Misundertand


“JEFRI!” panggil Jani setengah berteriak kepada sosok suaminya yang tengah berpelukan dengan perempuan lain.

Jefri melepaskan pelukannya dari perempuan itu. Dia berbalik ke belakang, menatap Jani yang tengah berjalan penuh emosi kepadanya dengan tatapan was-was. Jani pasti akan salah paham karena hal ini, dan wanita itu pasti akan sangat marah besar kepada Jefri,

“Cewek gatel ya lo, peluk-peluk suami gue!” baru juga bergabung bersama Jefri dan perempuan itu, Jani sudah mengomeli wanita berbikini di hadapannya itu. Wanita itu terlihat kebingungan dan takut mendengar intonasi bicara Jani dan ekspresi marah Jani.

“Lo juga!” kini giliran Jani yang mengomeli Jefri, ditatapnya suaminya itu dengan tatapan tajam dan menusuk, membuat Jefri jadi merasa bersalah, “Gak puas apa lo semalem udah gue kasih jatah lo, tapi sekarang lo malah mau main sama perempuan lain. Emang dasar tua bangka genit ya lo! Nyesel gue nikah sama cowo kayak lo. Anjing.”

Setelah menumpahkan seluruh amarahnya, Jani menampar pipi Jefri dengan sangat keras. Setelah itu, dengan berlinang air mata, Jani berlari untuk kembali ke resortnya meninggalkan Jefri yang masih berdiri seraya memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan Jani,

“Jef.” panggil perempuan misterius itu, tangannya hendak menyentuh Jefri, tapi Jefri langsung memberi kode kepada wanita itu untuk tidak menyentuhnya menggunakan telapak tangannya.

Syukurlah, wanita itu mengerti. Ia mengurungkan niatnya. Sekarang, wanita itu merasa bersalah atas apa kekacauan yang telah terjadi,

“Sorry.” lirih wanita itu, dari nada suaranya terdengar kalau dia begitu menyesal dan merasa bersalah.

“Gak apa-apa. Gue permisi. Gue harus jelasin semuanya ke dia.”

Jefri pun pergi begitu saja menyusul Jani yang sudah pasti sekarang sedang menangis di dalam kamar resortnya. Sementara wanita itu masih berdiam diri di tempatnya, memandangi punggung Jefri dengan penuh rasa bersalah. Gadis itu menghela nafasnya berat, lalu pergi meninggalkan pintu masuk resort yang ditinggali Jefri untuk kembali menyusul kekasihnya yang sudah menunggu di salah satu restaurant yang berada di sekitar sini.

Kembali lagi ke Jefri. Dia berlari sangat kencang untuk menyusuli Jani. Sampai tidak kurang dari lima menit, Jefri tiba di kamar resortnya. Dan ia melihat Jani yang tengah menangis, sembari membereskan koper besarnya. Jefri yang melihat itu jelas tidak suka dan semakin merasa bersalah, ia berjalan menghampiri istrinya,

“Mau kemana sayang?” lirih Jefri sembari menatap nanar sang istri.

“Pulang.” jawab Jani sangat ketus disertai suaranya yang sengau, “gue mau ngurusin surat cerai.” sambungnya, nafas Jefri tercekat ketika Jani mengucapkan lima kata yang dibencinya. Ketakutan menyelimuti mata Jefri. Lelaki itu langsung menahan tangan Jani.

“Enggak, saya gak mau.”

“Apa? Lo jelas-jelas peluk perempuan lain. Lo tuh kenapa sih? Kalau dari awal lo di jodohin sama gue gak mau ya udah, gak usah sok lu terima-terima, kalau nyatanya lo masih suka main sama perempuan.” kesal Jani dicampur rasa sedih dan sakit di hatinya, “jangan lo pikir karena gue awalnya gak cinta sama lo, dan ketika gue udah gak cinta sama lo, gue gak tulus ya. Gue tulus cinta sama lo, gue udah secinta itu sama lo. Tapi lo ngecewain gue.” sambung Jani sembari terisak.

“Jani, kamu juga salah. Seharusnya kamu mau dengerin dulu penjelasan saya, gak asal nuduh kayak tadi.”

“Apa yang mau lo jelasin? Itu gue jelas-jelas liat pake mata gue kalau lo pelukan ya sama cewek itu. Gue kurang apa sih sama lo? Yang semalem emang kurang hah? Kalau lo masih ngerasa kurang sama gue semalem, ayo lakuin lagi, sampai lo puas, jadiin gue lacur lo kalau perlu.”

Jefri mengepalkan kedua tangannya. Ia benar-benar emosi dengan Jani yang tidak mau mendengarkan alasannya. Rahang lelaki itu mengeras, mukanya jelas menahan marah. Tapi, Jefri mencoba untuk tidak meledakan semua itu. Karena semuanya akan menjadi runyam, apabila Jefri meledakan bomnya. Nanti, dia dan Jani akan benar-benar bercerai setelah ini.

Lelaki itu ingat, kalau kunci dari langgengnya sebuah pernikahan itu adalah ketika para pasangan bisa merendahkan ego mereka masing-masing. Dan kini, kalau Jani tidak bisa merendahkan egonya, biarlah Jefri yang merendahkan egonya. Lagipula, dia juga kepala keluarga disini. Sebuah keluarga tidak akan berjalan dengan baik kalau kepala keluarganya sendiri tidak bisa mengelola egonya,

“Dia lesbian.” ungkap Jefri yang membuat Jani terdiam dan matanya yang basah itu menatap Jefri dengan tatapan bertanya-tanya.

“Maksud kamu?” Jani sudah kembali ke mode awal, dia tidak lagi memanggil dirinya dengan sebutan gue. Walaupun rasa kesal dan emosi masih menyelimuti dirinya.

“Dia adalah salah satu cewek yang pernah tidur sama saya waktu saya masih kuliah. Dan dia adalah seorang lesbian.” jelas Jefri, Jani menatap Jefri dengan tatapan serius dan meminta untuk lelaki itu melanjutkan kalimatnya kembali, “kamu tadi salah paham, saya gak berniat untuk meluk dia. Tadi waktu saya ngobrol sama dia, ada orang yang lari-lari, dan orang itu nabrak badan dia, ya dia jelas kehuyung badannya, maka dari itu saya nangkep dia, dan kamu datang, kamu mikir kita pelukan. Enggak Jani, semua itu karena ga sengaja. Kamu percaya kan sama saya?”

Jefri menatap Jani putus asa. Dia meraih kedua tangan Jani, dikecupnya dua punggung tangan Jani menggunakan bibir lembut Jefri. Lalu, Jefri letakkan dua tangan itu di depan dadanya. Tapi Jani tidak mengeluarkan reaksi apa-apa, selain dia hanya diam dan menatap Jefri dengan tatapan yang sulit untuk dipahami,

“Kalau kamu masih gak percaya, saya bisa bawa kamu untuk ketemu dia dan pacar perempuannya. Biar nanti kamu denger penjelasan dia.”

“Caranya?” Jani membuka suaranya.

“Saya hubungi dia lewat facebooknya, karena kebetulan facebook saya masih aktif.”

“Cih dasar orang tua.” sindir Jani. Jefri tersenyum mendengar sindiran itu. Kalau Jani sudah begini, itu tandanya Jani sudah memaafkan Jefri.

“Jadi kita damai nih?” tanya Jefri.

Jani mengangguk, “tapi kamu jangan kayak gitu lagi! Aku beneran bakal cerain kamu loh kalau aku liat kamu sama perempuan.” ancam Jani sembari memberikan tatapan galak kepada suaminya itu.

“Kalau kayak gitu sampai kapanpun kamu gak bakalan ceraiin saya, karena saya gak bakal pernah deket deket sama perempuan lain selain kamu.”

Jani tertawa pelan, lalu ia mengambil satu langkah untuk mendekat ke arah Jefri. Memajukan tubuhnya, dan mengecup bibir Jefri dengan singkat. Yang dikecup hanya mampu tersenyum senang,

“By the way, aku mau tetep ketemu cewek itu. Aku mau tau, waktu kalian tidur bareng, kalian ngelakuin apa aja. Karena aku pingin ngelakuin hal yang lebih dari orang orang yang pernah tidur sama kamu itu.”

Jefri mengangguk, “iya nanti saya bilangin.”

“Oh iya, dan soal tawaran kamu yang minta kita roleplay. Aku bersedia kok. Aku mau.”

Mata Jefri berbinar, “beneran mau?”

Jani mengangguk mantap,

“Aku mau kamu jadi dosen, dan aku jadi mahasiswanya. Gimana? Sekalian aku nginget-nginget kenangan aku waktu masih jadi mahasiswa.”

Jefri terkekeh, “deal sayang.”