Perjodohan
“Den Jefri.” panggil seorang perempuan di balik pintu ruang kerja Jefri.
Jefri yang tengah berkutat dengan laptopnya untuk melihat perjanjian kerja sama yang baru dikirimkan oleh sekertarisnya itu menjawab dengan mata yang masih terus berfokus kepada laptop,
“Masuk aja bi.” sahut Jefri setengah berteriak.
Pintu kayu berwarna putih itu pun dibuka oleh seorang perempuan paruh baya yang menjadi asisten di rumah Jefri yang sangat amat besar ini. Jefri memindahkan fokusnya dari laptop ke Bi Inah—nama ART Jefri—yang berdiri tepat di hadapan lelaki itu,
“Kenapa bi?” tanya Jefri dengan suara lembut, seperti menghargai sosok wanita tua dihadapannya ini.
Ya, Jefri di besarkan oleh kedua orang tuanya untuk selalu menghargai siapapun, mau dia lebih tua atau lebih muda, mau dia jabatannya diatas Jefri atau dibawah Jefri. Lelaki itu tetap harus menghargai mereka, karena kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di masa depan. Bisa jadi, kita membutuhkan bantuan mereka atau justru sebaliknya,
“Ada Tuan Besar dan Nyonya Besar di bawah, nungguin Den Jefri.” jawab Bi Inah sambil menunjuk ke arah luar pintu menggunakan jempolnya.
Jefri mengernyitkan keningnya bingung. Kedua orang tuanya tiba-tiba datang tanpa memberitahu kepada Jefri terlebih dahulu, padahal biasanya, kalau mereka ingin berkunjung menemui Jefri pasti mereka menghubungi Jefri. Aneh sebetulnya, tapi Jefri tidak mau terlalu ambil pusing, toh yang datang juga orang tuanya, bukan orang lain,
“Ya udah bi, bibi keluar aja dulu, nanti saya nyusul.” titah Jefri.
“Baik den.”
Bi Inah pergi keluar dari ruangan kerja Jefri. Sementara sang pemilik ruangan, tengah membereskan laptopnya, lalu menyusul Bi Inah untuk turun menemui kedua orang tuanya yang sudah menunggu di ruang keluarga milik Jefri yang luasnya sudah setara dengan lapangan futsal.
Ya, rumah milik Jefri memang rumah yang bisa dibilang mewah, hampir mirip dengan mansion. Hal ini wajar, karena Jefri merupakan anak dari Yudhistira Bramantyo, seorang pengusaha lemari terkaya di Indonesia dan juga di dunia. Perusahaan lemarinya itu sudah terkenal di berbagai penjuru dunia, bahkan artis dalam negeri dan artis luar negeri pun banyak yang menggunakan lemari milik perusahaan ayah Jefri.
Tetapi, sedikit informasi, rumah yang Jefri miliki ini bukan rumah yang dibelikan oleh orang tua Jefri. Rumah ini adalah rumah yang ia beli sendiri. Jefri menabung dari sejak kelas tujuh SMP, dia sudah bermimpi untuk memiliki rumah yang mewah seperti ayahnya. Tabungan itu terus bertambah dengan konsisten tanpa ada yang kurang sedikitpun, sampai akhirnya Jefri menginjak usia 30 tahun, dimana dia sudah resmi menjadi CEO di B Closets. Memiliki gaji tetap dengan kisaran ratusan juta. Maka impian Jefri untuk memiliki rumah mewah dengan hasil jerih payahnya pun terwujud di umur Jefri yang menginjak angka 31 tahun.
Jefri sudah menginjakkan kakinya di ruang keluarga. Dia sudah menemui kedua orang tuanya, bercipika cipiki dengan mereka. Ini hal yang biasa Jefri lakukan sedari kecil dulu. Tidak lupa juga Jefri menawarkan kedua orang tuanya itu minuman,
“Papa sama mama mau minum apa?” tanya Jefri seraya mendudukkan dirinya di sofa yang bersebrangan dengan sofa yang di duduki oleh kedua orang tuanya, “Jefri yang bikinin.”
“Loh Bi Inah kemana?” tanya Papa Jefri.
“Ada, tapi Jefri pingin bikinin minum aja buat papa sama mama.” Jefri melanjutkan, “gak bakal Jefri bikin asin kok minumnya.” ujarnya bercanda yang direspon oleh tawa kedua orang tuanya.
“Kita minum apa aja kok.” jawab sang mama.
Jefri mengangguk. Lantas, dirinya berdiri dan berjalan menuju dapur, yang jaraknya lumayan jauh dari ruang keluarga untuk membuatkan minum. Dan tidak lama setelahnya, Jefri kembali dengan membawa dua gelas tinggi yang berisikan orange juice di dalamnya. Jefri meletakan satu-satu gelasnya diatas meja. Lalu setelah itu, Jefri kembali duduk di sofanya,
“Dicicipin pa, mam minumannya.” ucap Jefri mempersilahkan kedua orang tuanya. Papa dan Mama Jefri pun mencicipi minuman tersebut dengan bersamaan.
“Jadi gimana perusahaan? Aman-aman aja kan? Kemarin papa denger katanya ada trouble ya sama anak perusahaan kita yang di Malaysia itu?” sang Papa membuka percakapan diantara mereka bertiga.
Jefri menganggukan kepalanya, mengiyakan pertanyaan papanya itu. Bahwa memang satu minggu yang lalu, ada masalah yang menimpa anak perusahaan Jefri, yang membuat lelaki itu harus mati-matian bekerja untuk menyelesaikan masalah ini,
“Ya gitu deh pa, tapi udah Jefri selesain, dan semuanya udah back to normal.”
“Syukurlah kalau gitu.” Papa Jefri terlihat begitu lega, “kamu emang bisa papa andelin. Papa bangga sama kamu.”
Jefri mengangguk sambil menyunggingkan senyum sumringahnya. Lelaki itu bersyukur, bahwa dia tumbuh di dalam keluarga yang selalu mengharagi dan mensupport apapun yang Jefri lakukan, mau itu benar, sekalipun kalau salah, kedua orang tua Jefri tidak pernah memberikan kritikan dengan kata-kata yang pedas. Mereka selalu menambah kalimat, “kamu sudah bekerja keras, tapi mungkin, kamu bisa melakukan hal yang lebih baik dari ini, tapi ini sudah jadi yang terbaik”,
“Oke, papa, first of all, i want to remind you that we didn't come here to discuss work matters.” kesal sang mama, *“second of all, we came here to discuss about you.” ungkap sang mama sambil menatap Jefri tepat dimata dalam lelaki itu.
Jefri kebingungan di buatnya,
“Me?” Jefri bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan terheran-heran.
“Yes, you.” jawab sang mama, “Jefri, you're 37 years old right now, do you have absolutely no thoughts of getting married?”
Oke, Jefri tahu kemana sekarang arah pembicaraan ini berjalan. Nanti, pasti Jefri akan dipaksa menikah oleh mamanya (Jefri tidak yakin kalau papanya juga ikut andil dalam urusan ini), dan kalau Jefri tidak mau, maka mama yang akan turun tangan dengan mencarikan calon pengantin perempuan untuk Jefri,
“Mama, siapa yang gak mau menikah, aku jelas mau menikah. Tapi, aku merasa belum waktunya aku untuk berumah tangga.” tutur Jefri, “lagipula, menurut aku 37 tahun itu aku tergolong yang masih muda. Let it flow aja, nantipun kalau memang aku udah dikasih jodohnya sama Tuhan, ya pasti aku bakalan menikah. Iya ga pa?”
Jefri melirik sang ayah, dibarengi dengan istrinya juga ikut meliriknya. Membuat sang ayah yang hendak meminum orange juicenya kebingungan dan merasa terpojok—terutama akan tatapan tajam istrinya, maka dari itu, untuk kali ini, Papa Jefri terpaksa untuk berada di pihak Mama daripada anak lelakinya itu,
“Ya apa yang kamu bicarain itu betul, tapi ada baiknya untuk kamu segera menikah. Papa sama mama ini udah bukan orang tua muda lagi, kami udah tua, entah berapa lama lagi kami hidup di dunia. Kami cuman pingin lihat kamu menikah, dan punya anak. Itu keinginan kami.”
Woah, betapa terkejutnya Jefri ketika tahu kalau sang ayah untuk kali ini tidak memihak kepadanya,
“Kalau kamu belum mau juga untuk menikah, terpaksa, kami akan jodohkan kamu dengan anak mendiang teman kami.” ucap sang mama dengan begitu mendadak dan yakin kalau Jefri akan menerima langsung perjodohan itu.
Jefri tidak terima. Apa-apaan ini? Kenapa harus perjodohan yang menjadi jalan satu-satunya? Padahal, Jefri sudah memiliki rencana untuk mengajak adik dari seniornya di kampus dahulu untuk berkenalan, tapi kenapa tiba-tiba keputusan gila ini terjadi?
“Pa, Ma, kok tiba-tiba jadi di jodohin? Jefri gak mau. Jefri udah ada niatan untuk kenalan sama cewe kok, cuman emang belum kesampean aja.” tolak Jefri.
Tiba-tiba mama mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Jefri memperhatikan mamanya yang tengah mengotak-atik ponselnya itu dengan bingung. Lalu, tiba-tiba, beliau memberikan foto seorang gadis cantik yang langsung membuat Jefri terpana dan tertegun akan kecantikannya. Jefri juga langsung mengenali gadis ini. Ini adalah adik dari Jadira, perempuan yang ia perhatikan di club minggu lalu,
“Itu dia calon kamu. Namanya Jani, adiknya Jadira.” ucap mama sambil kembali menarik ponselnya dan memasukannya ke dalam tas.
Kalau seperti ini jadinya, Jefri diharamkan untuk menolak perjodohan ini.
Tuhan memang begitu baik merencanakan ini semua kepada Jefri,
“Aku mau ma, pa. Aku terima perjodohan ini.”
Dan, begitulah, semuanya berjalan begitu mudah. Tidak perlu ada paksaan bahkan gertakan yang dilakukan oleh papa atau mama kepada Jefri. Lelaki itu sudah menyerahkan dirinya sendiri kepada kedua orang tuanya.
Memang, lelaki akan selalu lemah dengan pesona wanita cantik.