Lunch


Ruby Cafe adalah cafe yang selalu ramai pengunjung. Cafe ini terletak tepat di sebrang kantor Julian dan juga Jihan. Hampir setiap hari, semua karyawan yang bekerja disana selalu datang ke cafe ini untuk makan siang. Bahkan, dulu, sekitar tahun 1995, CEO dari perusahaan tempat dimana Jihan dan Julian bekerja itu menikah dengan salah satu pelayan di cafe ini karena terlalu seringnya dia berkunjung ke Ruby Cafe ini.

Jihan dan Julian sudah duduk berdua di meja yang ada di sudut ruangan cafe ini, menunggu dua teman Julian yang tak kunjung datang. Sejujurnya, Jihan sudah terlalu lelah menunggu, belum lagi pekerjaan di kantor masih begitu banyak, kalau begini caranya dia bisa mengerjakan setengah pekerjaan kantornya daripada membuang-buang waktu untuk menunggu dua teman Julian yang katanya sedang berada di perjalanan. Kalau saja Jihan tidak tahu sopan santun, dia sudah pergi meninggalkan bosnya itu untuk kembali ke kantor dan mengerjakan pekerjaannya.

Tiba-tiba, bell yang tergantung diatas pintu masuk cafe ini berbunyi—menandakan ada pengunjung yang masuk ke dalam—Julian yang posisi duduknya membelakangi pintu masuk, langsung menoleh ke belakang, dan berseru kepada Jihan yang matanya sedang sibuk melihat pemandangan di luar melalui jendela besar cafe ini,

“Itu temen-temen saya, Jihan.” seru Julian dengan begitu semangat.

Jihan langsung menoleh ke arah kemana Julian melihat. Betapa terkejutnya Jihan ketika melihat Satria dan juga Juan yang berjalan ke arah mejanya. Jadi, selama ini, teman yang dimaksud oleh Julian itu adalah Satria, dan juga Juan? Ya Tuhan, apa dunia memang sesempit ini?

“Sorry, lama, biasa lah Bandung macet terus.” ujar Satria sambil bersalaman ala laki-laki dengan Julian, diikuti juga dengan Juan.

Lalu, pandangan Satria pun beralih kepada Jihan, yang duduk di bangkunya dengan perasaan was-was dan gelisah. Entah kenapa dia merasakan hal seperti itu, apalagi, Juan terus memperhatikannya dari belakang. Membuat degup jantung Jihan bekerja dengan sangat amat tidak normal,

“Long time no see, Jihan.” sapa Satria sambil tersenyum begitu manis kepada Jihan.

Jihan membalas sapaan itu dengan anggukan dan senyuman manis namun terkesan begitu canggung.

Julian kebingungan,

“Long time no see? Lo kenal Sat sama Jihan?” Julian bertanya.

“Well, mending duduk dulu aja, baru nanti cerita ceritanya, gak enak berdiri kayak begini.” saran Juan.

Semua pun setuju.

Tadinya, Juan mau berjalan mendekati Jihan dan duduk disamping gadis itu. Namun, Satria dengan sigap menarik tangan Juan, dan membuat mereka berdua duduk berdampingan. Sementara Julian, duduk berdampingan dengan Jihan,

“Lo ngapain narik gue setan?” bisik Juan keki kepada Satria.

“Kalau duduk samping-sampingan, lo ga bakal bisa liat muka dia. Gue bantuin elu bajingan.” balas Satria tidak kalah keki.

Mendengar maksud dan tunuan Satria, membuat Juan tidak bisa menyembunyikan senyuman kemenangannya. Iya, hari ini dia merasa menang, karena pada akhirnya dia bisa makan siang bersama Jihan, meskipun ada Satria dan Julian di antara mereka berdua,

“Eh pesen dulu aja deh biar enak.” saran Julian.

“Boleh.”

Lalu, Julian memanggil pelayan yang sedari tadi menunggu di dekat kasir. Setelah pelayan itu datang, keempat manusia itu memesan makanan yang akan mereka santap untuk makan siang. Setelah semua pesanan dicatat, pelayan itu pun pergi untuk memberikan daftar pesanan kepada si chef yang sedang berkutat di dapur.

Lalu, tinggalah, Julian, Satria, Juan, dan Jihan yang duduk di satu meja dengan ketegangan yang tak terelakan. Julian kebingungan akan hal ini, bagaimana bisa pertemuan ini menjadi sangat amat begitu canggung? Padahal Jihan bukan tipe perempuan yang pemalu, dia bisa langsung mendapatkan banyak teman di kantor karena sifat social butterflynya. Tapi kenapa sekarang Jihan terlihat seperti mati kutu?

Dan ada apa dengan Juan yang terus memperhatikan Jihan, sambil sesekali menyunggingkan senyuman miring yang sangat amat tidak masuk di akal? Ada apa dengan dua manusia ini? Apa ada hal yang tidak Julian ketahui sebelumnya? Ini semua tidak bisa dibiarkan, Julian harus tahu semuanya,

“Ini sebenernya ada apa sih? Kenapa semua jadi tegang begini?” tanya Julian.

“Masa sih Jul? Biasa aja ah.” jawab Satria.

“Bukan elu!” omel Julian, “tapi Jihan sama Juan. What's wrong? what happen?

Juan berniat untuk membuka mulutnya dan menjelaskan semuanya kepada Julian. Namun, dirinya kalah cepat dengan Jihan yang langsung membuka mulut dan menjelaksan kepada Julian, yang bukan sebenarnya. Iya, Jihan berbohong,

“Kak Satria dan Kak Juan itu kakak tingkat saya waktu kuliah. Kami emang beda jurusan, tapi, karena relasi saya banyak, saya bisa kenal sama mereka berdua.”

Juan terlihat begitu kecewa dengan penjelasan Jihan. Satria sih biasa saja, dia tidak terlalu memperdulikan juga. Toh, sebenarnya, Jihan tidak berbohong. Hubungan Jihan dan Satria memang hanya sebatas adik dan kakak tingkat saja.

Sementara Jihan, tidak tahu kenapa dia memilih membohongi Juan dibandingkan jujur dengan lelaki itu. Dia merasa bersalah terhadap Juan, untuk melihat raut wajah mantan kekasihnya yang sedang kecewa itu saja rasanya Jihan tidak sanggup. Dalam hatinya, Jihan terus menerus menyumpah serapahi dirinya yang begitu bodoh,

“Oh jadi gitu. Pantesan aja lu minta gue jagain dia.” ucap Julian sambil tertawa pelan, “dia minta saya untuk jagain kamu, saya kira dia mantan kamu atau apa, ternyata kamu cuma adik tingkatnya dia.”

Jihan mengangguk sambil tersenyum kikuk,

“Oh iya, Han, lu kuliah tuh waktu itu ambil online ya?” tanya Satria.

“Iya kak.” jawab Jihan, “aku ngalamin banyak masalah, dan orang tua juga takut aku gimana-gimana, makanya suruh pindah ke Jogja. Alhamdulillah waktu ngajuin itu sama kampus langsung di approve.”

“Iya, soalnya lu kaya ngilang tanpa jejak gitu. Sampai ada yang hampir gila karena lu pergi tanpa ninggalin pesan tau gak.” sebenarnya, Satria sedang menyindir Juan, dan Satria yakin kalau Juan sadar akan hal itu.

Begitu pula dengan Jihan.

Maka dari itu, Jihan langsung melirik Juan sekilas ketika Satria berucap seperti itu,

“Punya pacar kamu waktu kuliah, Han?” tanya Julian.

“Punya pak.” jawab Jihan.

“Udah putus?” Julian bertanya lagi

Jihan mengangguk,

“Kok bisa?” Julian lagi dan lagi bertanya.

“Kepo amat.” Juan berkomentar dengan ketus.

Julian menatap Juan nyolot, “suka-suka gua lah. Jadi gimana? Putusnya karena apa?” Julian langsung merubah nada bicara dan tatapannya menjadi begitu lembut kepada Jihan.

“Saya punya penyakit pak, yang waktu itu bikin saya gak bisa sembuh. Jadi, saya putusin dia, karena saya pingin dia dapetin sosok yang lebih baik dari saya.”

Lagi dan lagi, Jihan berbohong. Entah apa alasan yang membuat gadis itu terus berbohong,

“Kalau dia mau lagi sama lu gimana, Han?” kini gantian Satria yang bertanya.

Jihan terdiam. Butuh keberanian penuh untuk menjawab pertanyaan itu.

Sementara di tempatnya, Juan terlihat duduk dengan begitu tenang dan memainkan ponselnya. Tapi, sejujurnya, dia sedang panik dan penasaran dengan jawaban yang akan di lontarkan oleh Jihan.

Belum sempat Jihan menjawab, tiba-tiba pelayan yang membawakan pesanan untuk mereka berempat pun datang. Jihan bernafas lega karena tidak perlu menjawab pertanyaan itu, dan Juan kesal karena dia tidak dapat mendengarkan jawaban atas pertanyaan Satria untuk Jihan.

Setelah makanan ada di meja makan masing-masing. Jihan pun langsung berujar,

“Selamat makan semuanya.”

Dan ketiga laki-laki itu pun ikut membalas ucapan Jihan.

Lalu mereka pun makan, dan seolah-olah lupa dengan pertanyaan Satria yang masih menjadi sebuah tanda tanya bagi Juan.