KESEPAKATAN
Sinar cahaya yang masuk dari pintu balkon kamar milik Jerhan, berhasil mengusik mata Kanaya yang tengah terpejam. Gadis itu terpaksa membuka matanya perlahan-lahan karena silaunya cahaya matahari pagi di kota Paris ini.
Kanaya diam perlahan, gadis itu memperhatikan sofa yang semalam ia tempati kenapa berubah menjadi kasur empuk yang sangat nyaman? Juga warna cat tembok yang berubah, rasanya semalam cat tembok ruang tengah apatement Jerhan itu berwarna putih, kenapa sekarang berubah menjadi warna cokelat tua? Dimana dirinya sekarang?
Mata Kanaya tidak sengaja menampak foto milik Jerhan yang menggantung di sudut tembok kamarnya. Gadis itu terdiam sebentar, ia mencoba untuk menceran semua dengan otaknya yang belum bekerja dengan sempurna. Lalu, semenit kemudian, Kanaya tersadar kalau dirinya ada di kamar Jerhan.
Kanaya buru-buru melepaskan selimutnya dan beringsut turun dari ranjang tersebut sambil berteriak. Ia memegangi tubuhnya yang masih dibalut oleh baju yang lengkap. Nafasnya tersenggal-senggal saking kagetnya Kanaya. Dengan langkah yang menggebu-gebu, Kanaya keluar dari kamar Jerhan, dan menghampiri laki-laki itu yang tengah sibuk mencuci beberapa peralatan masak yang ia gunakan untuk membuat sarapan untuknya dan juga Kanaya,
“Jerhan!” panggil Kanaya agak menyentak laki-laki itu.
“Hm.” sahut Jerhan tanpa menoleh ke belakang. Dia masih asyik berkutat dengan perlatan masaknya yang kotor akibat kegiatan memasak yang dilakukannya setengah jam yang lalu.
Kayana mendecak. Matanya menyiratkan ketidak sukaan atas sikap Jerhan yang dirasanya tidak sopan. Bagaimana tidak, jelas-jelas Kanaya sedang mengajaknya untuk berbicara, tapi Jerhan seolah-olah tidak perduli, ia malah sibuk mencuci peralatan masaknya,
“Have you never been taught about manners?”
Jerhan menghela nafasnya. Ia melepas sarung tangan karet yang melekat di tangannya, lalu mematikan kran sinknya. Dan setelah itu ia berbalik, menatap Kanaya yang sedang menatapnya dengan tatapan mata super galak, dan tidak lupa satu tangannya yang ia biarkan berkacak di pinggang bagian sebelah kiri,
“Iya, kenapa tuan putri?”
Kanaya berdehem sebelum gadis itu bertanya perihal, kenapa dirinya bisa tiba-tiba tidur di kamar? Padahal dia merasa kalau semalam, sehabis dia video call dengan kedua orang tua dan kakaknya, ia tidur di sofa sesuai dengan perintah Jerhan,
“Kenapa aku bisa tidur di kamar kamu?” tanya Kanaya penuh selidik.
Jerhan diam sebentar. Lantas ia mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban,
“Jerhan, jawab yang bener.” pinta Kanaya, raut mukanya terlihat begitu serius.
“Ya apa? Gue udah jawab dengan baik dan benar kan? Lo mau gue jawab kalau gue kayak cowo-cowo di drama gitu yang ngegendong lo ke kamar? Idih amit-amit, gendong lo pas pingsan aja berat kaya bawa lima karung.”
“Kok kamu jadi ngeledekin aku sih? Kayaknya hidup kamu gak seru ya kalau gak ledekin aku?”
Jerhan tertawa pelan,
“Jerhan, jawab yang bener kenapa aku tidur di kamar kamu, dan semalem kamu tidur dimana? Kita gak satu ranjang kan?”
Jerhan memasang ekspresi wajah ambigu, yang membuat Kanaya langsung berpikiran yang tidak-tidak. Melihat bagaimana ketakutannya wajah Kanaya sekarang, membuat Jerhan semakin gencar untuk menggoda Kanaya,
“We did something bad, but good.”
Sudah tidak bersih sekarang pikiran Kanaya. Sialan, apakah kesuciannya tadi malam direnggut oleh Jerhan secara tidak sadar? Ah tapi tidak mungkin separah itu, karena guru Kanaya di sekolah pernah bilang, wanita cenderung merasa ngilu setelah selesai melakukan hubungan sexual. Tapi, Kanaya tidak merasakan itu. Jadi, mungkin, Jerhan tidak melakukan sampai sejauh itu.
Tapi…. bagaimana kalau Jerhan mencumbu bibirnya? Astaga! Kanaya tidak bisa membayangkan itu. Ya Tuhan, Jendral saja bahkan tidak pernah menciumnya, bagaimana mungkin dia membiarkan seorang laki-laki tengil yang baru dikenalnya satu hari yang lalu ini mencium bibirnya.
Jerhan sudah tidak sanggup lagi menahan tawanya. Ia akhirnya tertawa lepas melihat bagaimana Kanaya yang semakin ketakutan karena kejahilannya. Hal itu membuat Kanaya naik pitam,
“JERHAN JANGAN KETAWA!” bentak Kanaya.
Jerhan mencoba untuk menghentikan tawanya, namun gagal, ia kembali lagi tertawa,
“JERHAN!”
“Astaga ya Tuhan, iya iya ampun ampun. Iya ini berhenti ketawa.” ucap Jerhan, “lagian pikiran lo kejauhan, gue gak ngapa-ngapain lo, lagian lo tau sendiri kan kalau gue gak suka sama cewek modelan kayak lo? Tangan gue terlalu berharga untuk manjain cewek kayak lo.”
“ISH!” kesal Kanaya, “terus kenapa aku bisa tidur di kamar kamu?”
“Tanya sama alam bawah sadar lo, lo ngapain tiba tiba jalan dengan mata tertutup ke kamar gue, terus tiba-tiba tidur diatas kasur gue hah?”
Kanaya terkejut mendengarnya. Apakah semalam dia benar benar seperti itu?
“Yang bener?”
“Ada gila gilanya gue ngibulin lu soal begituan. Dan, ini gue jelasin aja keburu lo ngamuk lagi, setelah lo tidur di kasur gue, gue langsung keluar dan tidur di sofa. Ini kedua kalinya gue berkorban buat lo. Sekarang, lo makan, ini gue udah bikin sarapan.”
Huft, Kanaya jadi merasa tidak enak karena sudah memarahi Jerhan pagi ini. Apalagi, Jerhan membuatkannya sarapan. Laki-laki ini memang tengil dan kata-kata yang keluar dari mulutnya kurang ajar, namun apabila di perhatikan lagi, banyak sisi positif dari dalam dirinya,
“Gue bikin fettucini—”
“YEAY!”
Jerhan memasang ekspresi muka herannya yang begitu amat menggemaskan,
“Girang amat?”
“Aku bakal makan pasta, soalnya pasta itu makanan favorit aku.” ucap Kanaya dengan menggebu-gebu.
Jerhan tertawa kecil, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Well, nice info, tapi sorry nih, hari ini lo gak bisa makan pasta.”
“Maksud kamu?”
“Inget, kemarin kan lo baru aja pingsan kan? Nah, maka dari itu, lo sarapan buah-buahan, tenang aja, gue juga masak waffle selain itu, gue bikin smoothie buat lo.”
Kanaya merengut sedih,
“Sorry bestie, tapi muka sedih lo gak bakal mempan. Jadi, sekarang, makan sarapannya, atau lo pingsan lagi dan ngerepotin gue lagi.”
Kayana mendengus pasrah. Jerhan benar-benar mirip sekali dengan keluarganya. Padahal Jerhan tidak tahu penyakit asli yang Kayana idap, bagaimana kalau laki-laki itu tahu?
Dengan malas, Kanaya menarik kursi di meja makan, dan mulai memakan wafflenya. Sementara Jerhan di hadapannya, memakan fettuccine sambil memasang ekspresi-ekspresi menyebalkan dan juga membuat suara-suara yang membuat Kanaya semakin kesal,
“Kenapa sih aku dikasihnya buah-buahan gini? Mana wafflenya cuma dua lagi.”
“Buset, rewog banget lu. Mau makan berapa waffle emang? 10? Lagian juga sengaja cuman dua, dan buah-buahannya gue banyakin biar lu sehat, terus lu nggak nyusahin gue lagi.”
Kayana mendecak, lalu mulai memakan sarapannya yang sama sekali tidak menggiurkan ini.
Acara makan mereka sangat damai, tidak disertai oleh protesan Kayana, atau ocehan ocehan tengil Jerhan yang mampu membuat Kanaya naik pitam. Namun, keheningan itu tidak berakhir lama, karena suara alarm yang berasal dari ponsel Kanaya berbunyi,
“Alarm hape siapa tuh?” tanya Jerhan bingung.
“Hapeku.” jawab Kayana.
Gadis itu langsung bangkit dari duduknya, berjalan menuju sofa dan mengambil tasnya lalu mengambil botol obat berwarna putih dari dalam sana. Kanaya kembali lagi ke tempat duduknya, dan mulai meminum obat tersebut. Jerhan tidak bisa berhenti menatap Kanaya dengan tatapan herannya,
“Lo minum obat sampai harus di alarm-in segala?” Jerhan bertanya heran.
Kayana mengangguk lalu lanjut memakan makanannya,
“Aneh.” gumam Jerhan yang dapat di dengar oleh Kanaya, gadis itu hanya tersenyum menanggapinya, “lu beneran sakit anemia kan bukan kanker?”
Tiba-tiba Kayana menjatuhkan sendoknya ke piring begitu mendengarkan pertanyaan Jerhan. Lelaki itu terkejut, tapi Karina buru-buru berdehem untuk menetralkan suasananya,
“Kenapa?” tanya Jerhan.
Kanaya menggeleng, “enak banget ini wafflenya, speechless, makanya aku cuman bisa jatuhin sendok kayak barusan.”
Jerhan terdiam sambil menatapi Kanaya, namun detik selanjutnya ia berlagak seolah ia tidak perduli dengan semua yang dilihatnya barusan. Meskipun, sebenarnya, jauh dari dalam lubuk hatinya, dia masih penasaran, apa sih penyakit yang Kanaya derita?
“Oh iya, gue hari ini mau ngampus ya?” izin Jerhan.
“Loh? Kalau kamu ke kampus, terus aku nyari hotelnya gimana dong? Kan katanya kamu janji hari ini mau bantu aku nyariin hotel.”
“Ya gue juga gak tau kalau misalkan gue bakal kuliah, kemarin dosennya bilang hari ini gak ada kelas, karena dia harus flight ke Aussie, tapi tiba-tiba dia cancel flightnya dan milih untuk ngajar.”
“Terus aku gimana, Jerhan?” Kanaya bertanya dengan nada penuh keputus asaan.
“Lagian lo punya uang berapa emang buat sewa hotel selama seminggu? Disini hotel gak kayak di Indo ya, ada yang ratusan permalam, disini mahal, permalamnya rata-rata lima juta, lu kaliin dah tuh tujuh 6 hari, 30 juta. Sanggup, emang?”
Kanaya menggebrak meja menggunakan kedua tangannya,
“30 JUTA!?”
Jerhan mengangguk. Sementara Kanaya tubuhnya melemas, wajahnya memelas. Dia hanya memiliki sepuluh juta di rekeningnya, itu pun ia pakai untuk membeli tiket nanti dia pulang ke Indonesai. Ah, dasar bodoh!
“Terus aku gimana dong?” tanya Kanaya menatap Jerhan dengan tatapan penuh harap. Berharap kalau lelaki itu memiliki solusi yang menguntungkan.
“Lo tinggal disini aja, gak perlu bayar sampai lima juta kok.” jawab Jerhan.
“WHAT!? AKU? TINGGAL DISINI? BIG NO!”
“Lah kenapa? Hotel di Paris tuh safetynya kurang banget. Banyak hidden camera dimana-mana.”
“YA APALAGI DISINI ADA KAMU LANGSUNG.”
“Gue emang keliatan se cabul itu ya di mata lo? Tenang aja kali, gue gak bakal nyentuh lo sama sekali.”
“Ga perlu aku tetep mau cari hotel, gak apa-apa nanti palingan ak—”
Tiba-tiba suara milik ayah dan ibu Kanaya yang sedang berbincang sore hari di pelataran rumah, seminggu sebelum Kanaya berangkat ke Paris berputar di otaknya. Ia ingat, hari itu, ia mendengar bahwa ayahnya bilang kalau perusahaan tempatnya bekerja keadaan perekonomiannya sedang tidak stabil, sehingga membuat beberapa bonus, atau uang makan, atau uang apapun lainnya dipaksa di tunja pencairannya.
Hal tersebut, membuat Kanaya tersadar, bahwa kalau ia meminta kepada ayah atau ibunya untuk mengiriminya uang, itu malah akan menjadi beban untik kedua orang tuanya itu. Kanaya, sudah terlalu banyak menorehkan beban ke kehidupan kedua orang tuanya dengan penyakit yang dideritanya itu.
Dengan sulit, Kanaya harus menerima tawaran Jerhan untuk tinggal di apartementnya,
“Oke.”
“Oke apa?” Jerhan bertanya.
“Oke aku akan tinggal disini.”
Jerhan tersenyum senang,
“Gitu dong!” seru Jerhan, “Oh iya, kebetulan karena lo tinggal di apartement gue. Nanti, tolong ya, di keranjang baju kotor, ada baju-baju gue yang belum sempet gue bawa ke laundry jadi, kebetulan ada lo disini, tolong cuciin ya? Gak banyak kok, cuma 28 baju doang kalau gak salah.”
Kanaya mengepalkan kedua tangannya, matanya menatap panas kepada Jerhan yang terlihat tidak begitu merasa bersalah karena sudah menyuruh-nyuruh Kanaya untuk mencuci baju,
“Oh iya gue hampir lupa ngasih tau kalau misalkan, mesim cuci di apartement gue ini lagi rusak, dan baru dibenerin nanti, soalnya tukang benerin mesin cucinya lagi libur. Dan laundry pun juga sama lagi libur, disini sebenernya ada lagi tukang laundry cuman jauh, harus naik kereta bawah tanah, agak ribet. Jadi, mending cuci manual aja.”
Kanaya baru saja mau membuka mulutnya untuk melayangkan sebuah protes. Namun, Jerhan buru-buru menyuapi fettuccine buatannya ke dalam mulut gadis itu,
“Di dunia ini gak gratis. Gue baik gak minta lo ganti 3 juta yang lo abisin buat biaya rumah sakit lo, gue malah biarin lo tinggal di apartement gue, dan gue juga masakin lo sarapan, lo bahkan nyobain fettuccine buatan gue. Kurang apa coba gue?”
“KURANG AJAR!”
Jerhan hanya tertawa mendengarnya.
Sementara Kanaya lanjut menyantap sarapannya. Sejujurnya, hatinya sedikit senang, karena ia bisa menyantap fettuccine super lezat buatan Jerhan. Tapi, tetap saja, rasa kesal dalam dirinya mendominasi untuk lelaki itu.
Dan Jerhan, dia diam-diam memperhatikan Kanaya yang memakan waffle juga buahnya. Pipi gadis itu berubah bentuk menjadi bulat, sangat amat menggemaskan. Gatal sekali rasanya tangan itu. Ia benar-benar ingin mencubiti Kanaya sekarang,
“Kanaya, please jangan gemes-gemes dong.”