Milles Café
Hujan mengguyur kota Bandung yang begitu amat dingin di malam hari ini. Janitra, si pelayan cantik hanya bisa terdiam menatap ke arah jendela café tempatnya bekerja. Tatapannya begitu kosong, seperti tidak memiliki tujuan. Pikirannya melayang memikirkan sang ibunda yang tengah tertimpa musibah di Jogja sana.
Suara bell yang berbunyi—sebagai tanda adanya pelanggan baru yang masuk pun, tidak lantas membuat Janitra sadar dari lamunannya. Suara-suara berisik terus menggema di kepala Janitra, suara-suara yang menyalahkan dirinya karena tidak ada disamping sang ibunda saat musibah menimpa satu-satunya orang tua yang dimiliki oleh gadis yang akrab disapa Jani itu. Tak terasa, air mata menetes begitu saja di pipi Janitra,
“Jani!”
Panggilan seorang pegawai yang tidak bisa Janitra dengar.
“Jani!”
Lagi, dia memanggil Janitra, dan respon yang diberikan masih sama. Janitra tidak bisa mendengarnya.
“JANI!”
Gertakan dan pukulan di bahu Janitra pada akhirnya mampu membuat gadis itu tersadar dari lamunannya dan terlepas dari suara-suara bising yang menyalahkan dirinya. Gadis itu bereaksi gelagapan, ia melihat sang senior yang berdiri disampingnya sekilas, lalu sepersekian detik dia menatap seorang pemuda tampan yang tengah berdiri di depannya hendak memesan makanan,
“Kamu layanin dia, nanti sehabis itu ikut saya ke belakang.” ucap senior Janitra dengan begitu angkuhnya. Beliau pergi begitu saja meninggalkan Janitra di depan meja kasir.
Kini, tersisalah Janitra dan si pelanggan tampan. Lelaki itu menatap Janitra dengan tatapan yang begitu sulit untuk diartikan. Janitra sadar akan tatapan itu, tapi perasaan kalut dan takut akan dimarahi sang senior membuatnya tidak begitu perduli dengan tatapan pria itu, dan tetap melayaninya dengan bagaimana seharusnya,
“Selamat malam, selamat datang di Millies Cafe, ada yang bisa saya bantu?”
“Mba kenapa nangis?” pertanyaan absurd itu keluar dari mulut si pria, perubahan raut wajah Janitra langsung terlihat dengan jelas—seperti tidak suka dan kurang nyaman dengan pertanyaan itu.
“Kalau masih bingung untuk milih menunya, boleh dibaca disini. Barangkali masnya punya mata minus.” ucap Janitra sambil jarinya mendorong kertas menu yang berada di atas meja kasir kepada pria tersebut.
Mungkin pria itu sudah sadar bahwa pertanyaan yang diajukannya kepada Janitra membuat gadis itu merasa kurang nyaman, terlihat jelas dari raut wajahnya yang terlihat seperti tidak enak dan menyesal karena sudah menanyakan pertanyaan barusan,
“Maaf mba, saya mau pesan hot chocolatenya satu.”
Janitra dengan gesit menekan pesanan milik pria itu di layar komputer yang sudah menggunakan teknologi touch screen,
“Ada lagi?” tanya Janitra memastikan.
Pria itu menggelengkan kepalanya sambil menyunggingkan senyuman manisnya,
“Udah itu aja mba.” jawab si pria.
“Saya ulang ya mas pesanannya. Hot chocolatenya satu. Totalnya jadi tiga puluh lima ribu.”
Dikeluarkanlah uang pecahan 50.000 oleh si pria sesaat setelah Janitra menyebutkan harga yang harus dibayar atas pesanan pelanggan itu.
Janitra menerima uang tersebut, dan mengembalikan 1 lembar uang nominal 10.000, dan 1 lembar uang nominal 5.000, beserta struk belanjaan dan kayu kecil berbentuk persegi panjang yang bertuliskan angka 7 kepada pelanggan tersebut,
“Pesanannya akan saya antar ya, boleh ditunggu.”
Pria itu mengangguk paham.
Lalu ia berlalu untuk mencari meja tempat dirinya akan duduk dan menikmati cokelat panas di dinginnya Bandung malam hari ini.
Dan, pria itu pun memilih meja yang jaraknya cukup dekat dengan kasir. Hal itu, ia lakukan sebab, ia ingin menatapi wajah si kasir cantik itu lebih lama.
Tidak dapat dipungkiri kalau pria itu terbius dengan kecantikan sempurna Janitra dipertemuan mereka yang pertama.