kan putus kan kamu sama pacar kamu. Ayah tahu, dari semalem kamu sampai ayah udah bisa ngerasain aura-aura orang yang baru berpisah, dan dugaan ayah emang betul.” aku tidak tahu ayah bicara seperti barusan itu hanya sekedar asal bicara atau memang ada unsur mengejek di dalamnya. Tapi yang jelas aku sedikit tersinggung, apalagi di bagian kalimat aura-aura orang baru berpisah, apakah semenyedihkan itu aku?
Mataku bergerak melihat tangan ibu yang memukul pelan paha ayah. Lagi, ayah tidak mengaduh atau bagaimana, dia hanya tertawa pelan, sambil asyik menyantap kembali pecel lele. Aku iri, aku ingin menikmati pecel lele kesukaanku dengan khidmat seperti ayah, tapi otakku tidak bisa. Demi Tuhan, aku terus memikirkan Abim,
“Emang kenapa sama Abim?” ibu bertanya.
“Dia gak ada sama sekali ngespam Kay, twitter dia juga gak update apa-apa, temen-temennya dia pun sama. Terus, tadi Grace bilang kalau baik Abim maupun temen-temennya sama sekali gak ada di kampus, padahal hari ini harusnya Abim ada kelas.” jelasku dengan suara bergetar dan wajah yang syarat akan kesedihan. Ibu terlihat begitu paham akan perasaanku, dia meraih tanganku dan mengelusnya.
Ayah juga. Ayah tahu aku sedang sedih, maka dari itu dia memilih untuk berhenti menyantap makanannya, dan memilih untuk menjatuhkan fokusnya kepadaku,
“Mungkin dia lagi ada urusan sama temen-temennya, dia jadi gak sempet untuk megang handphone.” ibu mencoba memberikan kemungkinan-kemungkinan yang baik kepadaku agar aku bisa berpikir positif dan tetap tenang.
“Atau dia sedih putus sama kamu, nak, makanya dia coba nyari kesibukan lain, sampai dia gak buka handphonenya, karena kalau dia buka handphone, dia pasti terus keinget sama kamu.” ayah ikut bersuara juga.
Perasaan gundah dan gelisahku sedikit menghilang, setelah menceritakan apa yang membebaniku kepada kedua orang tuaku. Mungkin benar, kalau Abimanyu tidak terlalu ingin memikirkanku, jadi dia memilih untuk melakukan hal lain, sampai dia tidak sempat membuka ponselnya.
Dan aku harap, kegiatan yang dia lakukan itu bukanlah kegiatan “biasa” yang sering dia lakukan. Aku harap dia melakukan hal-hal yang baik,
“Sekarang udah tenang kan? Dimakan pecel lelenya ya?” bujuk ayah.
Aku langsung mengangguk, dan mulai memakan pecel leleku, meskipun sekhidmat biasanya, tapi setidaknya aku masih bisa merasakan kenikmatan dari ikan pemakan kotoran manusia ini.