Perjodohan
“Aduh subhanallah anak Rendra sama Sarah ini cantik sekali ya? Kalau kita Javier sih produk anti gagal.” puji Oma, yang duduk disamping Javier kepada Irene, si gadis cantik nan pemalu yang duduk disamping kekasihnya, Chandra.
Gelak tawa terdengar dari meja panjang itu setelah Oma selesai berbicara.
Malam ini, agenda makan malam keluarga Yudhistira dan Narendra berjalan dengan begitu lancar dan hangat. Makan malam ini, daripada disebut makan malam dengan rekan kerja, lebih cocok disebut makan malam keluarga, karena diantara mereka seperti sudah tidak ada sama sekali batasan, mereka benar-benar sudah seperti keluarga dekat,
“Terima kasih, Oma.” Tante Sarah mewakili Irene, mengucapkan terima kasih kepada wanita paru baya yang meskipun umurnya sudah delapan puluh tahun namun masih terlihat begitu sangat cantik.
“Sayang sekali ya, anak bungsunya enggak bisa dateng.” ucap Tante Jessica, yang sontak membuat Oma terkejut.
“Loh, heh? Anak kalian dua, toh?“
Om Rendra mengangguk sambil tertawa kecil, begitu pun dengan Tante Sarah,
“Iya oma, ini anak pertama saya namanya Irene, nah kalau yang kedua, ada di rumah, si bungsu, lagi biasa semangat-semangatnya kuliah, jadi agak susah kalau diajak pergi jalan-jalan itu.” jelas Om Rendra.
Oma mengangguk paham, sambil mulutnya membentuk huruf “O”,
“Perempuan juga anaknya?” tanya Oma.
“Alhamdulillah, perempuan juga oma. Satu kampus kok sama Javier, satu fakultas juga, tapi, ya anak saya dua tahun dibawah Javier angkatannya.” kini giliran Sarah yang menjawab.
Javier yang pada awalnya tengah asyik menyantap makanannya, langsung berhenti begitu saja ketika Tante Sarah berbicara seperti barusan,
“Kamu kenal?” tanya Oma sambil melirik Javier yang kini duduk disampingnya, Javier pun balas melirik oma tersayangnya itu.
Javier menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, “tapi mungkin nanti Javier bakal cari tahu siapa orangnya, kalau namanya boleh tau siapa tante?” Javier bertanya sambil mengalihkan pandangannya kepada Tante Sarah dan Om Rendra.
“Namanya Karenina. Karenina Kelana.” jawab Irene.
Javier termangu begitu mendengar jawaban Irene. Raut wajahnya berubah. Tidak ada yang dapat menjelaskan secara jelas arti dari perubahan air muka Javier tersebut. Yang pasti, Irene menaruh rasa curiga kepada Javier saat Javier terdiam dan merubah ekspresi wajahnya.
Buru-buru, Javier tersadar dari diamnya,
“Oh iya, nanti Javier cari tahu di kampus. Soalnya Javier punya banyak kenalan adik tingkat.” jawab Javier, lalu lelaki itu melanjutkan makan malamnya, dengan pikiran yang melayang entah kemana.
“Gimana kalau kita jodohin aja Javier sama Karenina, biar semakin mempererat tali silaturahmi diantara keluarga kita.” celetuk Om Yudhis.
Jarvis langsung batuk-batuk saking terkejutnya mendengar celetukan sang ayah—yang entah itu serius atau hanya guyonan untuk menghangatkan suasana makan malam malam ini.
Irene dan Chandra mereka saling bertukar pandang karena saking kagetnya. Begitu pula dengan Om Rendra dan Tante Sarah, orang tua dari Irene dan Karenina itu terlihat seperti terkejut tapi tidak tahu harus bereaksi apa-apa.
Berbeda dengan reaksi dari Tante Jessica dan Oma—dua wanita cantik nan classy itu terlihat begitu setuju dan sangat antusias, tidak ada ekspresi kerekejutan atas apa yang sudah diucapkan oleh Yudhis,
“Setuju!” seru Tante Jessica, mata hazelnya menatap mata Tante Sarah, “Sar, kamu juga harus mau ya? Aku tahu, Karenina pasti anak yang baik dan cantik seperti Irene. Dia cocok untuk Javier.”
Tante Sarah tersenyum kikuk,
“Aduh, Jess, aku gak bisa nentuin, itu semua gimana sama anak kita.Tapi, ya aku setuju-setuju aja kalau semisal niatnya baik, cuman untuk jawabannya, aku serahin ke Karenina aja.” jelas Tante Sarah.
Oma menatap Tante Sarah, Om Rendra, dan juga Irene dengan tatapan seolah-olah berharap akan persetujuan dari ketiga orang tersebut,
“Gak apa-apa, nanti kita pertemukan dulu Javier sama Karenina, setelah itu, baru kita bakal dapet kesepakatannya. Oma, sebagai manusia paling tua disini, yakin sekali kalah Karenina akan mau untuk dijodohkan dengan Javier, begitu pula dengan Javier.” ucap Oma dengan begitu percaya dirinya. Wanita paruh baya itu menyenggol tangan Javier menggunakan tangannya, Javier langsung sadar dan melihat sang oma, “iya kan, Javier?”
Javier terlihat begitu linglung,
“Eh iya, apa oma?” tanya Javier, Oma hanya tertawa lalu mengacak-acak puncak kepala cucunya itu.
“Kalau kamu mau dijodohkan sama Karenina. Mau kan?”
Javier diam untuk beberapa saat, sampai pada akhirnya dia berbicara,
“Javier mau lihat dulu yang mana anaknya, baru setelah itu Javier akan menimbang-nimbang.” jawab Javier, yang membuat Oma, Om Yudhis, dan Tante Jessica tersenyum lega, “Om, Tante, Kak Irene, sebelumnya maaf kalau Javier lancang, tapi apa Javier boleh lihat foto Karenina?” tanya Javier dengan begitu sopan sambil duduk dengan posisi tegap dan menatap kedua orang tua Irene dan juga Irene secara bergantian.
“Oh iya boleh. Sebentar ya.” ucap Om Rendra, beliau mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya, lalu membuka galeri untuk mencari foto anak bungsu kesayangannya.
Setelah foto itu ditemukan, Om Rendra langsung memberikan ponselnya kepada Javier. Javier menerimanya dengan senang hati. Lelaki itu, kembali terdiam ketika melihat sosok Karenina Kelana yang sedari tadi dibahas. Melihat hal tersebut, Irene menatap Javier dengan tatapan penuh kecurigaan. Sepertinya, ada yang aneh dari Javier, tatapan matanya seperti memancarkan perasaan cinta yang telah lama di pendam (ini menurut Irene).
Oma yang duduk disamping Javier, mengintip foto Karenina, yang tengah duduk di sepeda perahu, menggunakan pelampung berwarna merah, sambil menggegam ponselnya, dengan wajahnya yang terlihat agak serius namun tetap terlihat cantik, lucu, dan menggemaskan. Oma menyunggingkan senyumannya, merasa begitu senang hanya karena dirinya melihat foto Karenina,
“Cantik sekali.” puji Oma, “Oma pingin dia jadi cucu menantu oma.”
Javier tersadar dari lamunannya, lalu melirik oma sambil tersenyum tipis. Lelaki itu lantas kembali mengembalikan ponselnya kepada Om Rendra,
“Jadi gimana Javier? Kamu mau?” Om Yudhis bertanya sambil menatap Javier.
Tanpa ragu, Javier menjawab,
“Iya. Javier mau.”